16 Kejanggalan Kontrak Kerja Sama PT SIM dengan Pemprov NTT di Pantai Pede

FLORESA.CO – Koordinator Koalisi Pede, Bernadus Barat Daya menyampaikan 16 kejanggalan dalam kontrak kerja sama antara PT Sarana Investama Manggabar dengan Pemerintah Provinsi NTT dalam mengelola Pantai Pede di Labuan Bajo, Manggarai Barat.

Enambelas kejanggalan ini disampaikan Bernadus di hadapan pejabat Kementerian Dalam Negeri di Jakarta dalam acara mediasi polemik Pantai Pede, Rabu 13 Juli 2016.

Dalam kesemaptan ini, hadir Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari NTT, Andre Garu; Ketua DPRD Manggarai Barat,Belasius Jeramun; Kepala Dinas Pariwisata NTT, Marius Ardu Jelamu; serta sejumlah aktivis.

Berikut 16 kejanggalan dalam perjanjian kerja sama yang ditandatangani pada 23 Mei 2016 itu.

Pertama, MoU itu secara garis besar tidak mempertimbangkan aspek hukum, sosiologis dan kepentingan masyarakat Mabar. Substansi MoU telah mengabaikan hak publik dan dengan sengaja menabrak amanat UU Nomor 8 tahun 2003.

Kedua, pada pasal 2 tentang maksud dan tujuan pelaksanaan Kerja Sama misalnya, disebutkan bahwa maksud dan tujuannya adalah untuk meningkatkan PAD melalui penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat. Bunyi pasal ini sungguh mengecohkan banyak orang. Seolah-olah dengan hadirnya PT SIM akan menyerap tenaga kerja lokal. Padahal dalam dokumen resmi PT SIM sangat jelas disebutkan bahwa tenaga kerja lokal yang nanti akan dibutuhkannya, hanya untuk puluhan orang saja. Itu pun akan ditempatkan sebagai tukang servis, tukang taman, tukang parkir dan staf adiministrasi. Dapatlah dikatakan bahwa tujuan utama seperti dimaksudkan dalam pasal 2 MoU itu, hanya berisi kata-kata hiburan yang “enak didengar”.

Ketiga, jangka waktu Kerja Sama Bangun Guna Serah terhitung sejak tanggal beroperasi atau sejak dimulainya kegiatan operasional Hotel dan fasilitas pendukung lainnya secara komersial oleh PT SIM. Jika penyelesaian pembangunan konstruksi selesai tahun 2017 misalnya, maka lama waktu penguasaan pantai Pede oleh PT SIM akan berlangsung hingga tahun 2042 yang akan datang. Itu artinya, ada 6 periode Bupati dan 6 periode DPRD Mabar yang sama sekali tidak mempunyai hak apa pun terhadap tanah pantai Pede. Tahun 2042 itu, mungkin saja banyak diantara kita termasuk Bupati Mabar dan Gubernur NTT sekarang, yang sudah pindah ke alam baka atau negeri akhirat.

Keempat, PT SIM baru didirikan pada tanggal 8 Desember 2010 melalui akta pendirian perseroan terbatas Nomor 12 oleh Irma Bonita seorang Notaris di Jakarta. Dalam akta notaris PT SIM tersebut, jenis usaha pariwisata sama sekali tidak menjadi bidang usaha dari PT SIM. Jenis usaha PT SIM hanya terbatas pada usaha-usaha bidang; perdagangan (export-inport). Bidang pertambangan minyak, gas dan panas bumi. Bidang jasa (sewa beli kendaraan bermotor, periklanan/reklame, telekomunikasi, cleaning servis, perbaikan alat berat, pengecetan kendaraan, penyedia suku cadang) dan bidang transportasi (expedesi pergudangan, angkutan darat, dll). Itu berarti, PT SIM belum berpengalaman dan memang tidak bergerak dalam usaha pariwisata. Sayangnya, Gubernur NTT sama sekali tidak melihat aspek itu sebagai dasar pertimbangannya dalam memberikan kuasa pengelolaan pantai Pede kepada PT SIM.

Kelima, dari aspek perundang-undangan, dalam MoU itu PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, masih dijadikan dasar rujukan dalam pembuatan Perjanjian Kerja Sama ini, padahal PP Nomor 6 Tahun 2006 tersebut, telah dibatalkan berlakunya. Sementara di sisi lain, PP Nomor 27 Tahun 2014, Tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah yang mulai berlaku sejak tanggal 24 April 2014, justru tidak dijadikan dasar pertimbangan dalam Perjanjian Kerja Sama itu. Demikian pula UU Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Manggarai Barat sama sekali tidak dijadikan referensi atau acuan di dalam membuat Perjanjian Kerja Sama itu. Padahal UU ini adalah sebuah UU yang wajib dijadikan acuan dalam semua hal yang terkait dengan keberadaan Kabupaten Mabar. Bagaimana mungkin Gubernur NTT tidak memakai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan terkait, yakni PP Nomor 27/2014 dan UU Nomor 8/2003, tetapi justru memakai rujukan pada PP Nomor 6/2006 yang sudah dinyatakan tidak berlaku? Karena itu, dari aspek hukum formal, maka sesungguhnya perjanjian kerja sama atau MoU itu cacat hukum.

Keenam, tentang pembayaran uang kontribusi. Di dalam MoU pasal 6 ayat 1 tidak dicantumkan besaran nilai uang (dibiarkan kosong). Dan pada ayat 2 disebutkan, pembayaran kontribusi tetap, dari PT SIM kepada Gubernur dilaksanakan pada setiap tahun berjalan. Pada ayat 3 disebutkan bahwa “….nilai dasar perhitungan kontribusi dari PT SIM kepada Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2, ditransfer ke Rekening Gubernur NTT pada PT. Bank NTT Nomor: 001.01.02.001018-7/G paling lambat tanggal 10 Januari tahun anggaran berikutnya. Padahal ketentuan UU mengharuskan pembayarannya itu melalui Rekening Kas Umum Daerah/RKUD. Ketika uang kontribusi dari perusahaan disetorkan melalui rekening pribadi Gubernur, maka potensi korupsi akan sangat terbuka lebar. Patut dipertanyakan; apa motif Gubernur NTT yang dengan sengaja mengatur pembayaran uang kontribusi disetorkan ke rekening pribadi Gubernur dan atau tidak melalui Rekening Kas Umum Daerah, sebagaimana diamanatkan dalam UU yang berlaku?

Ketujuh, tentang jaminan Bank. Di dalam MoU dikatakan bahwa PT. SIM dizinkan untuk mengubah Sertipikat HP No. 3 dan No. 4 yang menjadi HGB dan PT. SIM diberikan hak untuk menjaminkan Sertipikat HGB itu kepada lembaga keuangan atau Bank. Padahal ketentuan di dalam PP No. 27 Tahun 2014 melarang pihak pengelola menjaminkan obyek yang disewa untuk dijadikan jaminan hutang. Ini juga sebuah pelanggaran terhadap ketentuan terutama PP Nomor 27 Tahun 2014. Tidak dicantumkannya PP Nomor 27/2014 di dalam MoU, rupanya sengaja dilakukan untuk membenarkan praktik penyimpangan ini.

Kedelapan, selain itu, ketentuan Pasal 178 UU Nomor 12 Tahun 2008, Tentang Pemerintahan Daerah, melarang Pengelola Barang Daerah untuk mengalihkan dan menyerahkan hak atas pengelolaan Barang Daerah kepada pihak lain, tidak boleh dijadikan tanggungan hutang atau digadaikan. Sementara dalam Perjanjian Kerja Sama, Gubernur Frans Lebu Raya membolehkan PT. SIM untuk menjaminkan SHP yang sudah diubah menjadi SHGB untuk dijadikan jaminan hutang. Bukankah ini bertentangan dengan UU Nomor 12/2008?

Kesembilan, demikian pula soal garansi. Gubernur NTT menggaransi bahwa lahan pantai Pede yang diperjanjikan untuk Bangun Guna Serah kepada PT. SIM tidak dalam sengketa dan bebas dari tuntutan hukum pihak manapun. Padahal, Gubernur Frans Lebu Raya sadar dan tahu persis bahwa masyarakat dan Pemkab Mabar sejak zaman Bupati Fedelis Pranda hingga zaman Bupati Agsutinus Ch Dula, pernah berkali-kali menuntut penyerahan asset tanah pantai Pede yang dikuasai oleh Gubernur NTT. Permintaan Pemkab Mabar dilakukan melalui surat resmi, namun Gubernur mengabaikannya begitu saja. Demikian pula masyarakat, telah menolak upaya privatisasi pantai Pede sejak tahun 2012 hingga sekarang. Bagaimana mungkin Gubernur mengatakan bahwa tidak ada masalah di pantai Pede?

Kesepuluh, tentang mekanisme penunjukkan PT SIM untuk mengelola tanah pantai Pede. Dalam MoU tidak ada informasi secara terbuka tentang mekanisme perjanjian BGS yang jatuh ke tangan PT. SIM. Pertanyaan adalah; apakah penunjukan langsung (PL) atau melalui mekanisme tender? Faktanya bahwa Gubernur hanya menunjuk langsung kepada PT SIM untuk mengelola pantai Pede.  Padahal jelas diatur dalam ketentuan PP No. 27 Tahun 2014 yang mengharuskan mekanisme tender. Mekanisme PL yang ditempuh Gubernur NTT seperti ini, tentu cacat hukum karena melanggar PP No. 27 Tahun 2014.

Kesebelas, mendasarkan MoU hanya atas adanya sertipikat sebagai bukti hak atas tanah Pede, tidaklah cukup. Keberadaan sertipikat itu justru haruslah dijadikan dasar bagi Pemprov NTT untuk melaksanakan proses penyerahan tanah pantai Pede kepada Pemkab Mabar sesuai amanat UU Nomor 8 Tahun 2003, bukan malah dijadikan dasar untuk “mencaplok” tanah Pede.

Keduabelas, PP Nomor 50 tahun 2007, tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah, dimana mengatur juga tentang keharusan adanya persetujuan dari lembaga DPRD. Dalam MoU tidak ada penjelasan atau penegasan tentang; apakah dalam proses dan kebijakan Gubernur yang menyerahkan pengelolaan asset tanah pantai Pede kepada PT SIM, telah ada persetujuan DPRD atau tidak. Faktanya, hingga saat ini DPRD NTT belum pernah membuat dokumen persetujuan atas kebijakan Gubernur mempihakketigakan pengelolaan tanah pantai Pede. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan Ketua dan sejumlah anggota DPRD NTT bahwa secara lembaga, DPRD NTT belum mengetahui secara persis perihal adanya kebijakan/kerja sama antara Gubernur dengan PT SIM. Jika ini benar, maka Gubernur NTT telah mengabaikan dan atau melanggar perintah PP No. 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.

Ketigabelas, dalam Pasal 12 ayat 1, MoU disebutkan bahwa Perjanjian ini mengikat segenap ahli waris PT SIM dan pihak yang mendapatkan hak dari padanya, serta Perjanjian ini tidak dapat dibatalkan meskipun bilamana terdapat pergantian Gubernur NTT.  Pasal 12 ayat 1 ini, sungguh membatasi atau melarang bagi siapa pun Gubernur NTT nantinya sebagai pengganti Frans Lebu Raya. Dengan kata lain, Perjanjian Kerja Sama itu tidak dapat dibatalkan oleh 5 orang Gubernur pengganti, yang mengisi jabatan Gubernur NTT dalam kurun waktu 25 tahun yang akan datang.

Keempatbelas, dalam ayat 2 disebutkan; apabila PT SIM akan pindah ke tempat lain dan/atau PT SIM tidak dapat melanjutkan Perjanjian ini, maka hak pengelolaan yang diperoleh PT SIM dapat dialihkan kepada pihak lain yang ditunjuk secara leluasa oleh PT SIM dengan sepengetahuan Gubernur. Pasal ini sungguh-sungguh mengenakkan PT SIM. Betapa tidak? Jika PT SIM tidak mampu mengola usahanya, maka PT SIM diberi keleluasaan yang amat besar untuk memberikannya kepada pihak lain lagi sesukanya saja. Bagaimana klausul seperti ini begitu mudahnya lolos tercantum dalam MoU ini? Padahal, semestinya jika PT SIM tidak mampu meneruskan perjanjian, maka Ia harus dianggap ingkar janji (wanprestasi) dan karenanya perjanjian batal demi hukum.

Kelimabelas, pada ayat 4 Pasal 12 MoU juga disebutkan; bahwa Gubernur NTT dengan ini memberikan right of first refusal kepada PT SIM, untuk membeli dan/atau melakukan Kerja Sama apapun juga atas Tanah obyek BGS. Klausul ini lagi-lagi memberikan keleluasaan yang sangat besar kepada PT SIM untuk bertindak apa pun atas tanah pantai Pede. Apakah menjamin tanah ke pihak Bank (gadai) atau perlu bekerja sama lagi dengan pihak-pihak lainnya yang menguntungkan PT SIM. Klausul yang sungguh aneh.

Keenambelas, karena keseluruhan isi Perjanjian Kerja Sama BGS tersebut bertentangan dengan sejumlah peraturan perundangan-undangan yang berlaku, maka sudah seharusnya Perjanjian Kerja Sama antara Gubernur NTT dengan PT SIM tersebut, harus dibatalkan demi hukum, dan aseet tanah pantai Pede sejatinya harus diserahkan oleh Pemprov NTT kepada Pemkab Mabar juga demi hukum.

BACA JUGA:

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini