Indeks Integritas Sekolah, UN dan Pendidikan Kita

Oleh: ELIK AMUT

Beberapa waktu lalu, media lokal kita (NTT) menurunkan berita seputar penerimaan piagam oleh beberapa sekolah (SMP dan SMA) dari Presiden Jokowi melalui Kemendikbud atas prestasi sekolah-sekolah tersebut terkait kejujuran dalam melaksanakan UN pada tahun sebelumnya.

Kejujuran dalam pelaksanaan UN itu tergambar dari tingginya nilai indeks integritas sekolah (IIS) yang dicapai beberapa sekolah tersebut. Konon, kriteria penentuan tinggi rendahnya skor indeks integritas itu adalah pola jawaban siswa dalam mengerjakan soal-soal UN. Pola jawaban siswa dalam suatu ruangan dijadikan instrumen untuk melihat sejauh mana kejujuran siswa dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan UN.

Kita patut mengapresiasi langkah pemerintah dalam menerapkan IIS ini. Bagaimana tidak, komitmen pemerintah dalam membuat terobosan tersebut menunjukkan atensi pemerintah yang besar pada nilai kejujuran sebagai keutamaan mendasar dalam dunia pendidikan.

Aksentuasi pada kejujuran menjadi bagian integral dari pendidikan karakter yang merupakan grand design dan cita-cita pendidikan kita. Kejujuran merupakan prasyarat mutlak (conditio sine qua non) dalam praksis pendidikan yang berorientasi pada pembentukan pribadi-pribadi yang tidak hanya mumpuni secara akademik, tetapi juga pribadi-pribadi yang berintegritas secara moral.

Hal itu menjadi sebuah kemendesakan di tengah maraknya aksi tidak bermoral (baca: korupsi) yang ditunjukkan oleh para pemangku kekuasaan yang notabene merupakan produk-produk pendidikan.  Keberadaan program IIS dapat juga dibaca sebagai implementasi atas proyek utama presiden Jokowi, yaitu  revolusi mental. Pendidikan adalah ranah paling strategis dan esensial untuk mengoperasionalkan program sekaliber revolusi mental.

Salah kaprah

Namun, hemat saya, program IIS ini tidak cukup untuk menjawabi kegelisahan kita atas fakta suramnya praksis pendidikan di negeri ini. Soalnya, IIS ini terintegrasi dalam UN yang notabene masih kontroversial dan problematis dalam pelaksanaannya.

Peraturan Mendikbud terbaru memang sudah direvisi dalam hal penentuan kelulusan siswa. Kelulusan siswa tidak lagi hanya diukur  dari perolehan nilai UN, tetapi juga dari keseluruhan proses yang dijalankan selama mengenyam pendidikan.

Keberhasilan siswa tidak semata-mata ditentukan oleh tiga hari selama hari-hari ujian, tetapi juga dari seluruh hari yang dilaluinya dalam bersekolah. Ini tentu merupakan sebuah kemajuan.

Namun, tinggi rendahnya nilai UN yang menentukan nasib siswa selanjutnya, yaitu sebagai syarat penerimaan pada perguruan tinggi  menyisakan  problem-problem kronis dan tak terselesaikan, yaitu maraknya praktik nyontek dan jual beli kunci jawaban. Demi mendapatkan nilai tinggi yang pada gilirannya memberikan kemudahan dalam memasuki perguruan tinggi, siswa ramai-ramai menyontek.

Kejujuran digadaikan demi tercapainya tujuan-tujuan pragmatis. Tidak hanya itu. Sisi problematis UN juga mudah dilacak dari model evaluasinya yang tidak lebih dari sebuah permainan tebak-tebakan.

Seorang siswa yang tidak pernah belajar sekalipun dapat saja memperoleh nilai yang tinggi berkat kepiawaiannya dalam menebak jawaban yang benar. Di sini, pendidikan yang semestinya mengantar siswa pada pendayagunaan rasionalitas malah mengubur siswa dalam kubangan hal-hal yang irrasional. UN tidak lebih dari sebuah bentuk perjudian yang mengagungkan spekulasi dan kalkulasi yang tidak rasional.

Jalan moderat

Lantas, bagaimana kita mesti mengaplikasikan IIS secara tepat dan tidak problematis? Hemat saya, opsi yang mendesak untuk dikedepankan adalah pengintegrasian IIS ini dalam konteks keseluruhan praksis pendidikan.

Hal itu dapat dilakukan dengan  mengimplementasikan pendidikan yang tidak hanya berorientasi hasil, tetapi juga pendidikan yang menekankan proses baik dalam mengakumulasi pengetahuan maupun dalam membentuk pribadi-pribadi yang kritis dan bermoral.

Pendidikan sejati sebenarnya tidak hanya berhenti pada mekanisme transfer ilmu atau penjejalan berbagai teori oleh guru kepada para siswa tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkritisi pengetahuan itu.

Idealnya, proses yang ditempuh dalam keseluruhan pembelajaran adalah penekanan pendidikan yang bernuansa dialogis, bukan semata-mata bersifat monologis dengan memposisikan guru sebagai pemegang kebenaran tunggal. Dalam hal ini, kita mesti berguru pada Sokrates yang memperkenalkan metodenya yang terkenal yaitu, maieutike tekhne (teknik kebidanan). Menurutnya, dalam diri setiap orang sudah terkandung kebenaran-kebenaran dan tugas guru adalah berusaha “melahirkan” ide-ide dan kebenaran itu melalui pendidikan yang menekankan semangat dialog.

Menumbuhkan minat baca-tulis dan membangun budaya diskusi adalah langkah yang dapat ditempuh dalam mengaktualisasikan ideal itu. Dengannya, output pendidikan model tersebut adalah pribadi-pribadi yang tidak berorientasi teknokratis-ekonomis, tetapi pribadi-pribadi kritis yang mampu mengejahwantakan berbagai keutamaan dalam ranah kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Pendidikan yang menekankan proses sesungguhnya melampaui program IIS yang dicanangkan pemerintah. Kejujuran yang merupakan titik tolak IIS sebetulnya menyatu dalam proses yang ditempuh selama kegiatan pembelajaran. Pendidikan yang mengaksentuasi proses juga melampaui UN sebagai model evaluasi yang rada infantil karena tidak lebih dari sebuah permainan tebak-tebakan.

Penulis adalah Mahasiswa STFK Ledalero, tinggal di Ritapiret

 

spot_img
spot_img

Artikel Terkini