Datangi Kemendagri, Koja Pede Desak Panggil Lebu Raya dan Dula

3001
Aktivis dari Koalisi Jakarta Untuk Pede (Koja Pede) dalam aksi unjuk rasa di Jakarta, Selasa 14 Juni 2016, menuntut agar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengambil sikap terhadap masalah Pantai Pede (Foto: Floresa)

Floresa.co – Koalisi Jakarta untuk Pede (Koja Pede) menggelar aksi unjuk rasa ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di Jakarta pada Selasa, 14 Juni 2016.

Dalam aksi ini, mereka meminta agar Kemendagri segera memanggil Gubernur Frans Lebu Raya dan Bupati Agustinus Ch Dula untuk membicarakan masalah Pantai Pede di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Massa aksi yang berjumlah sekitar 60 orang, membawa sejumlah spanduk, yang bertuliskan desakan agar Lebu Raya menaati mandat Undang-undang No 8 Tahun 2003 terkait Pembentukan Kabupaten Manggarai Barat.

Mereka menegaskan, UU tersebut dengan jelas memerintahkan agar semua aset milik kabupaten induk, Manggarai serta Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang ada di wilayah Kabupaten Mangggarai Barat wajib diserahkan ke Manggarai Barat. Hingga kini, salah satu aset milik Provinsi NTT yaitu lahan di Pantai Pede belum juga diserahkan.

Mereka menyatakan, sejak tahun 2004 hingga tahun 2014, Pemkab Mabar telah beberapa kali meminta aset tanah tersebut untuk segera diserahkan, namun pihak Provinsi NTT terus-menerus menolak permintaan itu.

Mirisnya lagi, Gubernur Frans Lebu Raya tega melakukan perjanjian kerja sama dengan pihak ketiga/investor, PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM), milik pengusaha Setya Novanto yang kini menjadi Ketua Partai Golkar, untuk pembangunan hotel dengan masa kontrak 25 tahun.

Langkah pihak provinsi ini menimbulkan arus penolakan yang dahsyat dari masyarakat setempat. Selama dua tahun terakhir, aksi penolakan terus dilakukan, baik oleh para aktivis, mahasiswa, juga institusi agama.

Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng Pr, pimpinan tertingi Gereja Katolik di Manggarai bahkan sudah menyurati Presiden Joko Widodo pada akhir Mei lalu, meminta agar Presiden turun tangan menyelesaikan masalah ini.

Masyarakat sipil mendesak agar lahan itu ditata menjadi ruang publik, di mana masyarakat bisa rekreasi, mengingat Pantai Pede adalah satu-satunya wilayah pantai di Labuan Bajo yang hingga masih bisa diakses bebas oleh publik, setelah wilayah lainnya sudah dikuasai para investor.

Yosef Sampurna Nggarang, Kordinator KOJA PEDE mengatakan sudah semestinya pemerintah mendengar seruan rakyat. “Tentu sebuah ironi, karena pada saat pemerintah daerah lain di Indonesia berupaya menyediakan ruang publik, di Manggarai Barat pemerintah justeru merampasnya dari masyarakat.”

Labuan Bajo saat ini sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat sebagai salah satu dari 10 destinasi wisata prioritas. Menurut Yosef, kebijakan pemerintah itu hanya menjadi kabar buruk bagi masyarakat setempat, yang justeru mengalami proses peminggiaran.

“Tentu menyedihkan melihat Mabar yang kian gencar dipromosikan sebagai destinasi wisata, namun, pada saat yang sama, masyarakat setempat tidak merasakan dampak positif dari hal itu.”

Karena itu, Koja Pede meminta komitmen Kemendagri untuk segera memfasilitas masalah ini antara Pemprov NTT dengan Pemkab Mabar.

Mereka juga mendesak Mendagri agar segera memutuskan dan atau menyelesaikan masalah ini dengan memerintahkan Gubernur NTT untuk menyerahkan Pantai Pede, sebagaiman mandat UU.

Ovansius Wanggut, kordinator aksi mengatakan, Mendagri adalah lembaga yang ditugaskan untuk itu., sebagaiman dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 13 Ayat (1) UU No 8 Tahun 2003, yang menyebutkan bahwa “dalam rangka inventarisasi dan penyerahan (aset) difasilitasi oleh Menteri Dalam Negeri.”

“Penyelesaian sengketa itu, juga sekaligus mengakhiri konflik horisontal dan vertikal yang selama bertahun-tahun terjadi,” katanya.

“Jika Kementerian Dalam Negeri tidak mengambil sikap tegas terkait polemik ini, maka siapa lagi yang bisa kami percaya untuk menjamin terwujudnya pemerintahan yang benar-benar selaras dengan cita-cita bangsa kita, yaitu terwujudnya keadilan,” tegasnya.

Sementara itu, Hendrikus Hali Atagoran dari Forum Pemuda NTT Penggerak Keadilan dan Perdamaian (Formadda NTT) menegaskan, Gubernur Lebu Raya harus taat hukum.

“Jangan semena-mena. Gubernur harus lebih peka mendengar aspirasi masyarakat. Jangan berkongkalikong dengan pengusaha, lalu mengorbankan masyarakat,” katanya.

Tedy Warman dari Himpunan Pemuda dan Mahasiswa Manggarai Barat (Hipmmabar) menambahkan, ‘ketika pemerintah tidak menyenangkan dan menggembirakan dalam banyak hal, terutama dalam menjamin tersedianya infrastruktur, listrik, kompetensi untuk mengelola berbagai sumber daya potensial serta dugaan kian masifnya praktik korupsi, maka mohon kegembiraan dan kesenangan yang diberikan oleh alam, oleh Pantai Pede, jangan dicabut juga.

“Komitmen pemerintah untuk memastikan bahwa kebutuhan masyarakat di Manggarai Barat menjadi prioritas dalam mengambil kebijakan, juga menjadi ujian bagi Nawacita yang didengung-dengungkan oleh pemerintah selama ini,” katanya.

“Kalau pemerintah akhirnya mementingkan investor, maka Nawacita itu hanya isapan jempol belaka.”

Usai menggelar orasi dan mementaskan teater di depan Kemendagri, Koja Pede disambut pihak Kemendagri dalam audiensi di salah ruangan.

Menanggapi tuntutan Koja Pede, Chandra dari Biro Hukum Kemendagri mengatakan, dalam waktu dekat akan memanggil Gubernu Lebu Raya dan Bupati Dula.

“Kami akan menindaklanjuti tuntutan Koja Pede. Secepatkan kami bicarakan untuk menjadwalkan pemanggilan gubernur dan bupati,” katanya.

Ia juga menjelaskan, Koja Pede berhak untuk terus meminta informasi dari Kemendagri terkait masalah ini.

“Silahkan nanti menghubungi kami,” kata Chandra sambil memberitahuan nomor HP-nya yang bisa selalu dikontak.

Koja Pede terdiri dari sejumlah organisasi dan lembaga, antara lain Himpunan Pemuda dan Mahasiswa Manggarai Barat (Hippmabar), Forum Pemuda NTT Penggerak Keadilan dan Perdamaian (Formadda NTT), Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation – Ordo Fratrum Minorum (JPIC-OFM), Persatuan Mahasiswa Maumere Jakarta, Persatuan Mahasiswa  NTT Universitas Nasional, Mahasiswa Flobamora Universitas Borobudur, Keluarga Mahasiswa Hukum Universitas Bung Karno, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Angkatan Muda Anti Korupsi (AMAK) NTT. (ARL/Floresa)