Pede dan Gereja yang Membawa Pedang

Oleh: INOSENTIUS MANSUR

Polemik Pantai Pede di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat kini terus berlanjut. Sejumlah pihak, termasuk Gereja Keuskupan Ruteng yang berdasarkan salah satu keputusan sinode-nya, menolak pengelolaan pantai itu oleh pihak “berduit”.

Gereja menginginkan agar pantai tersebut tetap menjadi ruang publik. Sebagai hasil sinode, tentu saja sikap dan gerakan terkait dengan itu, memiliki “basis” yang sangat kuat.

Sinode bukanlah sidang “abal-abal”. Sinode adalah sebuah “pertemuan agung” yang menghadirkan perwakilan dari semua umat di sebuah Keuskupan.

Peserta yang hadir pada saat sinode tidak bisa dianggap “orang biasa”. Mereka yang hadir itu adalah para pastor, suster, utusan dewan pastoral paroki (DPP), utusan umat dan beberapa tokoh umat dari semua pelosok dan wilayah keuskupan.

Masing-masing peserta bertugas untuk membawa harapan (aspirasi) umat yang berada di parokinya. Meminjam bahasa Konsili Vatikan II, merekalah yang membawa “harapan, duka dan kecemasan” orang-orang yang mengutus mereka, agar dibicarakan secara kolegial dalam forum sinode untuk selanjutnya dicari solusinya.

Hal ini pulalah yang terjadi saat sinode III Keuskupan Ruteng. Orang-orang yang hadir pada waktu sinode itu adalah para utusan terpilih. Dalam sinode, semua persoalan “keuskupan” ditelisik, dianalisis, diolah, lalu secara bersama-sama dicari solusinya.

Jadi, ini bukan karena keputusan sepihak uskup ataupun karena adanya titipan dari orang-orang atau lembaga-lembaga tertentu. Selain itu, ada banyak hal yang dibicarakan para anggota sinode, terutama yang berkaitan dengan persoalan mondial-kontekstual umat Allah Keuskupan Ruteng.

Salah satunya adalah tentang pengelolaan Pantai Pede yang dinilai tidak memihak pada rakyat.

Para peserta sinode, terutama yang berasal dari Manggarai Barat sepakat bahwa penyerahan pengelolaan Pantai Pede kepada pihak ketiga, merupakan salah satu bentuk “pencaplokan” terhadap hak mereka untuk “memiliki” dan menjadikan pantai itu sebagai sebagai “Natas Labar” bersama.

Sinode lalu mengelaborasi aspirasi itu secara mendalam dan akhirnya memutuskan agar Gereja Keuskupan Ruteng menolak kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.

Jadi, bukan sekadar sebuah keputusan asal-asalan, tetapi lahir dari elaborasi, permenungan yang dikalkulasi serta direfleksi bersama dalam terang Injil.

Sinode itu adalah sebuah forum legal-demokratis yang mengartikulasikan kegelisahan dan harapan umat Allah. Sinode tidak pernah terlepas dari konteks persoalan umat dan tidak mungkin berbicara atas kepentingan pragmatis.

Pembawa “Pedang”

Atas keputusan ini, beberapa orang pun menyampaikan protes. Keberpihakan Gereja Keuskupan Ruteng dinilai tidak aspiratif dan dituduh dibekingi oleh kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan terselubung.

Bahkan, ada yang mengatakan bahwa Gereja Keuskupan Ruteng telah salah kaprah karena berusaha untuk memasuki area yang bukan domainnya. Terakhir, saat Gereja mengadakan misa penutupan Bulan Maria di Pantai Pede, sekian komentar pedas pun dialamatkan kepada Gereja.

Keuskupan Ruteng dinilai menjadikan “Bunda Maria” sebagai tameng untuk memperjuangkan kepentingan parsialnya. Bunda Maria “dipaksa” oleh Gereja untuk menakut-nakuti orang-orang yang tidak sepaham dengannya.

Lebih dari itu, Gereja Keuskupan Ruteng juga dikritik karena tidak paham substansi pembangunan, tidak mengerti pariwisata dan melakukan gerakan yang kontraproduktif.

Uskup Ruteng bahkan disindir karena telah melaksanakan “peristiwa kudus” di tempat publik yang katanya berpotensi melahirkan keretakan.

Harus diakui bahwa segala kritikan dan cacian pedas seperti itu adalah resiko dari sebuah sikap. Itu adalah akibat rasional dari sebuah keputusan yang berani.

Keuskupan Ruteng menyadari secara penuh bahwa keputusan tentang penolakan upaya “privatisasi” Pantai Pede pasti akan ditantang dan ditentang.

Namun demikian, adalah lebih baik bagi Gereja dicaci maki oleh segelintir orang daripada mengorbankan kepentingan sekian banyak orang yang menginginkan agar pantai itu dijadikan milik bersama.

Gereja yakin bahwa perjuangan itu berdiri kokoh di atas kebenaran. Gereja tidak pernah takut membela kebenaran, karena Gereja yakin bahwa kebenaran itulah yang nantinya akan membela Gereja.

Gereja tidak berdiri pada posisi abu-abu, karena dengan itu berarti Gereja membiarkan orang-orang yang kuat akan menang.

Berkaitan dengan sikap berani ini, saya teringat akan tokoh liberatif bernama Yesus Kristus. Selama hidup-Nya, Ia seringkali ditentang dan ditantang, dicemooh, diancam akan dieliminasi.

Orang Farisi dan para pemuka agama bahkan menganggap Yesus sebagai “musuh” karena apa yang dilakukan-Nya kerapkali berseberangan dengan keinginan mereka.

Sesungguhnya, orang-orang Farisi dan ahli-ahli taurat itu merasa tidak nyaman dengan keberadaan Yesus. Yesus selalu mengoreksi mereka habis-habisan. Mereka tidak bisa berbuat sesuka hati sambil memperkaya diri sendiri, sebab selalu diawasi oleh Yesus Kristus.

Apakah Yesus membenci mereka? Tidak! Yesus hanya menginginkan agar mereka insaf, lebih memikirkan orang lain terutama yang menderita dan mereposisi diri agar kembali ke jalan yang benar.

Namun demikian, Yesus sadar bahwa Ia pasti akan mendapatkan perlawanan. Maka Ia berkata, “Jangan kamu menyangka bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang” (Bdk. Mat. 10:34).

Kata-kata “kontroversial” ini sesungguhnya hendak menggambarkan bagaimana masifnya sikap Yesus. Ia memang tidak bermaksud untuk berperang secara fisik, tetapi menyadari bahwa kedatangan-Nya pasti akan menjadi “pedang” bagi orang-orang yang seringkali mengorbankan kebenaran, mengorbankan sesama dan seringkali menginstrumentalisasi orang kecil untuk kepentingan diri.

Berpijak pada sikap Yesus ini, Gereja Keuskupan Ruteng tidak menampik adanya pihak-pihak yang merasa bahwa Gereja telah menabur benih kebencian.

Tetapi, Gereja yakin bahwa anggapan semacam itu justru datang dari mereka yang memang tidak memakai hati nurani dan secara jelimat menilai maksud mulia di balik sikap dan gerakan itu.

Mereka itu menganggap Gereja sebagai “pedang” yang membunuh keegoisan mereka, membunuh nafsu mereka dan melenyapkan keinginan yang tidak memperhitungkan rakyat kecil. Maka, Gereja sesekali mesti membawa “pedang” agar menghancurkan segala bentuk konspirasi.

Tentu saja orang yang berlawanan dengan Gereja akan memandang Gereja seperti “pedang” yang “menusuk” mereka. Tetapi berhadapan dengan berbagai bentuk hegemoni dan konspirasi, terkadang pilihan untuk menjadi “pedang” yang berani bertentangan adalah sebuah opsi bijaksana.

Gereja mesti membawa dan menjadi “pedang” yang berusaha membersihkan segala kebusukan sosial. Tetapi pedang yang dibawa oleh Gereja adalah pedang yang berusaha membetengi umat dari segala ketidakadilan dan berusaha menghalau segala kerja sama terselubung.

Ya, Gereja Keuskupan Ruteng mesti berpihak pada kepentingan yang lebih luas dan lebih mulia.

Gereja tidak mungkin “duduk sopan” sambil “berpangku tangan” melihat praktek pencaplokan sistematis.

Lagi, keberpihakan Gereja Keuskupan Ruteng tidak pernah dibekingi oleh kepentingan-kepentingan pragmatis apalagi di-setting oleh beberapa lembaga yang konon hanya memperalat Gereja.

Penulis adalah imam Keuskupan Ruteng dan dosen di STIPAS St. Sirilus Ruteng

spot_img

Artikel Terkini