Konflik Pede, Bukti Disorientasi Pembangunan

Oleh: AGUSTINUS BANDUR

Tulisan ini sungguh terdorong oleh diskusi yang tidak pernah berkesudahan di Forum WhatsApp “Lonto Léok” sejak awal Mei sampai awal Juni 2016, tepatnya sejak tanggal 5 Mei sampai 6 Juni 2016. Anggota grup itu yang berjumlah lebih dari seratus orang merupakan orang Manggarai, dengan berbagai latar belakang profesi dan tersebar di berbagai tempat di tanah air.

Dalam kurun waktu tersebut, hasil analisis isi teks dengan NVivo 11 Plus menunjukkan bahwa kata ‘pede’ atau ‘Pede’ disebutkan sebanyak 2020 kali di grup itu.  Bahkan, diskusi tentang Pantai Pede yang berlokasi di ujung barat Pulau Flores ini sudah lama dibicarakan.

Misalnya, sampai tanggal 21 Mei 2014, Pater Marsel Agot SVD – imam yang berdomisili di Labuan Bajo – pernah menyebutkan kata ‘Pede’ sebanyak 37 kali, dari total 11.789 postingan dalam akun Facebook miliknya.

Namun demikian, tema-tema utama yang dibicarakan ialah tentang kepemilikan dan kewenangan pengelolaan Pantai Pede. Dasar argumen kepemilikan dan kewenangan pengelolaan pun berpijak pada perspektif dan hukum positif.

Kendatipun ada komentar yang memberikan penekanan pada pemanfaatan Pede untuk kebutuhan publik, tidak lebih dari 12% total coverage tentang tema tersebut.

Karena itu, fokus tulisan ini tidak lagi pada persoalan status kepemilikan dan kewenangan pengelolaan, tetapi lebih pada suatu argumen bahwa kebijakan Gubernur NTT Frans Lebu Raya memberikan hak pengelolaan aset tersebut kepada PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM) untuk pembangunan fasilitas perhotelan merupakan salah satu bentuk disorientasi pembangunan di Kabupaten Manggarai Barat.

Orientasi Pembangunan

Santo Yohanes Paulus II ialah seorang pemimpin besar Abad XX yang paling berpengaruh dalam mengubah pikiran para pemimpin dunia lainnya.

Selama kunjungannya ke Indonesia tahun 1989, Bapa Suci Yohanes Paulus II, dalam sambutannya mengingatkan Presiden Soeharto di Istana Negara Jakarta, bahwa sumber daya terbesar Indonesia ialah orang-orang Indonesia sendiri, yang terdiri atas ratusan kelompok etnis dan hidup tersebar luas sepanjang ribuan pulau Nusantara.

Selengkapnya dikatakan Paus Yohanes Paulus II sebagai berikut:

“As the largest country in southeast Asia, Indonesia embraces peoples spread far and wide across many thousands of islands. In their great diversity, comprising hundreds of ethnic groups and a wide variety of cultures and languages, your people themselves constitute the country’s richest resource.

Ungkapan Paus Yohanes Paulus II di atas merefleksikan semua ajarannya tentang pembangunan yang tertulis dalam enam belas ensikliknya selama menjadi Paus (1978-2005).

Di dalam 14 ensiklik tersebut, kata ‘development’ disebutkan sebanyak 377 kali. Seperti yang kita lihat dalam hasil analisis tematik dengan software manajemen dan analisis data kualitatif NVivo 10 tentang pembangunan dalam 16 ensiklik, Paus Yohanes Paulus II mengajak setiap pemimpin untuk merevisi konsep pembangunan.

Bapa Suci menegaskan bahwa tujuan pembangunan ialah untuk membebaskan setiap individu dan masyarakat dari segala bentuk perbudakan. Perbudakan ada kaitannya dengan struktur dosa  ekonomi kapital yang dipelopori negara-negara dunia pertama.

Menurut Bapa Suci Yohanes Paulus II, “Bebas dari perbudakan berarti karunia identitas, pengakuan untuk tidak merusak martabat manusia” dan “perbudakan merupakan segala hal yang ditimbulkan oleh sikap dan prilaku egoisme, cinta diri dengan mengesampingkan Allah, kebencian, dusta, keserakahan akan kekuasaan, dan kesenangan duniawi yang menjungkirbalikkan tatanan keadilan serta merendahkan martabat manusia” (Ensiklik Evangelium Vitae Paus Yohanes Paulus II).

Karena itu, Bapa Suci menyerukan agar pembangunan harus berorientasi pada persatuan komunitas, pada pembangunan manusia yang bermartabat.

“Pembangunan manusia dan masyarakat yang otentik harus menghormati dan mengedepankan semua dimensi pribadi manusia. Pembangunan yang benar bukan hanya berkaitan dengan pengumpulan harta kekayaan dan ketersediaan barang dan jasa tanpa mempertimbangkan pembangunan sosial, kebudayaan, dan dimensi spriritual dari manusia.” (Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis Paus Yohanes Paulus II).

Senada dengan itu, Bapa Suci Yohanes Paulus II sudah mengingatkan dunia pada tahun 1991 bahwa “development must not be understood solely in economic terms, but in a way that is fully human” (pembangunan tidak boleh semata-mata dipahami dalam istilah ekonomi, tetapi dalam kepenuhan diri manusia, Ensiklik Centesimus Annus). tabele

Implikasi untuk Gubernur NTT

Gubernur ialah seorang pemimpin, bukan sekedar manajer yang menjalankan praktek-praktek manajerial birokrasi Republik ini, apalagi menjadi seorang pengikut yang mudah didikte Jakarta atau pemilik modal.

Karena itu, seorang gubernur atau para pemimpin lainnya, baik pemimpin organisasi birokrasi maupun pemimpin non-birokrasi mutlak memiliki misi, visi, dan perencanaan strategis pembangunan yang jelas.

Misi merupakan tujuan akhir dari pembangunan yang selalu diyakini mustahil untuk dicapai. Misi pembangunan Indonesia jelas tercantum dalam konstitusi dasar kemerdekaan Indonesia, “untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…” (Pembukaan UUD 1945).

Secara teoretis, kemustahilan pencapaian misi dapat dibantu dengan rumusan visi jangka pendek, visi jangka menengah, dan visi jangka panjang.

Jika diibaratkan dengan sebuah perjalanan udara atau laut, visi merupakan kompas, arah perjalanan agar tercapainya tujuan akhir dari perjalanan tersebut.

Kompas diperlukan untuk dapat memprediksikan perubahan yang mungkin terjadi dan tidak dapat diprediksikan sebelumnya. Sementara itu, perencanaan strategis dan visi sama-sama berperan untuk kebutuhan masa mendatang, tetapi perencanaan strategis harus lebih detail.

Misalnya, dalam suatu perjalanan udara, perencanaan strategis merupakan peta perjalanan termasuk jadwal perjalanan, jumlah personil, ukuran bahan bakar, dan bahkan karakteristik personil dan pengecekan jiwa pilot.  

Dalam konteks pembangunan di Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Gubernur Frans Lebu Raya seharusnya sudah memiliki data riset dan analisis terkait dengan prioritas pembangunan pariwisata.

Sesungguhnya, prioritas pembangunan pariwisata Mabar ialah bukan pada instruktur perhotelan tetapi bagaimana membangun pariwisata berbasis budaya dan lingkungan (eco-cultural tourism) dengan strategi pembangunan pariwisata berbasis masyarakat (community-based tourism).

Persoalan lainnya dalam pengembangan pariwisata Mabar ialah rendahnya akses masyarakat terhadap modal sehingga sangat sulit untuk berpartisipasi dalam pembangunan wisata bahari dan wisata alam di Mabar.

Kenyataan-kenyataan ini juga yang mendorong penulis untuk bertanya kepada mantan Menteri Pariwisata, Mari Elka Pangestu, dalam dialog bersama Pastor Paroki Urbanus dan Umat Paroki Wae Nakeng tahun 2014 lalu, “Apa yang bisa dibuat Kementerian Pariwisata agar uang tidak diambil dari Flores, tetapi uang bisa masuk ke Flores.”

Akhir Kata

Sebenarnya kalau Gubernur NTT menyadari esensi pembangunan seperti yang diserukan oleh Pemimpin Besar Dunia Abad XX, Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II yang juga Pemimpin Gereja Katolik,  pembangunan pariwisata Mabar perlu berbasis riset agar sesuai dengan  kebutuhan masyarakat (public driven policy).

Yang paling esensial, Gubernur NTT mungkin tidak menyerahkan pengelolaan Pantai Pede ke pihak kapital. Sebaliknya, dengan penyediaan dana yang cukup, Pemerintah dapat mengelola Pantai Pede untuk kebutuhan manusia Mabar,tidak hanya kebutuhan anak usia dini dan remaja, tetapi juga kebutuhan publik di semua sektor kehidupan.

Paus Yohanes Paulus II telah tiada secara fisik, tetapi jiwanya masih menatap Gubernur Frans Lebu Raya dari Surga dan selalu hadir bersama Roh Kudus menyinari hati dan pikiran Pak Gubernur untuk mendesain Mabar 100 tahun ke depan bukan dengan kehendak pribadi dan common sense belaka, tetapi berdasarkan prioritas pembangunan.

Bagi penulis, tidak menjadi soal Pantai Pede menjadi kepemilikan dan kewenangan Pemerintah Provinsi atau Kabupaten, tetapi pemanfaatan aset publik harus memenuhi kebutuhan komunitas Mabar, bukan semata-mata kebutuhan wisatawan yang hendak menginap di hotel milik PT. SIM.

Penulis adalah Dosen Program Master dan Doktoral Psikologi serta Wakil Direktur Publikasi Riset Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Persada Indonesia Jakarta.

spot_img

Artikel Terkini