Judi dan Kartu Politik

Oleh: ALFRED TUNAME

Pada 15 April lalu, sekelompok elite politik lokal kelas kakap diringkus aparat Polres Manggari Barat (Mabar). Mereka tertangkap tangan sedang melakukan aktivitas judi kartu. Disinyalir, mereka adalah kelompok pendukung penguasa lokal.

Pada konteks Mabar, para penjudi tidak saja dihukum dengan pasal pidana, tetapi berdampak pada status sosial-politik pejabat bahkan perombakan kekuatan politik lokal. Satu-satu persatu lengan octopus kekuasaan terlepas dari penguasa politik lokal.

Para penjudi yang tertangkap itu antara lain, Edi Endi, Anggota DPRD dari Fraks; Ovan Adu, Kepala Bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum; Aven Jesman, Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD); Tan Hasiman, Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Amanat Nasional (PAN) Mabar (sudah diganti pada 2 Mei lalu); Ferdi Setia, seorang kontraktor dan Teus, seorang anggota polisi.

Mereka adalah satu “gang” politik yang akrab dengan penguasa Mabar. Boleh jadi, pada elite tersebut sangat berpengaruh pada keputusan-keputusan politik dan distribusi ekonomi kekuasaan. Kini, kasus perjudian menjadi batu sandungan bagi para elite lokal tersebut.

Easy Come, Easy Go

Aktivitas judi tidak mengenal kasta sosial, ekonomi maupun politik. Dalam judi, semua anggota “egaliter” sebab judi tidak mengenal perbedaan status.

Judi telah lama menjadi penyakit masyarakat. Judi nyaris menjadi candu dalam kehidupan sosial. Variasi bentuk perjudian mudah dijumpai. Ada judi kupon putih, togel, sabung ayam, judi kartu, tebak nomor plat kendaraan, berbagai judi online dan lain-lain.

Kesempatan untuk berjudi selalu dicari. Di Manggarai raya, kesempatan favorit adalah berjudi di rumah duka. Hukum pidana memberi garansi pada aktivitas judi di rumah duka. Alasannya menarik, yakni hadir untuk menghibur dan menemani keluarga yang sedang berduka.

Judi telah menjadi fenomena sosial di Manggarai Raya. Pihak kepolisan sudah menggunakan semua cara untuk meredam fenomena judi. Tetapi, judi selalu ada dan kian akut di tengah masyarakat.

Terkait kasus perjudian, Manggarai raya menempati rating paling tinggi di provinsi Nusa Tenggara Timur. Hal ini tentu sudah sangat meresahkan sebab berpengaruh pada kinerja dan etos kerja.

Kinerja pelayanan publik menjadi rendah karena banyak apartur sipil negara yang berjudi (judi kartu dan judi online) pada saat jam kerja.

Fenomena judi juga bersinggungan dan bersikutan dengan etos kerja masyarkat. Etos kerja yang rendah sementara kebutuhan ekonomi meningkat akan memicu perjudian.

Dengan judi, dana segar akan lebih mudah didapat. Pragmatisme ekonomi ini tercantel kuat dalam benak penjudi.

Cekalanya, hipotesa “easy come, easy go” selalu terbukti dalam konteks perjudian. Karena “easy come, easy go” tersebut, etos kerja pun menurun. Penjudi selalu ingin terus bermain judi, selain untuk mengembalikan uang yang hilang, juga untuk mendapat uang sebanyak-banyaknya dari perjudian.

Mendapatkan uang secara gampang, membuat judi semakin menggeliat, meski kita jarang mendengar bahwa ada orang yang bisa kayak arena judi.

Diplomasi Judi

Judi seringkali didekatkan dengan mitos persahabatan. Dengan berjudi bersama, persahabatan diantara para penjudi kian akrab. Dengan keakraban itu, informasi dan distribusi sumber daya mudah diakses sebagai menjadi konsekuensi logis persahabatan.

Maka tidak heran, di Manggarai Raya, judi di kalangan kontraktor dan para elite politik lokal sudah menjadi hal lumrah. Hal itu dilakukan untuk mempermudah akses informasi dan distribusi proyek-proyek pemerintah.

Tanpa disadari, judi merangsek masuk dalam dimensi sosial, politik dan ekonomi. Demi pertemanan, seseorang terlibat dalam perjudian.

Dalam Pilkada, misalnya, seseorang berjudi untuk mempengaruhi sebagaian besar pilihan politik. Demi akses proyek pemerintah, seorang membuka mimbar judi kartu dengan politisi dan pejabat pemerintah daerah. Dengan kata lain, judi dapat memperkuat relasi sosial, politik dan ekonomi.

Penangkapan dalam kasus judi yang melibatkan para elite politik dan birokrat di Mabar, tidak lepas dari skema akses distribusi proyek-proyek pembangunan.

Mereka adalah kongsi penguasa daerah yang menentukan pembagian dan distribusi proyek pembangunan di Mabar. Nepotisme politik dieratkan oleh judi sehingga keputusan politik pun seringkali dapat terjadi di meja judi.

Dari status sosial dan pengaruh, para elite lokal Mabar yang tertangkap itu tidak berjudi untuk uang hasil taruhan.

Judi hanya menjadi ragam “diplomasi” untuk mendapatkan kue-kue pembangunan. Dalam diplomasi itu, ada lobi-lobi distribusi proyek.

Jadi, pada konteks politik lokal, judi dipisahkan dari penyakit compulsive gambling disorder, tetapi semacam “settled habit” untuk mendapatkan benefit ekonomi-politik.

“Diplomasi judi” seringkali lebih afdol ketimbang proposal pengajuan tender proyek. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pelelangan tender proyek di Dinas Pekerjaan Umum hanyalah formalitas untuk memenuhi standar.

Pelelangan dengan sistem online pun hanyalah cara baru demi kemudahan dan efisiensi pemberkasan proposal tender. Keputusan pemenang tender ada pada penguasa dan elite-elite politik lokal.

Pengusa dan elite-elite lokal merupakan “komunitas kebijakan” yang seringkali merumuskan kebijakan publik dengan dasar pragmatisme politik. Komunikasi pun terjadi dalam pola non hierarkis.

Aktivisme kebijakan yang dihasilkan serampangan seturut fragmentasi pemerintah dan partikularisme politik (bdk. Hugh T. Miller dan Tansu Demir dalam Frank Fischer, dkk, 2015, hal:193).

Agenda pembangunan pun dibajak oleh penguasa dan elite-elite politik. Kasus proyek jalan Lando-Noa yang terindikasi pidana korupsi di Mabar merupakan salah satu bentuk kebijakan non hierarkis. Proyek pembangunan sarat nepotisme tersebut merupakan hasil kebijakan “komunitas kebijakan” itu. Alhasil, masyarakat menjadi korban propaganda pembangunan.

Meskipun masih menjadi kontroversi dalam masyarakat, aktivitas berjudi harus diberantas. Sebagai penyakit sosial, mengutip George Wasington, “gambling is the child of avarice, the brother of iniquity, and the father of mischief”.

Karenanya, judi merasuki keimanan sebab sebagai “a vast engine of demoralisation”, dan juga merasuki dunia politik. Persisnya, keagungan politik nyaris kandas oleh kepentingan pragmatis pada elite-elite politik.

Prinsip kebijakan yang berkeadilan, transparan dan demokratis kian rabun oleh perilaku oportunis dan “diplomasi judi”.

Oleh karena itu, aparat penegak hukum harus berani menindak tegas musuh masyarakat. Tanpa pandang bulu, hukum harus ditegakan.

Ketika praktik “diplomasi judi” masih terus dibiarkan, politik lokal tak akan pernah membebaskan rakyat dari derita panjang.

Padahal, politik adalah, mengutip Aristoteles, aktivitas bersama yang rasional untuk kebaikan bersama.

Penulis adalah adalah peneliti, meminati isu-isu sosial dan politik

spot_img

Artikel Terkini