Potret Sejarah Manggarai dalam Sejarah Nusantara: Sebuah Studi Literatur

Manggarai mendapat pengaruh budaya oleh pendatang dari berbagai macam latar belakang, seperti Cina, Jawa, Bugis, Padang, Bali, Makasar, Belanda, Portugis, termasuk penduduk Pulau Flores dan penduduk NTT dari daerah lain. Hal ini telah memperkaya dan membentuk keanekaragaman budaya di Manggarai.

Catatan editor: Tulisan ini merupakan karya dari Vianney Andro Prasetyo, seorang alumni Australian National University. Ia merupakan pemerhati lingkungan, penikmat pariwisata, kopi dan sejarah. Sekarang, Andro tinggal di Ruteng. Dalam surat elektronik kepada Floresa.co, ia berharap, ulasan dengan basis ilmiah ini yang juga berisi hipotesis mengenai asal usul Manggarai, bisa menjadi referensi bagi masyarakat yang ingin belajar tentang Manggarai.

Kesultanan Bima dan Kesultanan Makassar

Sejarah Manggarai tidak lepas dari sejarah Kerajaan lain di Nusantara seperti Kerajaan Gowa yang kemudian dilebur bersama Kerajaan Tallo menjadi Kesultanan Makassar, Kerajaan Bima, perkembangan Agama Islam di Nusantara dan penyebaran Agama Katolik di Flores.

Kawasan Barat Flores (Manggarai) pada masa lampau dikuasai oleh Kerajaan Bima hingga pada awal tahun 1900 (Steenbrink 2013). Bima menjadi Kerajaan Islam karena pengaruh Penguasa Gowa yang memeluk Islam pada tahun 1605 dan kemudian membentuk Kesultanan Makassar. Bima yang saat itu menjadi taklukan Gowa kemudian memeluk agama Islam (Steenbrink 2013). Sebagai daerah taklukan, Bima mengirim upeti kepada penguasa Gowa yang juga diambil dari tanah Manggarai seperti hasil bumi dan ternak (Daeng 1995).

Keadaan ini bertahan hingga tahun 1667 saat diadakan Perjanjian Bungaya antara VOC dan Kerajaan Gowa yang saat itu menguasai Bandar Makassar. Gowa yang merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut tetap melakukan perlawanan dibawah pimpinan Sultan Hasanuddin hingga akhirnya dikalahkan oleh VOC pada 1669. Perlawanan ini dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669). Daerah yang berhasil lepas dari kekuasaan Gowa akibat perjanjian dan perang ini adalah Makassar, Bone dan Bima. Pada tahun 1669, Bima kemudian menyerah dan menandatangi suatu perjanjian dagang dengan VOC. Selanjutnya, Bima menjadi penguasa tunggal atas Manggarai yang diakui oleh VOC (Daeng 1995).

Pada tahun 1700-an atau mungkin sebelumnya, di Manggarai telah ada suatu sistem pemerintahan dari tiga kelompok masyarakat yang cukup besar, yaitu Todo, Cibal dan Bajo (Daeng 1995). Pada tahun 1727, seorang putra Sultan Bima mempersunting seorang Putri dari Kesultanan Makassar, Puteri Daeng Tamima. Kawasan Manggarai kemudian diserahkan sebagai hadiah perkawinan dan Puteri Daeng Tamima mendirikan Kerajaan Islam di Reo, pantai utara Manggarai. Sultan Musa Lani Alima dari Bima ternyata tidak setuju menjadikan Manggarai sebagai hadiah kepada Kesultanan Makassar. Maka, pada tahun 1732 dibentuklah persekutuan dengan Bajo untuk menyerang Reo dari laut dan mengusir orang Makassar di Reo. Akan tetapi, serangan ini gagal sehingga disusun kekuatan baru dengan bantuan Todo dari arah selatan (Daeng 1995).

Todo menggunakan kesempatan ini untuk memperoleh hegemoni dan pengaruh atas pedalaman Manggarai dengan menaklukkan penguasa-penguasa lokal di pedalaman. Akibat kekuatan yang tidak seimbang, maka Puteri Daeng Tamima akhirnya menyerah dan kembali ke Makassar. Dengan demikian pengaruh Bima atas Manggarai tetap dapat dipertahankan (Daeng 1995).

Setelah mengamankan kekuasaan di Manggarai, Bima menjadikan Reo sebagai pusat pemerintahan di Manggarai dengan mengangkat perwakilan Sultan Bima yang disebut Naib. Perwakilan Sultan Bima yg kedudukannya lebih rendah dari perwakilan di Reo juga ditempatkan di Labuan Bajo, Pota dan Bari. Di Manggarai, Kesultanan Bima mempelopori suatu sistem pemerintahan yang disebut kedaluan dan gelarang. Gelarang memiliki status dibawah Kedaluan (Daeng 1995).

Pada tahun 1732, situasi struktur pemerintahan di Manggarai adalah perwakilan Sultan Bima di Reo, Pota, Bari dan Labuan Bajo, tiga dalu besar; Todo, Cibal dan Bajo yang tidak mempunyai hubungan koordinatif dengan Naib di Reo dan juga dalu-dalu kecil lainnya. Selanjutnya, Dalu Todo juga membawahi tiga belas kedaluan yang lebih kecil yaitu Kolang, Lelak, Wontong, Welak, Ndoso, Ndeles, Rahong, Ruteng, Poco Leok, Torok Golo, Sita, Riwu dan Manus, namun tetap membayar upeti kepada Naib di Reo. Sementara itu, Dalu Cibal dan Dalu Bajo tidak membawahi dalu-dalu kecil lainnya namun juga membayar upeti kepada Naib di Reo (Daeng 1995).

Kedaluan yang mempunyai hubungan koordinatif dengan Naib di Reo adalah Ruis, Pasat, Nggalak, Rego, Pacar, Boleng, Kempo, Nggorang, Mburak, Lo’ok dan Lambaleda. Sementara itu, kedaluan yang berada dalam garis koordinatif dengan Naib di Pota adalah Congkar, Biting dan Rembong (Daeng 1995). Seiring dengan berkembangnya daerah kekuasaan Bima di Manggarai dan juga daerah kekuasaan Dalu besar yang ada maka jumlah kedaluan di Manggarai pun bertambah. Pada perkembangannya, daerah Manggarai terbagi dalam 38 kedaluan (Steenbrink 2013).

Situasi Struktur Pemerintahan di Manggarai tahun 1732
Situasi Struktur Pemerintahan di Manggarai tahun 1732

Naiknya hegemoni Dalu Todo rupanya tidak disukai oleh Dalu Cibal yang menganggap Dalu Todo bukanlah Manggarai asli melainkan keturunan Minangkabau. Rivalitas diantara kedua Dalu ini kemudian menghasilkan beberapa peperangan terbuka yang kemudian dimenangkan oleh Dalu Todo. Keberpihakan Bima terhadap Dalu Todo terjadi akibat aliansi yang terbentuk dalam menyerang Reo. Namun, sebenarnya Bima tidak mempunyai kepentingan terhadap perselisihan yang terjadi diantara kedua dalu tersebut selain mengamankan pengaruh mereka atas Manggarai (Daeng 1995).

Asal usul Dalu Todo atau pemimpin kedaluan tersebut yang berasal dari Minangkabau memang masih sulit dibuktikan secara ilmiah mengingat sedikit sekali catatan sejarah mengenai Manggarai, kecuali menggali dan menganalisa dari catatan sejarah kebudayaan lain yang terkait, seperti Bima, Makassar (Gowa) ataupun Minangkabau. Cerita masa lampau dan asal usul di Manggarai masih disampaikan turun menurun secara verbal.

Tidak adanya akses ke pendidikan mengakibatkan budaya Manggarai pada masa lampau tidak mengenal budaya literasi dalam konteks membaca dan menulis. Beberapa orang mungkin mempunyai kemampuan tersebut terutama yang mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan suku bangsa lain di derah pesisir ataupun karena intervensi dari misionaris (Pemerintah Kolonial Belanda) dengan mengirim mereka ke sekolah-sekolah misi yang ada di Flores. Misionaris dan Pemerintah Kolonial Belanda juga telah membantu memberikan referensi sejarah Manggarai sejak awal 1900 melalui penelitian-penelitian etnologi.

Minangkabau

Namun bila kita kaitkan dan lihat lebih jauh mungkin saja cerita ini bisa di telaah berdasarkan catatan sejarah dan riset yang ada. Suku Minangkabau dan Makassar dan Bugis merupakan sedikit dari suku-suku di Indonesia yang melakukan perantuan pada masa lalu (Persoon 2002). Wilayah yang diliputi juga cukup besar. Suku Minangkabau merantau hampir diseluruh kawasan Asia Tenggara termasuk kawasan Indonesia Timur. Salah satu perantau awal dari Minangkabau bermukim di kawasan Negri Sembilan di Semenanjung Malayu dan menjadi bagian dari Negara Federasi Malaysia.

Suku Makassar ataupun Bugis diketahui melakukan pencarian teripang hingga ke pesisir utara di benua Australia dan melakukan perdagangan hingga ke Madagaskar. Ada kemiripan yang mendasari perantuan suku-suku ini, yaitu perdagangan atau faktor ekonomi. Namun, ada satu hal yang berbeda dari Suku Minangkabau yang juga mendorong suku ini untuk merantau, yaitu budaya Matrilineal (Persoon 2002).

Orang Minangkabau akan pergi merantau dan enggan untuk kembali sebelum meraih kesuksesan. Suatu pegangan hidup yang ditanamkan oleh para Ibu di Minangkabau kepada anak laki-lakinya yang kini menjadi lebih umum bagi suku-suku lain di Indonesia. Anak laki-laki Minangkabau akan merantau dan keluar dari rumah saat dewasa karena menyadari bahwa rumah dan tanah menjadi hak bagi Saudarinya, apalahi bila saudari mereka sudah menikah dan mempunyai anak. Suatu budaya yang diperkenalkan oleh nenek moyang legendaris masyarakat Minangkabau Datuak Katamanggungan dan Datuak Perpatih Nan Sebatang. Mereka berdua yang dipercaya menyusun sistem adat Minangkabau atau yang dikenal dengan Lareh Bodi Caniago pada sekitar tahun 1200, jauh sebelum Agama Islam masuk ke Minangkabau (Batuah AD dan Madjoindo AD 1959).

Menurut catatan dalam Suma Oriental oleh Robert Pires, diketahui bahwa pada sekitar awal tahun 1500 terdapat Tiga Raja yang berkuasa di Minangkabau; Raja Alam, Raja Sabda dan Raja Ibadat (Cortesao A 1944). Menurut catatan yang dibuat antara tahun 1513-1515, disebutkan bahwa dari ketiga Raja Minangkabau tersebut hanya satu yang telah memeluk Agama Islam sejak 15 tahun sebelumnya. Ini artinya, Agama Islam mulai berkembang di sebagian masyarakat Minangkabau pada sekitar tahun 1498 – 1500.

Seperti dijelaskan diawal, budaya merantau Minangkabau yang kuat berdampak pada migrasi besar-besaran sekitar tahun 1500 an (Dobbin 2008). Banyak orang Minangkabau yang pindah ke sisi Timur Sumatera bahkan hingga ke Semenanjung Malaya karena adanya Kesultanan Malaka dan jalur perdagangan yang ramai. Kesultanan Malaka saat itu memang dipengaruhi oleh Islam namun pada pelaksanaan hukum dan pemerintahan tidak didasarkan sepenuh pada nilai-nilai Islam (Halimi 2008). Demikian pula dengan situasi masyarakat Minangkabau saat itu. Masyarakat Minangkabau baru menerapkan ajaran Islam sepenuhnya setelah meletusnya Perang Paderi (1803-1838), akibat konflik antara Kaum Adat dan Kaum Paderi (Ulama).

Setelahnya jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak orang Melayu termasuk Minangkabau yang berimigrasi ke Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Saat itu Kerajaan Gowa belum memeluk Islam dan orang-orang Melayu ini lah yang memperkenalkan Islam hingga Kerajaan Gowa memeluk Islam pada awal tahun 1600 yang juga kemudian mempengaruhi Kerajaan Bima.

Hipotesa Keturunan Minangkabau di Manggarai

Bila melihat dari catatan sebelumnya dimana pada tahun 1732 telah terdapat 3 dalu besar di Manggarai termasuk Todo, dan belum berkembangnya Islam di Manggarai, maka hipotesa yang bisa dibangun adalah sebagai berikut:

Nenek moyang Dalu Todo mungkin berasal dari suku Minangkabau yang merantau pada sekitar abad ke 12 sampai abad ke 14 saat telah berlaku budaya Matrilineal. Namun kemudian, mengapa budaya tersebut tidak diterapkan di Todo masih perlu diteliti. Mungkin saja para perantau awal ini adalah mereka yang menolak budaya Matrilineal.

Nenek moyang Dalu Todo mungkin berasal dari Suku Minangkabau yang merantau ke Sulawesi Selatan pada abad ke 15 dan 16. Diketahui bahwa suku Minangkabau telah bermukim di Makassar sejak tahun 1490. Sebagai bandar yang cukup besar pada masanya, sangatlah mungkin Makassar dihuni oleh suku-suku lainnnya seperti Bugis, Luwu dan bahkan Bima. Kawin campur mungkin terjadi dan pengaruh Islam masih belum terlalu kuat. Dengan hubungan antara Gowa dan Bima, juga karakter Minangkabau dan Bugis/Makassar sebagai perantau dan penjelajah, mungkin terjadi bahwa perantau Minangkabau ini ataupun keturunannya ikut dalam ekspedisi ke Manggarai dan bermukim didaerah Todo hingga berkembang sampai saat ini. Abad ke 15 sampai dengan awal abad ke 17 bisa dikatakan sebagai masa peralihan dimana Kerajaaan-Kerajaan di Nusantara mulai memeluk Islam. Namun pengaruhnya dalam pemerintahan dan hukum belum begitu kuat, sehingga masih banyak masyarakatnya yang berpegang kepada adat istadat dan budaya. Hal ini juga terjadi di Kerjaan Minangkabau dan Kerajaan Gowa sehingga sangat mungkin perantau Minangkabau yang datang ke Manggarai masih berpegang kepada adat dibanding agama yang masif relatif baru.

Pertanyaan mengenai budaya matrilineal yang tidak diwariskan juga akan muncul. Namun hipotesa ini menjelaskan bahwa mungkin saja para perantau ini punya motif yang sama dengan perantau di hipotesa pertama, yaitu menolak Matrilineal atau bisa saja para perantau ini adalah suku Minangkabau yang telah menetap beberapa saat di Makassar sebelum melanjutkan perjalanan ke Manggarai. Sebagai pendatang di Makassar yang adalah patrilineal, bukan tidak mungkin Suku Minangkabau ini kemudian mengadopsi sistem yang sama. Faktor kawin campur dan eksposur terhadap budaya lain bisa mempengaruhi kenapa sistem kekerabatan matrilineal tidak dibawa ke Manggarai.

Perbudakan dan Perlawanan

Kondisi topografi dan geografi pada masa lampau menyebabkan sulitnya akses ke daerah pedalaman Manggarai. Sehingga terdapat perbedaan jelas antara penduduk di daerah pesisir yang didominasi suku Bima, Makassar dan Bugis dan penduduk Manggarai di daerah pedalaman. Hingga tahun 1900, penduduk di pedalaman mempunyai perasaan takut yang mendalam tehadap pendatang karena risiko penyerangan dan dijadikan budak (Steenbrink 2002).

Pada tahun 1700, di Batavia telah terdapat suatu desa dengan nama Manggarai yang dinamakan karena banyaknya budak yang berasal dari Flores bagian Barat (Steenbrink 2002). Mereka mengumpulkan pajak, hasil bumi, ternak dan juga budak dari penguasa lokal (dalu) dipedalaman Manggarai (Steenbrink 2013).

Pada 1 Januari 1860, Pemerintahan Kolonial Belanda menghapus perbudakan di Hindia Belanda. Akan tetapi budak-budak di Pulau Sumbawa yang sebagian berasal dari Flores bagian Barat baru benar-benar dibebaskan pada tahun 1910 (Steenbrink 2013). Sementara di Flores Barat sendiri praktek pengambilan budak baru benar-benar hilang saat Belanda secara resmi mengambil alih kekuasaan pada 1908.

Pada tahun 1783 diadakan suatu perjanjian tertulis antar Sultan Bima, Abdulkadim dengan sejumlah Dalu di Manggarai yang isinya mengingatkan kembali pengakuan Belanda terhadap kekuasaan Bima di Manggarai pada tahun 1669. Persetujuan ditandai dengan penyerahan alat-alat upacara kebesaran dan senjata kepada sejumlah perwakilan Dalu. Akan tetapi, isi perjanjian tersebut membuat hubungan antara Bima dan penduduk pedalaman Manggarai menjadi tidak seimbang dimana kedaluan di pedalaman dilarang melakukan hubungan dagang dengan pihak lain. Sementara itu, Bima hanya menerima pajak, upeti dan budak dari kedaluan yang ada. Penduduk Bima, Bugis atau Makassar yang beristrikan orang dari pedalaman Manggarai dilarang tinggal di derah kedaluan karena akan mencemari adat dan agama. Ini pula yang membuat Agama Islam pada saat itu tidak bisa berkembang di Manggarai yang sebagian besar penduduknya masih menganut kepercayaan lokal (Steenbrink 2013).

Melalui persetujuan pada 1783, Bima telah memainkan peranan penting dan pengaruhnya terasa sampai jauh ke pedalaman. Sehingga timbul reaksi dan perlawanan dari pemimpin lokal, apalagi dengan adanya kekuatan baru yang muncul, Todo.

Pada tahun 1860, Dalu Todo menentang Bima secara resmi dengan menolak kekuasaan Sultan Bima. Pada tahun 1905, Todo menolak untuk membayar upeti pada saat penobatan seorang Sultan baru di Bima. Pada tahun 1915, saat seorang Sultan Bima wafat, seluruh Kedaluan di Manggarai menolak hadir pada saat upacara pemakamam dan menyatakan diri bebas dari Bima (Daeng 1995).

Runtuhnya Kekuasaan Bima

Pada awal 1900, kekuasaan Bima di Manggarai mulai memudar. Pada tahun 1908, Belanda secara resmi melakukan kegiatan administratif di Manggarai. Selanjutnya, pada tahun 1913, terjadi perubahan dalam struktur Kesultanan Bima dimana teritori Manggarai dibawah Raja Naib di Reo dinyatakan terpisah dari Kesultanan Bima dan menjadi unit administratif tersendiri. Perubahan struktur VOC ke Pemerintah Hindia Belanda juga mempengaruhi eksistensi Bima di Manggarai. Dengan dibubarkannya VOC pada 1 Januari 1800, maka perjanjian Bima dan VOC pada tahun 1669, tidak lagi relevan dan Pemerintahan Hindia Belanda yg baru mempunyai preferensi yang berbeda tehadap tanah jajahannya di Flores, termasuk salah satunya untuk pengembangan Agama Katolik.

Pada awalnya, Pemerintah Hindia Belanda masih mempertimbangkan untuk mempertahankan keturunan Sultan Bima sebagai penguasa Manggarai yang terpisah dari Bima. Namun, karena situasi yang telah berubah dan penolakan dari penguasa lokal di Manggarai, maka Pemerintah Hindia Belanda mengurungkan niat tersebut dan diantara tahun 1927 dan 1929 Pemerintah Hindia Belanda membuat keputusan untuk memulangkan semua pegawai pemerintahan yang berasal dari Bima (Steenbrink 2013).

Selanjutnya, anak bungsu dari Tamur, pemimpin Kedaluan Todo yang bernama Baroek dinominasikan untuk menjadi Raja Manggarai (Radja van Manggarai). Baroek yang lahir pada 1900 telah dididik pada sebuah sekolah Misi di Ende. Sementara menunggu Baroek yang sedang menempuh pendidikan kembali ke Manggarai, Belanda menomminasikan Kraeng Bagoeng yang juga berasal dari Dalu Todo untuk menjadi Raja Manggarai pada tahun 1924 (Steenbrink 2013).

Kekuasaan Bima di Manggarai berakhir secara resmi pada tanggal 21 April 1929. Sementara itu, Baroek di inagurasi menjadi Raja yang baru pada tanggal 13 November 1930. Radja Bagoeng yang adalah Raja Manggarai sebelumnya berganti menjadi Raja Bicara Manggarai (Radja Bitjara van Manggarai). Keputusan final ini menandai berakhirnya kekuasaan Muslim Bima di Manggarai dan diganti dengan Penguasa Katolik lokal dari Manggarai dibawah pengawasan Belanda. Pusat pemerintahan yang sedianya berada di Reo juga dipindahkan ke Ruteng (Steenbrink 2013).

Foto Gereja Katedral Ruteng yang diresmikan pada tahun 1930
Foto Gereja Katedral Ruteng yang diresmikan pada tahun 1930

Raja Bagoeng dan Raja Baroek wafat pada masa Kemerdekaan dan masa transisi dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia. Selanjutnya, kekuasaan Raja Manggarai diteruskan oleh Kraeng Ngambut yang juga berasal dari Todo. Kepemimpinan Kraeng Ngambut berlangsung sejak masa transisi Kemerdekaan Indonesia, Manggarai sebagai daerah Swa Praja hingga akhirnya ditetapkan sebagai Kabupaten.

Semenjak menjadi Kabupaten hingga saat ini, Manggarai telah dipimpin oleh tujuh Kepala Daerah. Bupati pertama adalah Bapak Karolus Hambur yang kemudian digantikan oleh Bapak Frans Sales Lega. Nama Frans Sales Lega diabadikan menjadi nama bandara di kota Ruteng. Bupati yang ketiga adalah  Bapak Frans D. Burhan yang kemudian diteruskan oleh Bapak Gaspar Parang Ehok. Bapak Anton Bagul dan Bapak Kris Rotok meneruskan kepemimpinan daerah hingga Manggarai saat ini dipimpin oleh Bapak Deno Kamelus bersamaWakilnya Bapak Viktor Madur.

Manggarai juga mendapat pengaruh budaya oleh pendatang dari berbagai macam latar belakang, seperti Cina, Jawa, Bugis, Padang, Bali, Makasar, Belanda, Portugis, termasuk penduduk Pulau Flores dan penduduk NTT dari daerah lain. Hal ini telah memperkaya dan membentuk keanekaragaman budaya di Manggarai.


 

Referensi:

1944, Cortesao A., The Soma Oriental of Tome Pires, Hakluyt Society, Vol. 2, London

1959, Batuah A.D dan Madjoindo A.D., Tambo Minangkabau dan Adatnya, Balai Pustaka, Jakarta.

1995, Daeng H. ‘Manggarai Daerah Sengketa Antara Bima dan Gowa’, Humaniora 11.

1997, Zuhdi S. and Wulandari T.,’Kerajaan Tradisional di Indonesia: BIMA’, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta.

2002, Persoon G.A., Defining Wildness and Wilderness: Minangkabau Images and Actions on Siberut (West Sumatra), ‘Tribal Communities in the Malay Worlds: Historical, Cultural and Social Perspectives’, pp. 439-456, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore.

2002, Steenbrink K., ‘Flores: Efforts to Create Modern and Christian Society’, Catholics in Indonesia 1808 – 1942. Chapter: 3.

2008, Dobbin C., Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784 – 1847, Komunitas Bambu, Jakarta.

2008, Halimi A.J., Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu.

2013, Steenbrink K., ‘Dutch Colonial Containment of Islam in Manggarai, West-Flores, in Favour of Catholicism, 1907-1942’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 169, Pp. 104-128, Brill.

spot_img

Artikel Terkini