STFK Ledalero Wisuda 184 Lulusan S1 dan S2

Maumere, Floresa.co – Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Sikka, Flores mewisuda 184 lulusan sarjana (S1) dan magister (S2) pada Sabtu, 30 April 2016.

Sebanyak 142 orang merupakan sarjana filsafat dan 42 orang merupakan lulusan magister teologi.

Hadir dalam acara ini Kepala Dirjen Bimas Katolik Indonesia, Drs. Eusebius Binsasi; pejabat yang mewakili Kopertis Wilayah VIII; Wakil Bupati Sikka, Paulus Nong Susar; Kepala Kantor Agama Kabupaten Sikka; Ketua Yayasan Santo Paulus Ende (Yasspa), Pastor Alfons Mana, SVD; seluruh civitas akademika STFK Ledalero; tamu dan undangan lainnya serta anggota keluarga pata wisudawan.

Ketua STFK Ledalero, P. Bernard Raho, SVD dalam pidatonya mengatakan, STFK Ledalero selalu berusaha memperhatikan mutu pendidikan dengan kriteria yang ditetapkan baik untuk mahasiswa maupun untuk dosen.

“Kriteria-kriteria untuk mahasiswa antara lain menetapkan standar Indeks Prestasi Komulatif (IPK) 2,25 untuk tiga semester awal sehingga mahasiswa yang tidak memenuhi standar tersebut dinyatakan Drop Out (DO),” katanya.

Dosen Sosiologi STFK ini mengatakan “intinya, STFK Ledalero menempa mahasiswanya untuk cerdas, jujur dan berintegritas”.

Sementara itu, Pastor Alfons dalam sambutannya mengucapkan terima kasih kepada para wisudawan yang telah memilih STFK Ledalero sebagai salah satu unit dari Yasspa untuk membentuk dan menempa diri menjadi pribadi yang berintelektual, kritis dan cerdas.

Ia menjelaskan, “Yasspa telah memiliki legal yuridis dari Kemenham sehingga out put STFK Ledalero tidak perlu cemas akan status sekolah ini.”

Ibu Anggraini yang mewakili Kepala Kopertis Wilayah VIII dalam sambutannya menghimbau para wisudawan untuk tidak berhenti belajar, bekerja secara cerdas dan ikhlas agar mampu bersaing dan menang.

“Di tengah zaman yang terus berubah ini, mutu pendidikan bukan soal gaya hidup. Setiap wisudawan harus beradaptasi dengan perubahan yang terjadi setiap waktu. Maka yang dibutuhkan adalah kesiapan mental dan terus menempa diri menjadi pribadi yang kreatif,” lanjutnya.

Eusebius Binsasi dalam sambutannya mengatakan pendidikan yang diterapkan di STFK Ledalero yaitu cerdas, jujur dan berintegritas sangat dirindukan dan diharapkan oleh masyarakat.

“Dewasa ini ada orang yang cerdas tetapi tidak punya integritas, cerdas tapi tidak jujur, cerdas tapi tidak logis”, lanjutnya.

Lebih lanjut alumnus STFK Ledalero ini mengatakan “di Indonesia, isu-isu sosial semakin marak seperti, radikalisme, perusakan lingkungan hidup, narkoba, terorisme dan berbagai isu lainnya menuntut kita untuk bersikap kritis atas berbagai persoalan tersebut.”

“Kita membutuhkan peran para filsuf dan teolog untuk mendamaikan situasi ini dengan pikiran-pikiran yang cerdas agar kita tidak dihadapkan dengan konflik-konflik kepentingan tertentu,” jelas mantan Kepala Depag Sikka ini.

Di akhir sambutannya, ia menghimbau para wisudawan untuk berteologi secara kontekstual, meningkatkan harmoni sosial, belajar terus dan memberikan yang terbaik agar kehadiran mereka memberikan kegembiraan dan membebaskan orang lain.

Sementara itu, Wakil Bupati Sikka dalam sambutannya mengatakan STFK Ledalero merupakan salah satu kebanggaan masyarakat Sikka.

Kiprah sekolah ini. Kata dia, tidak hanya mengharumkan nama Lembaga STFK dan Yayasan milik SVD saja tetapi juga mengharumkan nama kabupaten Sikka, bukan hanya di tingkat nasional tetapi juga di internasional melalui para misionaris.

Wabup Sikka yang juga alumnus STFK Ledalero mengucapkan terima kasih kepada STFK Ledalero yang telah membantu pemerintah kabupaten Sikka dalam menyelesaikan berbagai persoalan di kabupaten ini.

“Sikka tidak mengalami defisit kemanusiaan karena adanya lembaga ilmiah ini. STFK telah membantu pemerintah dengan menghadirkan orang-orang yang cerdas, jujur dan punya integritas diri untuk membangun pemerintah”, lanjutnya.

Beni Obon, dalam orasi ilmiahnya mewakili para wisudawan mengkritisi berbagai kebijakan dari perspektif teologis.

Dalam orasinya yang berjudul “Status Teologi Praksis dalam Kaitan dengan Praktek Kekerasan Terhadap Kaum Perempuan di Indonesia” mengatakan, kekerasan terhadap perempuan yang dilegitimasi oleh kebijakan atau Perda-Perda merupakan bukti nyata adanya pelanggaran terhadap kemanusiaan.

“Praktek diskriminasi terhadap kaum perempuan di Indonesia terjadi dalam bingkai otonomi daerah,” lanjutnya.

Beni, yang memperoleh predikat Cum Laude ini menyebutkan tiga pintu masuk dan bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan, yaitu, diskriminasi yang berasal dari Perda tentang aturan busana, diskriminasi yang berasal dari Perda tentang prostitusi dan diskriminasi yang berasal dari Perda tentang Kwalwat.

“Teologi praksis sebagai bagian dari teologi pembebasan mempunyai tanggung jawab mengangkat realitas sosial dalam masyarakat. Realitas tersebut menjadi ladang darinya lahir refleksi-refleksi teologis dalam dialektika aksi dan refleksi,” katanya.

“Refleksi ini tidak akan pernah selesai karena realitas sosial akan terus berubah dan perubahan tersebut menuntut aksi dan refleksi yang baru atasnya,” ungkap Beni.

Filsafat dan teologi melihat bahwa upaya melawan segala praktik penindasan terhadap kaum perempuan merupakan mandat Kristus untuk mengembalikan manusia sebagai citra Allah.

Kata Beni, “teologi praksis melihat bahwa praktik kekerasan dan pendeportasian hak-hak kaum perempuan merupakan bentuk penjajahan model baru dalam dunia modern.”

“ Teologi praksis mengingatkan kita bahwa pelbagai model dominasi yang terjadi dalam masyarakat merupakan hal yang tidak manusiawi dan merupakan suatu penyangkalan akan hak-hak orang lain. Praktik ini menjauhkan orang dari kedamaian dan tentu saja bertentangan dengan kehendak Allah”.

“Manusia diciptakan Allah setara dan sederajat sehingga praktik yang menyimpang semestinya dilawan”, kata calon misionari Amerika ini. (Dantho SVD/ARL/Floresa)

spot_img
spot_img

Artikel Terkini