Desa Papagarang dan Ironi Zonasi di Taman Nasional Komodo

Labuan Bajo, Floresa.co – Penduduk Desa Papagarang, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) sudah sangat kecewa menjadi bagian dari kawasan Taman Nasional Komodo (TNK).

Sejak ditetapkan pada 30 Mei 2000 sebagai bagian dari zona penyanggah TNK, hak-hak dasar mereka sebagai warga negara seperti hak kepemilikkan tanah, pendidikan, kesehatan, mata pencarian dan ruang hidup benar-benar dikebiri.

“Tidak ada untungnya,” kata Soeharto, seorang warga dalam pertemuan di Papagarang, Selasa 12 April 2016.

Hadir dalam pertemuan itu sekitar sepuluh orang, dari aparat pemerintah Desa Papagarang beserta elemen masyarakat.

Ungkapan kekecewaan secara terang-terangan juga disampaikan oleh Abdul Hamid. Selama enam belas tahun, katanya, masyarakat di sana benar-benar didiskriminasi.

Lebih mirisnya lagi, katanya, begitu banyak politisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang datang dan menjanjikan untuk membantu, namun ternyata hanya tinggal janji belaka, tidak ada perubahan sama sekali.

Tidak heran, ketika dalam tatap muka itu, seorang teman sibuk mencatat, ia merasa terganggu. Pengalaman itu ia saksikan sudah terjadi berulang-ulang.

“Mohon maaf ya, Mba! saya sudah sering lihat orang catat-catat begini, tetapi setelahnya dibuang di tempat sampah,” katanya.

Zonasi di TNK

Papagarang adalah salah satu desa dari tiga desa yang terletak dalam kawasan TNK.  Dua desa lain adalah Desa Komodo dan Desa Rinca. Sebelumnya, Papagarang bergabung dengan Desa Komodo, namun dimekarkan pada tahun 1999.

Berbeda dengan Desa Rinca dan Komodo yang merupakan habitan komodo, Desa Papagarang yang berpenduduk sekitar 1.700 pada dasarnya bukan habitat satwa endemic itu.

Namun, entah karena alasan apa, desa itu dimasukkan dalam kawasan TNK dan dikategorikan sebagai zona penyanggah TNK. Inilah yang menjadi keheranan warga setempat selama bertahun-tahun.

Sebagai akibatnya, sebagaimana desa dalam kawasan TNK, warga Papagarang berada dalam pengawasan dan otoritas Kementerian Kehutanan. Tidak lagi sepenuhnya berada di bawah kendali Pemkab Mabar.

Mereka merasa, otoritas dari Kementerian Kehutanan seperti “negara di dalam negara,” sulit diintervensi oleh pemerintahan lokal.

Persoalan utama dari status itu adalah mereka tidak boleh memiliki sertifikat tanah. Bagi mereka, kehilangan hak kepemilikkan itu adalah kehilangan pengakuan atas kehidupan mereka.

Warga umumnya berprofesi sebagai nelayan. Penjabat Kepala Desa Papagarang, Haji Akbar mengatakan, warganya tidak semuanya bisa melaut dengan perahu sendiri lantaran harga perahu yang mahal.

Sementara bertani tentu tidak mungkin dilakukan dengan kondisi tanah yang kering kerontang, berbatu-batu, jarang tumbuh pepohonan.

“Tidak banyak yang punya perahu, karena kesulitan meminjam uang di bank mengingat tidak punya sertifikat tanah sebagai penjamin,” jelasnya.

Tak hanya itu. Akses untuk penangkapan ikan pun terbatas. Sistem zonasi dalam kawasan TNK tidak mengizinkan mereka secara leluasa menangkap ikan.

Sementara itu, bagi warga dalam kawasan TNK pada umumnya, fasilitas dan pelayanan dari pemerintah daerah tidak sepenuhnya mereka terima.

Di kampung Rinca, misalnya, hanya ada seorang bidan yang melayani beberapa kampung yang jaraknya berjauhan satu sama lain, bahkan harus melintasi lautan.

Timang—nama panggilan bidan itu—pada bulan September tahun lalu bercerita bahwa ia pernah keguguran lantaran kelelahan dalam perjalanan menuju kampung lain.

Untuk bidang pendidikan, Sekolah Menengah Atas di Pulau Komodo pun tidak diakui.

Menurut Haji Akbar, dalam Ujian Nasional (UN) kali lalu, siswa di sekolah itu hampir tidak mengikuti ujian. Mereka hendak bergabung dengan salah satu SMA di Labuan Bajo, namun ditolak. Akhirnya diikutsertakan dengan salah satu sekolah di Bima, Nusa Tenggara Barat.

Selain itu, di Kampung Komodo sendiri, biaya hidup semakin mahal. Untuk penerangan listrik saja, menurut penuturan Mikael Jecko Ithong, salah seorang warga, mereka harus bayar per hari.

Rapat di salah satu rumah warga di Desa Papagaran, Selasa 12 April 2016. (Foto: Boe Berkelana)
Rapat di salah satu rumah warga di Desa Papagaran, Selasa 12 April 2016. (Foto: Boe Berkelana)

Perhitungannya, listrik per hari tanpa televisi sekitar Rp 4.000 (tanpa TV) dan sebanyak Rp 6.000 untuk pengguna TV dan Rp10.000 untuk pengguna kulkas.

Dan, listrik (mesin diesel) baru beroperasi sekitar pukul 18.00 sampai pukul 23.00.

Padahal, kata dia, tiang listrik PLN sudah ada sejak tiga tahun lalu. Sampai sekarang, kampung mereka belum dialiri listrik, tanpa alasan yang jelas.

Sementara itu, sebagian besar penduduk hanya bekerja sebagai pematung dan penjual pernak-pernik wisata.

Ironi

Kenyataan demikian tentu saja miris di tengah-tengah semakin mendunianya kawasan TNK sebagai destinasi pariwisata.

Tentu, bukan hanya karena satwa langka Komodo tetapi juga keindahan alam bawah laut di sekitar TNK kian digemari para wisatawan. Baru-baru ini, berdasarkan survei CNN, TNK dinobatkan sebagai spot snorkeling terbaik dunia.

Daya tarik demikian membuat TNK yang dimulai sejak tahun 1980 itu kebanjiran pengunjung. Tercatat sampai tahun 2014, jumlah pengunjung mencapai 80.626, dengan rincian 67.089 wisatawan mancanegara dan 13.537 wisatawan domestik.

Padahal, pada tahun 2011, jumlah kunjungan masih sebanyak 6.177 dan tahun sebelumnya hanya 2.965 orang. Bedanya sangat tajam.

Atas meningkatnya jumlah pengunjung tersebut, TNK menargetkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada tahun 2015 mencapai Rp 17 milliar hingga Rp 20 milliar.

Di kota Labuan Bajo, pintu masuk menuju TNK, geliat pariwisata sudah sangat terasa perkembangan pesatnya. Pada tahun tahun 2012 saja, tercatat sudah terdapat 24 perusahaan investasi di Mabar. Rinciannya, penanaman Modal Asing sebanyak 18 perusahaan dengan nilai investasi Rp 340, 2 milliar, sedangkan Penanaman Modal Dalam Negeri sebanyak 6 perusahaan dengan nilai investasi sebesar Rp 22,5 milliar.

Jumlah tersebut diperkirakan terus meningkat dalam tiga tahun belakangan mengingat promosi pariwisata yang kian masif.

Tahun 2011, TNK terpilih sebagai salah satu keajaiban dunia menurut organisasi The New 7 Wonders, salah satu dari tujuh keajaiban dunia.

Tahun 2013, ada Sail Komodo yang menelan biaya sekitar 3,7 trilliun. Demikian pun acara Tour de Flores pada bulan Mei mendatang adalah rentetan kegiatan yang melambungkan nama TNK.

Di tahun-tahun mendatang, promosi wisata TNK masih menjadi perhatian utama. Pada tahun 2016 ini, Labuan Bajo terpilih sebagai salah satu dari sepuluh destinasi wisata prioritas.

Pembangunan infrastruktur akan berlangsung besar-besaran. Bandar udara sudah berstatus bandara internasional. Jumlah maskapai bertambah dan jam penerbangan dibuka hingga malam.

Sementara itu, lalu lintas laut akan semakin ramai. Direncanakan bahwa pada tahun  ini, titik labuh kapal layar (yacht) akan bertambah. Jumlah kapal pesiar sudah bertambah banyak. Saat ini misalnya, ada 20 kapal pesiar dengan jumlah penumpang 9.639 orang.

Lalu, apa kontribusi perkembangan wisata begitu pesat bagi penduduk di dalam kawasan TNK?

Bagi penduduk Desa Papagarang, perkembangan pariwisata begitu pesat tidak sejalan dengan pengakuan hak-hak mereka atas kepemilikan, akses dan manfaat atas sumber daya itu.

Tiap tahun, mereka rutin membayar pajak, sementara mereka tidak boleh memiliki sertifikat atas tanah. Sementara mereka semakin sulit menangkap ikan, ternyata berseliweran kapal pesiar di dalam kawasan taman nasional. Wisatawan menikmati wisata bahari, diving dan snorkeling.

“Pemasukan snorkeling, untuk desa itu apa?,” tanya seorang pemuda sedikit geram. Lanjutnya, “Tidak ada (untungnya) sama sekali”.

Pada masa terbentuknya sistem zonasi tahun 2000, mereka sudah mati-matian menolak. Lagi pula, tidak ada kejelasan sosialisasi pembagian zonasi tersebut. Hampir sebagian besar masyarakat di Papagarang tidak pernah berpikir, bahwa mereka bakal masuk dalam kawasan TNK.

“Sampai sekarang kami bingung. Tidak tahu bagaimana ceritanya kami masuk kawasan” demikian kata seorang warga lain lain dalam ruangan berujar.

Yang jelas, bagi warga Papagarang, tanggung jawab Kementerian Kehutanan harus jelas terhadap warga Papagaran.

“Kementerian Kehutanan harus ambil tanggung jawab” kata Haji Akbar berulang-ulang pada pertemuan itu.

Abdul Hamid menambahkan, satu saja keinginan penduduk Papagarang yakni keluar dari zona kawasan TNK.

“Kalau di Komodo dan Rinca, ada komodo. Di Papagarang, kami mau jaga apa?” (Gregorius Afioma/ARL/Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini