PT Sasando Sebut Aksi Pendudukan Lahan Sebagai Praktik Premanisme

Floresa.co – PT Sasando melalui kuasa hukumnya menyebut “para pelaku yang menduduki lahannya adalah preman – preman yang tidak pernah memahami hukum”.

Herry Battileo, SH, salah satu dari tim kuasa hukum Kantor Pengacara/Advokat E. Nita Juwita, SH & Rekan dalam keterangan tertulis kepada Floresa.co mengatakan  “kalau sebagai warga negara yang baik dan taat akan hukum” serta mengetahui bahwa Indonesia adalah negara hukum, “maka para preman tersebut bila memiliki bukti hukum dan alat bukti yang jelas sebagai pemilik tanah, silahkan bawah ke ranah hukum bukan lakukan praktik premanisme”.

“Saya tegaskan (terhadap) praktek premanisme seperti itu, sudah seharusnya penegak hukum menangkap dan proses aktor–aktor tersebut,” ujarnya.

Pernyataan  PT Sasando ini menanggapi pemberitaan Floresa.co sebelumnya yang berjudul “Lawan PT Sasando, Warga di Kupang Duduki Lahan 225 Hektar”.

Dalam berita itu disebutkan bahwa aarga Suku Manbait di Kupang menduduki kembali lahan mereka yang sebelumnya dikuasai PT Sasando. Lahan seluas 225 hektar itu terletak di Desa Kuimasi, Kecamatan Fatuleu.

“Untuk diketahui kami kuasa hukum PT Sasando telah melaporkan aktor pelaku utama  Hendrik Manbait dengan nomor laporan polisi LP/K/384/XI/2015 pada tanggal 11 November 2015, sebagaimana diatur dalam pasal 406 ayat 1, jo pasal 55 ayat 1, tindak pidana pengrusakan,” ujar Herry.

Nita Juwita, ketua tim kuasa hukum mengatakan, PT Sasando adalah pemilik yang sah berdasarkan Hak Guna Usaha (HGU), sebagaimana Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional No. 21/HGU/BPN/ tanggal 16 september 1993, yang selanjutnya menjadi dasar di terbitkannya sertifikat HGU No. 7/ Camplong I kepada PT Sasando.

Nita mengatakan, PT Sasando sejak mendapatkan izin pengelolaan HGU tanah seluas 170,55 Ha telah melaksanakan dan memebuat usaha penggemukan ternak sapi dan penanaman tanaman-tanaman pakan ternak.

Selain itu, lanjut Nita, sebagai badan usaha yang taat hukum, PT Sasando telah terdaftar sebagai wajib pajak berdasarkan Nomor Wajib Pajak No. 1.471.038.922 dan telah melaksanakan kewajiban pembayaran pajak, yang antara lain, uang wajib tahunan  yang telah dibayar lunas sampai Tahun 2023 dan juga pembayaran pajak bumi dan bangunan sampai saat ini.

Herry Battileo mengatakan, sejak zaman Belanda dari Tahun 1917 sampai sekarang “tidak pernah ada kedengaran di telinga masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang namanya Suku Manbait”.

“Kalau memang adan suku tersebut, siapa kepala suku?”

Dalam keterangan tertulis tersebut, pihak PT Sasando juga mengutip pernyataan Albert Adrian Bait, keturunan Fetor Manbait yang ketika di temui di Jalan Tunas Raya kilo meter 45 Kelurahan Camplong I Kabupaten Kupang mengatakan “dalam sejarah yang ada hanyalah wilayah kefetoran Manbait sejak dari zaman Belanda. Dan, dipimpin oleh Kae Bait/Kae Plenat yang dipercayakan Belanda sebagai juru bicara tahun 1875”.

Pada saat itu, Kae Tapatab adalah Panglima perang dari kefetoran swapraja Fatuleu. Masih menurut Albert, Kae Bait mempunyai dua orang anak yang menjabat sebagai Fetor.

Fetor pertama,  yaitu Constantein Bait memerintah wilayah Kefetoran Manbait tahun 1920-1938 berdasarkan SK Belanda No: 12, Tahun 1924. Tangal 1 Juli 1924.

Kemudian Fetor kedua yaitu Nube Bait alias Nikolas Bait memerintah wilayah Kefetoran Tahun 1938 – 1961 berdasarkan SK Belanda No : 11, tanggal 6 Juli 1938.

Dan Fetor ketiga yaitu  Calvin O. Bait  yang memerintah dar tahun 1961 hingga 2003.

Anak dari Nikolas Bait karena ayahnya sudah tua. Calvin O. Bait diangkat dengan SK Bupati Kupang No. 38/KDH/Kupang tanggal 1 Juni 1961 sampai dengan Tahun 1972.

Setelah Kefetoran dihapus,  Calvin O. Bait ditunjuk jadi Pembantu Camat dari 4 Kefetoran yaitu Kauniki, Feotnai, Manbait dan Takaeb.  Stelah itu Calvin O. Bait menjadi Ketua Lembaga Adat sampai meninggal dunia tahun 2003.

Sedangkan Albert Adrian Bait ditunjuk oleh anak-anak menggantikan kakak kandungnya sebagai Ketua Lembaga Adat.

Albert Adrian Bait dilantik oleh Kepala Desa Camplong II saat itu dengan ditandai Sumpah Adat dan Sumpah Agama dihadapan tua-tua Adat dan Tokoh Masyarakat di Rumah Sonaf Camplong pada tanggal 23 Nopember 2003.

Seperti yang diberitakan Pos Kupang, menurut Wensus Bait mereka adalah  Penguasa Hak Ulayat Tahun 1967. Lebih lanjut  Albert mengatakan  tahun 1961 – 2003 masih menjabat sebagai Fetor di wilayah Kefetoran Manbait Swapraja Fatuleu di pegang oleh Calvin, O Bait, dan Wilayah Kefetoran swapraja Fatuleu dari Jembatan Naibonat sampai Jembatan Noelmina.

Saat itu wilayah untuk Hak Makan dari dulu,  sudah dibagi oleh Fetor bersama Amaf – Amaf. Bahwa Fetor mempunyai Amaf – Amaf : 1. Kakek Tapatab. 2. Tob Taeko. 3. Miko Timotuan. 4. Tuka Talas. 5. Utan Poen. 6. Kakek Baun. 7. Pal Kosat Be – Mamo.

Sedangkan untuk Hendrik Manbait, keturunan dan Rumahnya  di Dusun Oel Noemuti Desa Naunu yang Jarak dari tanah PT. Sasando kurang lebih  200 kilometer.

“Tanya Albert, mengapa adik–adik kandung dari Hendrik Manbait hanya pergunakan marga ‘Bait’ sedang Hendrik sendiri bermarga ‘Manbait’ tentunya perlu ditelusuri dia keturunan dari mana? Serta, apa buktinya dia katakan mewakili suku?”  (Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini