Aktivis di Kupang Ungkap Fakta Perampasan Tanah Milik Suku Manbait

Floresa.co – Para aktivis di Kupang, ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur yang bergabung dalam “Aliansi Kedaulatan Rakyat Atas Tanah” mendesak pemerintah untuk menyerahkan lahan 225 hektar kepada warga Suku Manbait, yang adalah pemegang hak ulayat tanah tersebut.

Aliansi itu terdiri dari Partai Rakyat Demokratik (PRD), Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi (LMND), Lembaga Kemahasiswaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan- Universitas Kristen Artha Wacana (LK FKIP UKAW), Universitas Timor Aswain (Untas) , Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini kota Kupang,  Wahana Lingkugan Hidup Indonesia (WALHI) Cabang NTT, Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Kupang dan Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP).

Kini para aktivis, bersama warga Suku Manbait menduduki kembali lahan itu yang terletak di Desa Kuimasi, Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang.

Dalam pernyataan sikap bersama yang diterima Floresa.co, Kamis, 7 April 2016, mereka mengingatkan bahwa lahan itu telah dirampas oleh pemerintah provinsi NTT, lewat penerbitan izin Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT Sasando.

Aliansi merilis enam kejanggalan dalam masalah lahan ini. Pertama, Suku Manbait sebagai pemilik hak ulayat atas tanah yang kini dikuasai oleh PT Sasando tidak pernah menyerahkan tanah ulayat kepada Pemerintah Provinsi NTT untuk maksud dan tujuan apapun.

Kedua, pada tahun 1967,  Tertius Bait (Alm) sebagai pemegang hak ulayat, atas permintaan Fetor Manbait atas nama Nicolas Bait (Alm) hanya memberikan tanah ulayat kepada Perusahaan Negara (PN) Mekatani 07 seluas 1000 Ha untuk digunakan sebagai kebun percontohan tanaman kapas, padi, jagung, palawija dengan status pinjam pakai selama lima tahun dan sempat dilakukan perpanjangan masa pinjam pakai. Pemberian kuasa pinjam pakai inipun hanya dilakuakn secara lisan dengan ritual sederhana yakni Sebotol Sopi, dan uang Okomama Rp. 2.500.

Ketiga, pengalihan penguasaan lahan oleh PT. Sasando dari PN Mekatani yang dilikuidasi pada tahun 1971 ini juga dilakukan secara diam-diam tanpa sepengetahuan Suku Manbait sebagai pemegang hak ulayat yang sebelumnya memberikan kuasa pinjam pakai kepada PN Mekatani.

Keempat, tanpa sepengetahuan Suku Manbait, pada tahuan 1983 pemerintah provinsi NTT secara diam-diam memberikan surat  dukungan kepada PT. Sasando untuk menguasai lahan milik Suku Manbait.

Kelima, PT. Sasando sebagai pemegang HGU secara jelas dan nayata melakukan pelanggaran-pelanggaran prinsip sebagaimana yang tertuang dalam UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, maupun PP No. 40 Tahun 1996 tentang hak Guna Usaha,Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.

keenam, Pemerintah Provinsi NTT juga telah secara sengaja menguasai tanah dari Keluarga Manbait di luar dari peta HGU PT. Sasando yakni seluas 26,45 Ha yang  berserta tanah yang juga dikuasai oleh mantan gubernur NTT Ben Mboy seluas 28 Ha,  yang artinya jika ditotalkan dengan tanah HGU PT. Sasando, maka total luas lahan yang telah dirampas pemerintah Prov, NTT sejumlah 225 Ha.

Melihat kejanggalan-kejanaggalan itu, mereka menyatakan terjadi empat bentuk pelanggaran.

Pertama. PT Sasando secara nyata sejak mengambil alih penguasaan tanah sejak tahun 1971 hingga diterbitkannya HGU pada tahun 1993, tidak pernah mengusahakan usaha sebegaimana peruntukannya. Adapun beberapa bidang tanah yang diusahakan untuk menanam pakan ternak dan jagung, itupun baru dilakukan beberapa tahun terakir setelah muncul reaksi suku manbait yang hendak mengambil kembali tanah ulayatnya.

Penelantaran tanah HGU ini jelas-jelas bertentangan dengan Amanah UUPA Tahun 1960 Pasal 34 poin ( e ) dan Pasal 17 ayat 1 poin (e) PP No. 40 tahun 1996.

Kedua, PT. Sasando secara jelas telah melakukan peyerahan sebagian tanah HGU untuk keperluan usaha lain diluar bidang usaha HGU secara komersil (sewa lahan) kepada sejumlah pengusaha untuk usaha kios/rumah jualan dan usaha percetakan batako.

Tindakan ini tentu bertolak belakang dengan amanat PP No. 40 tahun 1960 Pasal 12 ayat (2) “Pemegang Hak Guna Usaha dilarang menyerahkan pengusahaan tanah Hak Guna Usaha kepada pihak lain, kecuali dalam hal-hal diperbolehkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Ketiga, penguasaan tanah secara monopoli dan bahkan tanpa memberikan nilai manfaat secara sosial, ekonomi dan budaya bagi masyarakat adalah sebuah penistaan terhadap semangat Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA No. 5 Tahun 1960 yang mengisyaratkan pemanfaatan sumberdaya alam termasuk tanah untuk kesejahteraan rakyat.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Wensus Bait, dari Suku Manbait mengatakan, lahan itu akan mereka hibahkan kepada warga lokal dan eks pengungsi Timor Leste yang sudah 17 tahun meninggalkan kampung halamannya dan hingga hari ini tidak mendapatkan kepastian hak atas tanah dari negara untuk tempat tinggal maupun untuk usaha produksi pertanian. (Ari D/ARL/Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini