Di Pantai Pede, Gereja Tegaskan Posisi

Labuan Bajo, Floresa.co – Sabtu, 5 Desember, Subuhang (45) terburu-buru melabuhkan perahu kecilnya. Tali pengikat perahu dililitkankannya pada akar pohon di tepi Pantai Pede.

Seperti beberapa hari sebelumnya, ia kembali penasaran menyaksikan massa yang berkumpul di sana.

“Ini kampanye siapa?” katanya. Beberapa hari sebelumnya, salah satu pasangan calon bupati Manggarai Barat (Mabar) Maximus Gasa-Haji Abdu Asis memang menggelar kampanye akbar di Pantai Pede.

“Ini bukan kampanye” jawab beberapa mahasiswa yang berjalan-jalan di tepi pantai sore itu.

“Ini demo tolak privatisasi Pantai Pede.”

Meski tak sesuai perkiraannya, ia tidak lekas pulang. Malahan raut wajahnya terlihat berbinar.

Senyumnya bertambah sumringah. Begitu ada pentas tarian di tanah cukup lapang di Pantai Pede, ia berlangkah mendekat.

“Kami senang kalau ada yang protes di sini,” katanya.

Ia pun mulai berkisah. Dulunya, Pantai Pede adalah pemukiman penduduk. Wabah kolera membuat mereka berpindah satu per satu. Area di dekat pantai itu pun hanya menjadi lahan garapan.

Dia sendiri tak paham, kenapa Pantai Pede kemudian menjadi tanah pemerintah. Ia hanya berujar, “Dulu kan Soeharto, masyarakat takut dengan tentara.”

Tengah ia bercerita, tiba-tiba ia mengalihkan pembicarannya.

“Itu Chen kan?” katanya sambil menunjuk pada Romo Martin Chen Pr, imam Keuskupan Ruteng.

“Ia teman masa kecil saya. Kami biasa main di sini dulu. Di Pantai Pede. Sudah lama tidak ketemu. Setelah SD, dia lanjut sekolah, saya melaut,” katanya lagi.

Pengakuan itu membenarkan ucapan Romo Martin Chen. Ketika menyampaikan sikap Gereja di depan kantor bupati Manggarai Barat (Mabar), Martin Chen, yang mengkordinir aksi, memulai dengan cerita.

“Saya Sekolah di SDN 2 Labuan Bajo. Sejak kecil, kami bermain di Pantai Pede,” ungkapnya di depan Penjabat Bupati Mabar, Tini Tadeus.

Ketika Subuhang ingin menegur teman lamanya itu, ia tiba-tiba urungkan niatnya.

Sepertinya ia tak ingin mengganggu lantaran Romo Martin tengah sibuk bercakap-cakap dengan dua orang polisi, rekan imam yang lain, dan seorang yang berbaju hitam dan mengenakan helm yang kemudian memperkenalkan diri bernama Marsel Mansen.

Raut wajah mereka kelihatan serius.

Marsel Mansen tak dapat menyembunyikan perasaan kecewa meski senyum sedikit terbersit dari wajahnya.

“Romo-romo tidak mengakui kalau ada pendemo yang merusak pagar seng,” katanya.

Nama Marsel Mansen pernah disebut-sebut ketika Festival Pede berlangsung pada bulan Agustus.

Ia adalah orang yang dipercayakan PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM) untuk menjaga Pantai Pede. Hari itu, ia pun mengamininya.

“Sekitar 15 belas meter mereka sudah rusakkan tadi,” katanya lagi.

Ketika aksi pengrusakan itu berlangsung, ia sendiri ada di sana dan menyaksikan diam-diam. Lantas, ia melaporkan kepada polisi.

“Kalau tidak diperbaiki, nanti saya laporkan lagi kepada polisi,” ancamnya.

Jika diperhatikan di lokasi, sepanjang 1 5 meter seng pagar pembatas lahan di pintu masuk Pantai Pede, sudah tampak miring, bahkan ada yang tumbang.

“Kalau mau protes, jangan protes ke PT SIM, tetapi protes orang yang jual tanah ini,” lanjutnya.

Ketegangan yang menandai akhir demo sore itu meruntuhkan rencana awal demo yang disebut “demo damai” itu.

Awalnya, saat massa berkumpul di depan Gereja Paroki Roh Kudus Labuan Bajo, Butjce Hello, penanggung jawab aksi damai itu, sudah mewanti-wanti bahwa demo akan berlangsung damai.

Katanya, ia sudah memberi jaminan kepada Polres Mabar bahwa semuanya akan berjalan lancar. Di depan kantor bupati pun, ia menegaskan hal serupa.

Mengingat itu, karena pilihan waktunya menjelang Pilkada 9 Desember lalu dan bertepatan dengan jadwal kampanye akbar pasangan calon  Tobias Wanus-Frans Sukmaniara, maka yel-yel pun amat diperhatikan. Jangan sampai menimbulkan salah tafsir.

“Jangan ancungkan jari. Kepalkan saja tangan,” instruksi yang terdengar dari megaphone sebelum iring-iringan dimulai sekitar pukul 10.00 Wita.

Keadaan memang berlangsung tertib selama pawai berlangsung.

Belasan mobil disesaki oleh para imam, biarawan-biarawati, mahasiswa STKIP dan STIPAS dari Ruteng, dan OMK dari beberapa paroki.

Mereka mengawali pawai dari Gereja Paroki Roh Kudus Labuan Bajo menuju pelataran kantor bupati Mabar, lalu menuju kantor DPRD dan dan berakhir di pantai Pede.

Setelah pementasan beberapa acara seni seperti tarian dan musiklah, beberapa polisi datang. Mereka mempertanyakan kerusakan yang terjadi.

Sebelum bubar sore hari, Subuhan yang tengah bingung menyaksikan peristiwa itu lantas bertanya penuh harap, “Nanti datang lagi kan?”

“Kami ingin ini tetap bisa ramai begini.” (Gregorius Afioma/ARL/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini