Lewat Film, Asrida Elisabeth Tampilkan Kisah Korban Tragedi 1965 di Manggarai  

Floresa.co – Kasus pembantaian massal pada 1965 terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) sesungguhnya tidak hanya terjadi di Indonesia bagian barat, seperti di Jawa, Bali dan Sumatera.

Di Manggarai-Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), orang-orang yang diduga terlibat dan menjadi bagian dari PKI, juga dibunuh, dan yang lain dibebaskan, setelah menjalani penyiksaan.

Rangkain pembantaian itu bermula dari terbunuhnya lima jenderal di Jakarta pada 30 September 1965.

Soeharto dan militer kala itu kemudian menuding bahwa PKI adalah dalang pembunuhan itu, hal yang memicu upaya sistematis untuk membasmi anggota serta simpatisan PKI di seluruh Indonesia.

Baca juga: Tragedi 1965 di Ruteng: Dari Tuduhan PKI, Hingga Eksekusi Massal di Puni

Asrida Elisabeth, seorang aktivis muda kelahiran Manggarai, memutuskan mengangkat kisah-kisah para korban di tanah kelahirannya itu – yang selama ini hanya tinggal di memori mereka, lewat film dokumenter terbarunya, “Tida Lupa”, yang akan diluncurkan di Jakarta pada Sabtu esok (5/12/2015).

Film berdurasi 20 menit itu, kata dia, dikerjakan di tengah keterbatasan dokumen-dokumen yang bisa menjelaskan tentang bagaimana peristiwa sejarah itu terjadi di Manggarai.

Ia mengatakan, melalui film ini, ia ingin mengingatkan agar orang-orang Manggarai tidak hanya memilih diam, saat peristiwa pembantaian 1965 hangat dibicarakan di tingkat nasional bahkan internasional.

“Padahal peristiwa itu sebenarnya sangat dekat dengan kita, ada dalam memori kolektif kita sebagai orang Manggarai,” katanya.

Asrida menjelaskan, selama ini banyak yang menganggap biasa-biasa saja keberadaan stigma-stigma bahwa mereka yang dahulu dianggap sebagai simpatisan PKI adalah para penjahat, yang harus disingkirkan.

“Itu turun-temurun diwariskan ke setiap generasi tanpa kita bertanya, apa sebenarnya yang terjadi?”

Padahal, kata dia, ada banyak hal yang mesti dilihat kembali, didiskusikan bersama-sama untuk kemudian mengoreksi cara pandang kita terhadap sejarah.

“Dari pengakuan korban misalnya, ada yang sama sekali tidak tahu dengan PKI dan ideologinya, tetapi mereka disiksa. Ada banyak pengakuan yang menunjukkan ketidakterlibatan mereka dalam aktivitas-aktivitas PKI, tetapi kemudian mereka dituding terilibat,” ungkapnya.

Menurut Asrida, dalam film ini, para korban untuk pertama kalinya bercerita, menarasikan pengalaman mereka, setelah 50 tahun peristiwa itu terjadi.

“Film ini semoga bisa mendorong lahirnya diskusi-diskusi juga memicu munculnya kesadaran untuk melihat lagi peristiwa tahun 1965,” katanya.

Asrida, yang selama ini aktif bekerja sebagai aktivis HAM di Papua, sebelumnya menjadi sutradara film “Tanah Mama”, yang mengangkat kisah perjuangan perempuan di pedalaman Papua.

Baca: Asrida Elisabeth, Sutradara Film “Tanah Mama” Itu dari Manggarai

Film itu, yang diluncurkan pada akhir tahun lalu di Jakarta merupakan film pertamanya. (Ari D/ARL/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini