Tak Hanya Kian Susah Dapat Ikan, Kini Nelayan di Pantai Pede Jadi Sasaran Teror

Labuan Bajo, Floresa.co – Kehidupan keluarga Junaidi dan Linawati, istrinya tak lagi nyaman. Hari-hari mereka terus dihantui kecemasan.

Sebagai satu-satunya keluarga nelayan yang tinggal di Pantai Pede, Labuan Bajo, Manggarai Barat (Mabar) – Flores, keduanya mengaku kerap diteror belakangan ini.

“Sudah tiga kali,” kata Linawati kepada Floresa.co, sambil menjemur pakaian di pagar kayu di sisi kiri rumah mereka.

Ia lantas menunjukkan salah satu dinding rumahnya.

Dilapisi seng, salah satu bagiannya tampak benyok. Terdapat satu sobekan memanjang.

“Pada malam hari, iba-tiba ada yang tebas pakai parang di sini. Saya kaget minta ampun. Saya sendiri malam itu. Suami saya sedang melaut,” ceritanya sambil menirukan gerakan orang yang lagi menebas menggunakan parang.

Setelah itu, ia menuju pintu depan rumahnya. Sebuah tali nilon sepanjang 30 cm yang menggantung di situ, ia rentangkan dengan kedua tangannya.

“Suatu kali juga, ada yang berusaha potong tali ini dengan parangnya dari luar. Kami masih di dalam. Kami sudah siap-siap dari dalam,” lanjutnya berkisah.

Tali itu adalah pengikat pintu rumah mereka.

“Saya tidak takut, kalau kami dapat orangnya, bahaya itu orang,” teriak Junaidi, ikutan bercerita.

Saat bincang-bincang di rumah mereka ia berdiri sekitar 6 meter di depan rumah atau sekitar 4 meter dari bibir pantai. Meski hari sudah hampir gelap, ia sibuk mengelupas sepotong kayu dengan parangnya.

Ia tak mengenakan baju.

“Pernah saat kami tidak ada di rumah, orang itu masuk. Tapi dia mau ambil apa? Tidak ada apa-apa juga dalam rumah. Kita ini orang miskin,” ungkapnya heran.

Dulunya, ia berkisah, bersama keluarga ia tinggal di kawasan sekitar SDN 2 Labuan Bajo, Desa Gorontalo​.

Karena suasana tak cukup nyaman, sejak tahun 2012, ia kemudian memilih pindah di pantai Pede.

“Tinggal dengan tetangga, bikin tidak enak pikiran. Serba membanding-bandingkan” katanya.

Di tanah keluarganya itu, ia kemudian membangun rumah sederhana. Letaknya, tak jauh dari bangunan hotel La Prima yang tampak megah.

Di belakang hotel, tepatnya di pesisir pantai, sekitar tiga buah speedboat bersandar.

Rumah keluarga Junaidi dan Linawati. (Foto: Gregorius Afioma/Floresa)
Rumah keluarga Junaidi dan Linawati. (Foto: Gregorius Afioma/Floresa)

Rumahnya itu terbilang sangat sederhana. Hampir seluruh dindingnya dilapisi seng. Begitupun atapnya.

Berukuran 5 x 6 m, rumah itu didiami oleh keduanya dan anaknya yang masih berusiaa 4 tahun.

“Di sini enak. Kalau capai melaut, tinggal tidur saja.”

Kesulitan

Sebagai nelayan, katanya, tak banyak yang harus dibanggakan.

Nasib nelayan di Labuan Bajo lambat laun akan semakin tak menentu.

“Ikan semakin susah didapat. Kita harus memancing ke tempat yang jauh,” jelasnya.

Tempat yang jauh itu, misalnya, ia menyebut beberapa pulau di sekitar kawasan Taman Nasional Komodo (TNK).

Karena alasan demikian, para nelayan ramai-ramai membeli perahu motor. Dan menurutnya, para nelayan mendapat bantuan kredit dari Bank NTT.

Namun, kata dia, seringkali kesulitannya adalah ongkos operasional memancing ikan semakin mahal, sementara hasil tangkapan tidak menentu.

Tak selalu tiap hari, sekali memancing, ia bisa mendapat 300-400 ribu per hari.

“Kita harus membayar cicilan motor laut tiap bulan. Belum lagi kebutuhan tiap hari,” ujarnya.

Kebutuhan lain itu antara lain kebutuhan air dan bahan bakar. Di Labuan Bajo, air masih dibeli.

Untuk keluarganya, ia biasa membeli 3-4 drum tiap minggu dengan harga Rp 50.000 per drum. Sementara, bahan bakar memakan hingga 10 liter sekali pergi.

“Jika belum dapat, harus bertahan di dalam. Pulang berarti memboroskan bahan bakar.”

Prospek Menurun

Susahnya ikan beberapa tahun belakangan ini menimbulkan kecemasan tersendiri. Pasalnya fenomena demikian baru terjadi.

“Dulu tidak pernah begitu. Ini baru terjadi sejak tahun 2012,” ungkapnya.

Padahal, menurutnya pada tahun-tahun sebelumnya, hanya dengan perahu layar saja, para nelayan sudah mendapat banyak ikan. Pun para nelayan tak perlu memancing ke lokasi yang jauh-jauh.

Perubahan itu dalam amatannya disebabkan semakin banyaknya kapal yang berseliweran di sekitar Labuan Bajo.

“Karena bunyi kapal biasanya membuat ikan menjauh,” katanya.

Dengan demikian, dia tidak berharap banyak bahwa nantinya kehidupan para nelayan semakin membaik. Apalagi, sementara ini perhatian pemerintah sangat minim.

Sebagai contoh, Sail Komodo tahun 2013.

Katanya, dia tidak merasakan dampak positif apa-apa dari Sail Komodo. Kecuali, ia harus menderita kerugian karena dua perahu motornya pecah lantaran diduduki banyak orang selama kegiatan berlangsung.

Di akhir ceritanya itu, ia tak dapat menyembunyikan keheranannya. “Makanya saya heran, kenapa orang menganggu kami. Kami tidak punya apa-apa di sini,” katanya. (Gregorius Afioma/ARL/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini