Tidak Mendukung Kandidat Pro Tambang

Oleh: ANNO SUSABON

“Ketika pohon terakhir telah  ditebang, ikan terakhir telah ditangkap dan sungai terakhir telah mengering, barulah manusia sadar kalau uang tak bisa dimakan”. (Indian)

Pilkada serentak sudah di depan mata. Tinggal menghitung hari saja, kontestasi lima tahunan itu akan segera dihelat. Tensi persaingan politik pun kian tinggi.

Di tengah dinamika adu gagasan, perang visi misi antarkandidat, kini, perbincangan di arena publik semakin ramai dengan isu-isu laten. Untuk Pilkada di Manggarai misalnya, salah satu yang menyedot perhatian, masih soal isu tambang.

Polemik tentang tambang memang tidak pernah usang, pun tatkala ingar bingar Pilkada belum dirasakan. Dengan kata lain, intensitas pembicaraan topik ini tidak saja mendominasi atmosfer politik menjelang perhelatan Pilkada, tetapi mewarnai konteks sosial kemasyarakatan pada beberapa tahun terakhir.

Apa pentingnya perbincangan tentang tambang dikaitkan dengan Pilkada?

Tentu, bukan karena besarnya kontribusi sektor ini bagi pembangunan di NTT.

Sebaliknya, karena wajah pertambangan yang menyata bak monster menimbulkan kegerahan. Kehadirannya tidak saja menghancurkan alam, tetapi juga menghancurkan manusia itu sendiri, khususnya di daerah lingkar tambang.

Di Manggarai Raya, kehadiran tambang tidak saja menghancurkan alam, juga memicu konflik sosial, karena sejumlah izin yang diterbitkan tidak diketahui oleh masyarakat, hal yang kemudian melahirkan arus perlawanan dari banyak elemen sipil.

Di tempat lain di nusantara, kasus terakhir yang paling menggemparkan  adalah pertambangan ilegal Gunung Botak di Desa Wamsait, Kabupaten Buru, Maluku.

Tajuk rencana Kompas edisi Jumat, 13 November secara sangat menarik mengangkat persoalan ini. Kompas menulis, nafsu akan emas menimbulkan kubangan besar berdiameter 1 km dan kedalaman 200 meter. Lingkungan rusak, manusia hidup tidak dihargai dan potensi perluasan pencemaran menguat.” (hal. 6).

Pertambangan mengubah Gunung Botak dari daerah subur yang kaya pohon kayu putih nan wangi menjadi museum kengerian di mana nyawa manusia melayang tak terkira dan lingkungan semakin kritis.

Bahkan, Kantor Perwakilan Komnas HAM Maluku menyebut, sudah lebih dari 1000 orang tewas di wilayah itu, baik karena kecelakaan, maupun aksi saling bunuh antarpenambang. Martabat manusia benar-benar dilecehkan sampai pada titik terendah.

Tidak hanya itu, potensi kerusakan alam pun turut memprihatinkan. Selain kegosongan pedosfer, campuran logam merkuri dan sianida yang digunakan untuk mengikat emas dari logam lain juga menimbulkan pencemaran yang mematikan begitu banyak biota laut.

Hal itu juga tidak sedikit menimbulkan gangguan kesehatan bagi penambang dan masyarakat lingkar tambang, termasuk anak-anak.

Jadi, jika dibedah satu per satu, ekses tambang ini bagi manusia terdiri dari dua: pertama, kematian karena kecelakaan dan saling membunuh dan kedua kematian akibat penyakit.

Selanjutnya, bagi daerah lingkar tambang terjadi kerusakan lingkungan yang susah direklamasi, habisnya persediaan air tanah, mengingat tambang rakus air serta pencemaran yang pada gilirannya masuk dalam manusia melalui rantai makanan.

Memilih Pemimpin

Tidak sulit menemukan pertautan antara tambang dan perhelatan Pilkada. Pilkada adalah momentum elok di mana masyarakat berkuasa penuh memenangkan kandidat yang ‘baik’ dan mengalahkan atau mencoret kandidat yang ‘buruk’.

Dalam tulisan “Tambang dan Hak Pilih”, Herimanto Mau, staf JPIC SVD Ruteng menulis bahwa jumlah IUP di NTT hingga 2015 mencapai 126.

Kabupaten TTU menjadi kontributor utama dengan 34 IUP, disusul Belu yang mengantongi 33 IUP, lalu Manggarai 22 IUP, dan Sumba Timur dengan 1 IUP.

Menyikap besarnya potensi desruktif kehadiran korporasi tambang, tindakan preventif yang paling tepat dan dini dilakukan adalah memanfaatkan momentum Pilkada sebaik mungkin untuk memenangkan kandidat kontra tambang serta mencoret kandidat pro tambang.

Menolak pemimpin pro tambang merupakan alternatif preventif paling tepat dalam rangka meminimalisasi kemungkinan-kemungkinan lahirnya pemimpin yang mudah didikte kapitalis, rakus dan menyengsarakan rakyat.

Jika pemilih di beberapa kabupaten di NTT benar-benar rasional, pilihannya tentu berpihak pada kandidat kontra tambang dengan memegang prinsip keselamatan manusia dan ekologi.

Kesadaran bahwa NTT tidak layak ditambang mesti tertanam dalam hati pemilih sehingga pemimpin yang dihasilkan pun tidak berpotensi ‘selingkuh’ dengan kapitalis atau borjuis lokal yang membawa monster tambang.

Mari memanfaatkan momentum Pilkada dengan memilih pemimpin kontra tambang sebelum akhirnya kita menyesal telah memilih pemimpin rakus.

Penulis berasal dari Manggarai Timur, penghuni Komunitas Ritapiret, Maumere.

spot_img

Artikel Terkini