Di Situ, Saya Kadang Merasa “Sebek”

Lanjutan dari cerpen Menanti Senja Berlalu

Oleh: NANA LALONG

Gongger di jelang senja yang ke sekian bagi sepasang kekasih yang selalu saja datang jelang senja pada jembatan terpanjang di pesisir utara Manggarai itu. Adakah yang lebih indah dari senja di Gongger?

Hubungan tanpa ‘kenaikan status’ membuat Aminah jengah dengan kata berbunga-bunga di atas jembatan itu. Di akhir semua kejengahan itu, ia meminta sesuatu yang tak lazim. Bukan kata-kata indah tentang cinta. Begini ia sekan-akan merumuskan kebosanannya.

“Lando-ku: ungkaplah sesuatu yang lebih dari sekadar kata berbunga-bunga!”

Maka, Lando pun mengisahkan sesuatu yang lebih dari sekadar kata berbunga-bunga. Seolah-olah mereka sedang menunjukkan bahwa cinta janganlah menutup mata terhadap realitas sekitar. Bahwa orang harus berhenti mengatakan “dunia ini hanya milik kita”. Lantas yang lain dimana? Ngontrak?

Yang seperti ini, katakanlah , kisah cinta yang tak memisahkan diri dari derita lingkungan. Relasi cinta yang tak jatuh ke, yah katakanlah, eksklusivitas.

Cinta yang terbuka untuk pihak ketiga yang bukan WIL (wanita idaman lain) atau PIL (pria idaman lain). Singkatnya, kisah cinta sepasang kekasih yang punya keprihatinan.

Mata Lando, seperti bisa, masih selalu sering memadang permukaan air yang tenang bagai tidak sedang mengalir itu. Jelang senja di atas jembatan terpanjang itu, Ia menguraikan litani panjang tentang sesuatu yang lebih dari sekadar kata berbunga-bunga.

Di akhir setiap rangkaian kata tak berbunga-bunga, Aminah menyela dengan kalimat yang menjadi refren percakapan jelang senja itu. Versi lain dari Polwan yang waktu itu mengatakan, di situ saya kadang merasa sedih!

Inilah versi Lando-Aminah jelang senja di atas jembatan terpanjang di Manggarai itu:

Di situ kadang saya merasa sebek!

Maka, sebutlah ini suatu litani sebek. Tentang hal yang tak selalu mudah untuk kita pahami. Juga tentang hal yang kita anggap penting tetapi begitu gampang diabaikan. Tentang nilai-nilai yang begitu enteng diinjak-injak kepentingan modal. Tentang ‘mengapa’ yang tak selalu tuntas dijawab ‘karena’. Di situlah sepasang kekasih kita kadang merasa sebek!

Litani sebek pun mulai:

Ketika kita mengatakan pertanian adalah potensi andalan. Mayoritas penduduk tanah ini petani. Dan kita tahu, kita makan dari jerih payah petani sawah dan ladang. Tiada hari kita lalui tanpa menikmati jerih payah mereka.

Namun, pernahkah kita berpikir bahwa mereka, para petani itu adalah orang yang paling susah hidupnya. Tidak karena mereka malas. Kompleks persoalannya. Ini satu hal: harga komoditi, sandaran hidup mereka, seringkali tidak cukup membuat mereka sejahtera. Hal lain, ada saja yang enteng berujar: ini hukum pasar bro. Ini mekanisme pasar. Tak bisa diinterupsi.

Barangkali ini tidak keliru. Namun itu bukan lalu berarti tidak boleh dikoreksi. Sementara itu, yang lain menawarkan diri jadi pahlawan kesiangan; menemukan akar soal dan hendak menawarkan solusi yang semoga tidak sedang menunggu waktu untuk jadi Omdoomong doang.

Kita makan tiap hari, dari jerih payah orang-orang menderita. Bagi banyak orang tak ada pagi tanpa secangkir kopi. Tapi tak ada petani kopi di negeri ini yang lepas dari penderitaan. Di negeri yang kaya kopi-kopi terbaik, petani kopi hidup tidak makin baik. Kopi kita puji, petani dalam banyak hal terdepak dari mimpi kesejahteraan.

Di sini saya kadang merasa sebek dan bertanya: Apakah mekanisme pasar itu satu-satunya mekanisme? Tidak bisakah mekanisme pasar diiresapi prinsip=prinsip moral; keadilan; dan kesejahteraan umum?

Haruskah mekanisme pasar yang impersonal itu menindas kita terus-menerus. Yah, tapi kita segera tahu, kita sedang menuju pasar bebas. Menuju kancah persaingan untuk makin luasnya arena untuk menyaksikan; yang kuat makin kuat; yang lemah tetap saja terpuruk. Yah, darwinisme sosial. Survival of the fittest. Akankah petani kita akan makin terpuruk?

Merenung ini semua…saya kadang merasa sebek, ujar Aminah dengan nada lirih!

Ketika agama makin ramai dirayakan; orang-orang malu menampilkan diri tidak beriman; tetapi terus saja panggung sosial mempertontonkan realitas korup. Pejabat korup menjamur di seantero negeri ini yang mungkin sebentar lagi darurat korup.

Atau sebetulnya dari dulu kita sudah darurat korup. Hanya saja kita malu mengiyakannya. Aksi melemahkan KPK dilancarkan dengan alasan yang tidak begitu mudah dipahami oleh akal yang belum cemar. Sementara korupsi menjadi bencana raksasa untuk negeri ini, KPK dilemahkan.

Merenung ini semua, saya ko jadi terus-terusan merasa sebek sih? Lagi-lagi Aminah.          

Pun ketika bencana asap bertahun-tahun melanda negeri ini, kita masih saja lemah dalam mengantisipasi bencana. Apakah ini negeri yang enggan belajar dari pengalaman. Kebakaran bertahun-tahun, tetapi itu tidak membentuk kesiagaan permanen untuk setiap kemungkinan datangnya bencana.

Ketika asap membekap, yang paling menderita adalah orang-orang miskin. Bos-bos yang perusahannya terindikasi sengaja membakar lahan diam-diam dengan nyaman dalam ruangan berpendingin di Jakarta atau kota-kota lain di Indonesia.

Kita semua gerah. Kita berontak, hukum harus ditegakkan. Beri sanksi yang tegas untuk penjahat-penjahat lingkungan itu. Tetapi ketika sudah ada temuan jelas siapa penjahat-penjahat itu, ada siasat buruk yang tak mudah dimengerti.

Nama perusahan-perusahan itu tidak disebut. Ada indikasi tebang pilih.  Agar apa: agar penjahat dilindungi!!! Sengaja membakar lahan kok dilindungi? Masa kalah dengan koruptor yang tampil di TV-TV.

Tapi tampang koruptor yang muncul di TV pun tak membuat yang lain jadi jera. Barangkali nama itu, koruptor, terlalu elit. Bolehkah itu diganti? Yah, kita ganti dengan maling. Untuk maling, selalu jelas dan tegas sanksi sosialnya. Tapi untuk koruptor tampaknya rakyat negeri ini agaknya permisif. Apakah karena terlalu elit nama itu? Bolehkah kita ganti dengan maling? Sehingga KPK jadi Komisi Pemberantas Maling.

Tersangka koruptor menjadi tersangka maling. Kan orang malu kalau disebut maling! Gebukan sosialnya, bukan fisik, mungkin akan jadi beda. Bukankah kita begitu antimaling? Menyebut nama koruptor? Yah, ada yang malah bangga! Tapi soal rasa bahasa ini; kita juga sulit memastikan. Apa betul maling memang akan mendatangkan gebukan sosial yang punya efek jera?

Mendengar ini semua, lagi-lagi dan lagi, saya merasa, ko sebek lagi ya?

Juga tak kalah hebatnya. Wilayah kecamatan Reo  ini lebih dari setengahnya diberi kepada perusahan tambang. Izin Usaha pertambangan paling banyak berlokasi di wilayah ini. Lingko-lingko kita beegitu mudah jadi lahan konsesi. Hutan-hutan juga  begitu royal diberi ke perusahan tambang. Padahal ada potensi untuk mengembangkan pertanian di wilayah ini. Produksi dan kualitas bawang wilayah ini tak diragukan. Tapi apakah karena kita sekarang gengsi kerja tanah??? Sehingga tanah-tanah begitu mudah dialihkan untuk digunakan bagi sesuatu yang bukan pertanian. Saya kuatir orang-orang yang doyan tambang itu juga makananya mangan! Ah, saya ko jadi lancang begin Aminah?

Yah…di situ juga, dan persis di situ, saya paling merasa sebek. Sebek buangets!

Juga air yang berkilau di bawah sana. Ia sebuah undangan di masa lalau. Undangan untuk peneliti-peneliti. Konon di luar negeri sana ia pernah ditangkap dengan nama ‘sungai besi’. Padahal yang sebenarnya Wae Pesi. Air yang entah mengapa membikin gatal badan karena menandung pesi, bulu-bulu yang bikin gatal seperti yang ada pada bamboo muda misalnya. Sungai besi mengundang minat peneliti yang hendak memastikan apakah memang sungai ini beraliran besi yang begitu mudah nantinya menjadi sentra tambang biji besi! Ah, akhirnya mereka kecewa. Tapi siapa nyana itu menjadi isyarat untuk puluhan tahun kemudian Reo ini menjadi benar-benar sentra tambang?

Suatu saat mungkin Wae Pesi akan jadi kali mati. Sudah mulai di hulu sana perusahan-perusahan air besar mengeruk air. Di saat tambang mangan sedang sepi, orang kini tambang air. Padahal warga kota itu pernah mengeluh karena menurunnya debit air. Tetapi selalu ada alasan untuk mengamankan dagangisasi air. Air jadi komoditas. Padahak itu inkonstitusional. UU Sumber Daya Air juga sudah dibatalkan. Tapi mengapa ada persuahan air yang baru ya? Saya jadi pusing. Apakah saya begitu bodoh untuk bisa memahami ini semua? Ah…apakah saya satu-satunya orang paling bodoh di tanah ini yang bebal tak memahami ini semua? Apakah di sini kamu merasa sebek juga Aminah?

Yah, tak ada yang lebih sebek dari itu semua. Ketika kita sebetulnya membutuhkan pipa ke rumah kita, kita  malah ditawarkan gallon dan beragam model air kemasan. Gerombolan pelacur intelektual pun, atas nama riste, menemukan bahwa permintaan air dalam kemasan meningkat. Produksi preusahan dinaikkan. Bila perlu dibuka perusahan air baru.  Di sini juga, dan sering kali di sini, yah tepat di sini, saya merasa sebek juga sih. Buangets!

Juga tentang tanah, Aminah. Begitu mudahnya sekarang orang menjual tanah. Padahal nenek moyang kita pernah begitu sakral memandang tanah sebagai Ibu. Langit itu Ayah, dan bumi sebagai IBu. Ema eta, ende wa. Dahulu tanah adalah anugerah yang diberi untuk dikelola, digarap, dan dijaga. Tanah kini dimiliki untuk diperjualbelikan. Ia menjadi komoditas, aset. Sehingga begitu mudahnya orang menjual tanah. Mulai dari Manggarai Timur sampai Manggarai Barat orang enteng menjual tanah. Dari Nanga Rawa sampai Pulau Padar, tanah dijual. Dijual kepada siapa? Siapa lagi kalau bukan investor. Ini zaman jual tanah. Sedikit sedikit jual tanah, jual tanah sedikit-sedikit. Jual pulau sedikit-sedikit untuk sampai pada saatnya nanti sedikit-sedikit jual pulau. Investor adalah dewa sembahan baru saat ini. Apa apa investor. Semua tunduk di selangkangan investor. Tahi dan kencing investor dihirup semuanya. Investor memberi asap, kita hirup. Investor membuang tailing ke hutan atau laut, kita manggut. Kita yang berani mengatakan ini, akan dicaci maki. Ingat yah kamu jangan maki investor. Makar kamu! Investor member lapangan kerja, Investor member kontribus untuk PAD. Investor adalah segalanya. Ia bisa menyumpal pejabat mulut dan nurani pejabat dengan uang. Ia bisa mengobral janji kesejahteraan untuk rakyat. Apa ia?

St…Lando kamu jangan sampai menyebut nama yah. Hati-hati kamu. Harap ini percakapan berdua saja. Di luar sana jangan ngomong sok aktivis gitu! Memang sih, di situ juga saya merasa sebek sebetulnya. Tapi semakin kita sebek semakin kita merasa sebagai orang yang kalah di negeri ini. Apakah kita begitu bodohnya untuk bisa memahami ini semua?  Ah, benar-benar sebek sih!

Sebelum litani ini berakhir Aminah, mari kita ke pantai Pede. Apa yang kamu kenang dari pantai seindah itu? Dari tepian pasir putihnya kita bisa memandang gugus pulau yang bagai bola-bola catur di hamparan permukan laut. Pulau-pulau mungil itu bagai bola catur yang jatuh dari langit, dari Pencipta yang juga mungkin sedang main catur ketika menciptakan Labuan Bajo. Bola catur di tangannya jatuh membentuk pulau-pulau mungil yang entah bagaimana menjadi sesuatu yang indah, begitu indah, sehingga kini mengundang ketertarikan investor untuk secara privat memiliki pantai ini. Supaya hanya mata mereka yang boleh memandang gugus pulau dan bermanja di kecipak ombank dan hangat pasir putih di pantai itu.

Negeri ini makin menjadi milik pemodal Aminah. Dimana kedaulatan rakyat? Apa-apa diprivatisasi. Tanah-tanah digadang investor. Air dikomodifikasi. Air jadi komoditas dagang. Yang menangguk untung perusahan-perusahan air. Udara juga sebentar lagi jadi komoditas. Orang beli oksigen. Aduh saya mau isi ulang oksigen ni. Tolong beli oksigen di kiosnya tanta Aminah dong. Di sana ada jual oksigen. Itu agen resmi. Yah negeri ini, bertahun-tahun rakyatnya bukan makin senyum malah makin bermuram durja. Bertahun-tahun-….secercah terang mulai kerlip dengan kehadiran Jokowi JK. Kini ekonomi membaik. Dalam angka tentunya. Tetapi tarik-menarik kepentingan masih tampak sana-sini. Butuh perjuangan besar…bertahun-tahun entah sampai kapan jadi begini. Tapi kamu pun tahu Aminag tiada yang lebih dasyat dari gerakan rakyat. People power adalah daya transformative yang mampu menggulingkan kekuasaan absolute sekalipun. Kita yakin itu. Jika People power menghendaki sesuatu terjadi, maka terjadilah itu.

Yah. Lando, begitu juga saya, bertahun-tahun entah sampai kapan aku dibuat menggantung seperti ini? Kapan ya, senja ini berlalu dan engkau melamar aku? Di sini, saya sejujur-jujurnya, dari hati yang tak bersiasat menipu, lagi-lagi merasa sebek!

Eh dari tadi bilang sebek terus! Kamu tahu apa arti sebek?

Tidak juga. Kita tanyakan pada pembasa saja yah?

Sebek itu apa sih? Apa semacam terpukul gitu ya?


Nana Lalong adalah nama pena untuk seorang mahasiswa asal Manggarai yang sedang studi di Jakarta.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini