Pelajaran dari Kematian Tragis Fidelis

Oleh: EUFRANIUS EDWIN

Kasus kematian Fidelis Honto, mahasiswa IKIP Budi Utomo, Malang meninggalkan duka mendalam, namun juga pelajaran penting bagi kita semua.

Nyawa mahasiswa asal Hawe, Kolang, Manggarai Barat ini akhirnya hilang karena  dikeroyok sekelompok mahasiswa asal Manggarai Timur.

Menyedihkan ketika kekerasan yang adalah simbol tumpulnya kesadaran kritis dan hati nurani justru menjadi penyebab kematian anak petani itu.

Apa mau dikata, nyawa manusia tidak dijual eceran di toko-toko. Fidelis pun pergi menyisakan duka dan mungkin juga penyesalan bagi pelaku.

Tragedi di Malang menyisakan ironi besa, bagaimana bisa mahasiswa yang hidup di tengah lingkungan akademis malah terhanyut dalam perbuatan sadis.

Mahasiswa yang seharusnya ‘rasional’ menjadi irasional.

Dalam kasus kematian Fidelis, mahasiswa sudah gagal memakai rasio untuk berpikir dan mempertimbangkan tindakan.

Mereka terhanyut dalam nafsu kebinatangan, memangsa nyawa teman dan saudara sendiri.

Lantas, jika nafsu kebinatangan telah menguasai kesadaran seorang mahasiswa, mau jadi apa dan bagaimana dia bisa berbakti untuk perubahan dalam masyarakat?

Pertanyaan yang lebih mendasar adalah untuk apa susah-susah berkuliah dengan menghabiskan banyak waktu, biaya, dan tenaga kalau hasilnya cuma mau jadi pembunuh dan perusak dalam masyarakat?

Budaya Kekerasan

Fenomena kematian Fidelis, selain meninggalkan duka bagi keluarga maupun kerabatnya  di Malang, juga terselip pesan yang sarat makna bagi mahasiswa Manggarai lain di tanah rantauan.

Kematian Fidelis adalah momentum reflektif bagi seluruh mahasiswa untuk bertanya kepada diri: untuk apa dan bagaimana seharusnya bersikap sebagai bagian dari kaum intelektual?

Sebagai mahasiswa yang merantau demi ilmu di atas pengorbanan, keringat dan gotong royong orang tua dan  masyarakat kampung, apa bayaran yang pantas untuk semua itu?

Sebagai orang Manggarai tentunya kita telah diutus oleh keluarga dan masyarakat agar merantau dengan kesucian hati dan pikiran sehingga bisa pulang membawa berkat bagi masyarakat.

Sejatinya pesan ini telah tersirat dalam goet: Lalong bakok du lakon, lalong rombeng du kolen.

Memang, budaya kekerasan yang menjalar di kalangan mahasiswa tidak hanya terjadi di Malang. Di Kupang atau mungkin juga kota-kota lain, kebiasaan yang sama hampir meresap dalam pergaulan mahasiswa. Dimana-mana selalu terdengar perkelahian antar mahasiswa, termasuk sesama mahasiswa dari Manggarai.

Akarnya juga hanya masalah sepele, seperti perdebatan, perebutan pacar, lirikan mata, senggol-menyenggol, sikut-menyikut, ketersinggungan, iri hati, cemburu, juga mabuk karena minuman keras.

Maraknya perilaku kekerasan pada akhirnya mulai menjadi trend dan gaya hidup di kalangan mahasiswa.

Pertandingan sepak bola menjadi tidak seru tanpa perkelahian, pesta tidak ramai jika tidak ada tawuran, dan hidup dengan simbol kekerasan alias ‘tampang preman’ akan lebih gaul dan disegani orang.

Tentunya, trend ini akan tumbuh subur di daerah yang sudah terlanjur memberi stigma negatif untuk orang NTT seperti orang NTT itu beringas, keras, tidak takut mati dan lain-lain.

Semakin ditumbuhkan maka mitos sosial ini makin terpatri dalam diri mahasiswa NTT yang berkuliah di Jawa atau daerah lain.

Alhasil, kekerasan menjadi budaya baru yang sukar dihilangkan.

Padahal, kita yang lahir dan hidup dalam budaya Manggarai sangat kental dengan nilai kekeluargaan, kebersamaan, gotong royong.

Dimana-mana pasti ada perkumpulan keluarga mahasiswa atau orang tua Manggarai. Seperti di Kupang, semua kecamatan di Manggarai Raya memiliki organisasi mahasiswa kecamatan  untuk belajar serta menjalankan kaderisasi organisasi.

Selain Manggarai Barat dan Manggarai, mahasiswa asal Manggarai Timur misalnya membentuk organisasi Himpunan Mahasiswa Manggarai Timur (Hipmmatim) yang sudah ada sejak tahun 2006.

Hipmmatim adalah wadah kaderisasi lanjutan dari organisasi kecamatan dari seluruh Manggarai Timur. Wadah ini menjadi payung yang menyatukan organisasi kecamatan.

Bahkan, saat ini mahasiswa asal Manggarai dan Manggarai Barat juga bergabung di Hipmmatim.

Walaupun masih banyak mahasiswa yang apatis atau sekadar mengikuti kegiatan organisasi saat ada pesta atau event tertentu,  paling tidak rasa kekeluargaan sebagai sesama Manggarai bisa terpupuk tidak hanya melalui turnamen atau pesta tapi juga melalui dinamika dalam organisasi.

Peran Organisasi

Fenomena budaya kekerasan mahasiswa adalah sinyal bahwa kapan pun dan dimana pun, ‘ Fidelis-Fidelis’ baru bisa muncul di tanah rantuan.

Jika kita lengah dan tidak segera mengambil langkah, maka budaya kematian pun menjadi hal yang lumrah dalam lingkungan mahasiswa.

Lantas, apa dan bagaimana yang harus dilakukan?

Yang paling penting adalah mahasiswa harus sadar akan eksistensinya.

Di sinilah peran organisasi mahasiswa, menurut saya, sangat vital.

Saya percaya, di Malang, Kupang, Makasar, Surabaya, Jogja, Jakarta dan kota-kota lain pasti memiliki organisasi perkumpulan orang Manggarai.

Masalahnya adalah bagaimana mengajak mahasiswa untuk berorganisasi.

Ada satu fenomena yang umumnya terjadi antara mahasiswa yang berorganisasi dan yang tidak, yakni masing-masing menunjukan eksistensinya sendiri.

Yang berorganisasi biasa berpenampilan elegan, mulai dari cara berpakaian, gaya bahasa, cara bergaul, suka berdiskusi, memberi nasehat dan lain-lain.

Sedangkan yang tidak berorganisasi,  mencari keunikan tersendiri seperti berugal-ugalan, miras, suka pesta dan mudah tersinggung.

Pembagian tipikal mahasiswa ini tidak menafikan kelompok lain di luar organisasi  yang mencari kreatifitas lain seperti membentuk kelompok musik, diskusi, sastra, dll.

Pembauran adalah salah satu cara yang efektif untuk saling menularkan ide, gagasan dan kebiasaan yang positif.

Di Kupang, selama saya menjadi ketua Hipmmatim tak luput dari perkelahian antar geng dan kubu tertentu dalam perkumpulan mahasiswa Manggarai.

Hampir semua aktornya adalah orang yang tidak berorganisasi.

Fakta sederhana ini meyakinkan saya bahwa peran organisasi mahasiswa daerah di tanah rantaun menjadi gerbang pertama menghadang segala bentuk penyimpangan sosial sebelum lembaga kampus, kepolisian, tokoh agama, tokoh masyarakat atau orang tua.

Karena itu, membangun kedekatan emosional yang berbasis budaya intelektual, kekelurgaan dan gotong royong dalam organisasi harus menjadi perhatian utama.

Semakin sering bertemu, berinteraksi dan bersosialisasi maka semakin baik pula hubungan antarmahasiswa itu sendiri.

Selain itu, momentum masuknya mahasiswa baru dalam suatu perguruan tinggi di berbagai kota di Indonesia adalah peluang untuk menyebarkan pengaruh positif melalui organisasi sebelum kebiasaan dan budaya kekerasan serta perilaku hedonis merasuki pikiran mahasiswa baru.

Karena itu, mahasiswa yang punya kesadaran berorganisasi atau komunitas kreatif tertentu harus bisa menangkap momentum ini sebagai langkah awal dalam membentengi mereka dari perilaku negatif.

Dengan gaya doktrin maupun sedikit mengancam, mereka dipaksa masuk untuk kemudian membentuk diri dan cara berpikir yang lebih rasional serta memupuk rasa senasib dan sepenanggunan di tanah rantauan.

Dengan itu, setidaknya, pengaruh lingkungan dan kebiasaan yang negatif dari para pendahulu (senior) bisa dikurangi dan kalua bisa mata rantainya diputus.

Ada satu hal positif yang kami alami di Kupang bahwa setiap organisasi kecamatan khususnya dari kabupaten Manggarai Timur, justru terkesan bersaing satu sama lain dalam menunjukan eksistensi organisasinya.

Kegiatan-kegiatan mahasiswa hampir selalu diadakan setiap bulan. Ada pelatihan jurnalistik, masa penerimaan anggota baru, latihan kepemimpinan, pentas seni budaya, turnamen olah raga, lomba debat, lomba pidato, lomba tulisan, dan kegiatan positif lainnya.

Persaingan positif ini juga memungkinkan terciptanya kreatifitas yang positif di kalangan mahasiswa.

Sebagai mahasiswa yang sebagian besar berasal dari kampung di Manggarai, hidup di tanah rantauan memang butuh proses adaptasi untuk menemukan jati diri yang sebenarnya.

Jika kita membiarkan diri terhanyut dalam arus budaya baru yang destruktif maka di situlah titik awal kehilangan kesadaran akan jati diri sebagai orang Manggarai sekaligus kehilangan eksistensi dasar sebagai kaum intelektual.

Semoga kematian Fidelis Honto tidak hanya meninggalkan duka bagi kita, tetapi berusaha menimba pelajaran bermakna  di baliknya.

Kami dari Hipmmatim-Kupang menyampaikan turut berduka atas kematian anak, sahabat, teman dan rekan kita Fidelis.

“Lako dia-dia, ngaji kole latang ami musi mai, latang teman-teman mahasiswa kudut molor tombo, dia ba weki agu jari tai. Ite ga jadi letang temba agu mu’u luju dami latang mori agu ngaran”.

Penulis adalah Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Manggarai Timur (Hipmmatim)-Kupang

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini