Bedah Buku Ben Mboi: Provinsi Flores Belum Layak untuk 75-100 Tahun ke Depan

Floresa.co – Almarhum Ben Mboi (1935-2015) memberikan perhatian terhadap gagasan pembentukan provinsi Flores, dalam bukunya “Percikapan Pemikiran Menuju Kemandirian Bangsa”. Buku ini baru diluncurkan pada Jumat (16/10/2015) di Bentara Budaya Jakarta.

Pada salah salah satu bab pada bagian kedua buku setebal 351 halaman ini, Ben Mboi secara khusus menulis soal gagasan provinsi Flores.

BACA Juga: Percikan Pemikiran Ben Mboi untuk Kemandirian Bangsa

Menurutnya, dilihat dari GNP per kapita rakyat NTT, gagasan provinsi Flores ini tidak visible.

Ia mengatakan pendapatan per kapita NTT diperkirakan Rp 3 juta atau Rp 1,5 juta per tahun (data 2008, saat naskah ditulis-red). Sedangkan pendapatan per kapita nasional adalah Rp 15 juga per tahun.

Bila menggunakan angka per kapita Rp 1,5 juta dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 6%, maka menurut Ben Mboi, dibutuhkan waktu sekitar 40-50 tahun untuk bisa mengejar per kapita nasional. Kalau menggunakan angka Rp 3 juta per tahun, maka dibutuhkan waktu 25-30 tahun agar per kapita NTT sejajar dengan per kapita secara nasional. Itu pun dengan catatan per kapita nasional tidak berubah atau atau “tinggal di tempat”. Tetapi itu tentu mustahil.

“Kesimpulannya, sekuat-kuatnya kita berupaya, tetap akan ketinggalan, kecuali ada mukjizat ekonomi,”tulisnya.

Persoalannya, kata dia, pertumbuhan ekonomi di daerah bercorak agraris tidak sampai 6% per tahun. Karena itu, bila pertumbuhan ekonomi NTT hanya 3,5% per tahun, maka waktu yang dibutuhkan untuk mengejar ketertinggalan lebih lama lagi.

“Mengapa energi kita dihabiskan untuk memikirkan pemekaran, ketimbang membangun kesejahteraan rakyat? Tidak ada satu daerah (kabupaten-red) pun yang secara ekonomis visible dari dirinya sendiri, paling kurang untuk 75-100 tahun yang akan datang,”tulis mantan gubernur NTT 1978-1988 ini.

Selain pertimbangan GNP, ia juga mengungkapkan sejumlah argumentasi lain sebagai kontra argumentasi terhadap gagasan Provinsi Flores.

Diantaranya, menurut dia, perlu suatu karya besar untuk membebaskan rakyat NTT dari belenggu kemsikinan. “Tidak ada kabupaten di NTT yang mampu mengatasi kemiskinan itu sendiri, kecuali dengan provinsi NTT,”tulisnya.

Belum lagi, kata dia, ketertinggalan di NTT di bidang lainnya, seperti di bidang infrastruktur, pendidikan, kesehatan, teknologi dan lainnya. “Perlu suatu usaha bersama yang besar untuk mengejar semua ketertinggalan tersebut. Bila melalui pemekaran yang terjadi hanya fragmentasi kekuatan daya pikul, daya membangun NTT.”

Menurutnya, kekuatan daerah-daerah di NTT secara historis sudah “komplementer-suplementer”. Tidak ada satu kabupaten pun di NTT yang mampu dari diri sendiri mengatasi kemisikinan dengan kolateral-kolateralnya. “Co-administrasi adalah satu-satunya jalan,”tulis Ben Mboi.

Selain karena perlu kekuatan bersama untuk mengatasi berbagai ketertingalan, menurutnya dari aspek geo-strategis juga menjadi pertimbangan mengapa NTT tak perlu dimekarkan.

Secara geografis, NTT berbatasan dengan Timor Leste, Laut Hindia, dan Australia, sehingga kedudukan strategis NTT menjadi sangat penting demi kepentingan nasional.

Kemudian, struktur cincin atau lingkar Flores-Lembata-Alor, Timor-Rote-Sabu-Sumba-Komodo, dengan laut Sawu sebagai “laut dalam” dengan laut Ombai dan laut Timor bergesekan dengan negara lain.

“Cincin-cincin pulau NTT” itu, menurutnya, merupakan “urat Achilles” pertahanan nasional. “Begitu cincin itu terputus secara ‘administratif politik’ urat Achilles ini ini menjadi titik lemah. Kecuali ada satu desain makro-struktur baru NTT sehingga ‘lingkar pulau-pulauu itu’ tetap in-tact,utuh”.

Ia juga memwanti-wanti bahwa Flores itu hanya sebuah entitas geografis, bukan suatu kesatuan administrasi negara.

Secara historis, Flores pernah terdiri dari swapraja-swapraja yang otonom secara administratif. Menurutnya, satu dilema politik dan administratif bila Provinsi Flores dipaksakan karena terlalu banyak kepentingan politik praktis yang antagonistik. Karena itu, menurutnya, dibutukan suatu tipologi kepemimpinan yang mampu mempersatukan.

“Apakah agama Katolik juga bisa menjadi pemersatu? Sulit dijawab. Sebab Flores telah terbagi dalam empat keuskupan yang mengikuti alur-alur subetnik,”tulisnya.

Pada bagian lain buku ini, Ben Mboi juga menguraikan sejarah terbentuknya provinsi NTT yang bermula dari gagasan untuk membentuk provinsi Flores, memisahkan diri dari provinsi Sunda Kecil waktu itu.

Jadi, provinsi NTT adalah brainchild (gagasan) orang Flores, dalam hal ini partai Katolik saat itu. “Aneh kalau sekarang ‘orang Flores’ ingin memisahkan diri dari NTT yang pada mulanya digagas oleh nenek moyang mereka. Agaknya itu merupakan suatu sikap egois,”tulis Ben Mboi. (Petrus D/PTD/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini