Meragukan Kredibilitas Tini Tadeus

Oleh: INOSENTIUS MANSUR

Judul ini merupakan basis argumentasi saya dalam tulisan ini. Betapa tidak, dalam “sekejap” saja, Bupati Manggarai Barat (Mabar), Tini Tadeus (TT) telah menjadi tokoh “kontroversial”.

Belum lama menjabat sebagai penjabat bupati Mabar, TT telah memposisikan dirinya sebagai tokoh antagonis, dimana ucapan, tindakan serta kebijakannya menimbulkan kegaduhan dan distorsi sosial. Tindakan dan ucapannya, telah melahirkan “ketidakenakan” kolektif.

Tentunya kita masih ingat bagaimana pada suatu kesempatan, dia menggunakan pakaian serba merah. Walaupun dia sendiri telah berusaha menetralkan suasana, dengan mengatakan bahwa hal itu jangan dipelintir secara politis, tetapi saya meyakini bahwa sulit sekali untuk menghindari persepsi publik tentang keberpihakannnya pada calon tertentu yang notabebe didukung oleh parpol tertentu pula (merah adalah warna kebanggannya dan kekhasannya).

Orang yang tidak paham politik pun akan dengan mudah dan begitu enteng menebak dan mengetahui maksud dari tampilan publik TT.

Sebagai seorang tokoh publik, TT harusnya tahu bahwa setiap kata dan gerakannya, pasti menimbulkan tafsiran politis dan akan sangat mempengaruhi situasi sosial, apalagi menjelang Pilkada Mabar.

Jika TT bijak, maka dia pasti berusaha sedapat mungkin menghindari ucapan dan tindakan yang bisa menimbulkan efek “pragmatik” seperti itu. Dia akan memanajemen kata dan tindakannya agar tidak mendatangkan “malapetaka” sosial.

Tak berhenti di sini saja. TT lagi-lagi berbuat ulah. Dia mengeluarkan ucapan rada-rada aneh dan melahirkan perlawanan publik.

Dalam suatu kesempatan acara, TT terkesan “memobilisasi” undangan yang hadir untuk memilih pasangan calon tertentu. Hal itu lantas mendapat kecaman dari berbagai pihak terutama para calon pemimpin yang akan berlaga dalam Pilkada Mabar.

Banyak orang mempertanyakan peran TT sebagai penjabat publik. Harusnya dia tahu bahwa dirinya merupakan penjabat bupati dan bukannya “jurkam” paket tertentu.

Esensi eksitensinya adalah bagaimana menciptakan situasi kondusif agar Pilkada Mabar terlaksana dengan baik dan juga memastikan rakyat Mabar tetap sejahtera.

Jadi, dia tidak boleh memecah belah dengan menggunakan jabatannya untuk memperjuangkan dan memenangkan calon pemimpin tertentu. Tetapi barangkali karena TT memang telah dipasang untuk meloloskan calon tertentu, maka dia pun – tanpa tedeng aling-aling lagi minim kalkulasi bijaksana – secara sengaja menjadikan semua momentum untuk menekan dan mengarahkan orang lain untuk memilih paket tertentu.

Dia menjadikan posisinya sebagai penjabat bupati untuk mencapai target-target politik tertentu. Dia menyelundupkan hasrat politik dalam berbagai kesempatan dimana dirinya memang menjadi sorotan umum.

Walaupun TT sekali lagi berusaha untuk menepis dugaan seperti itu dengan mengatakan bahwa pernyataannya dipelintir secara salah, tetapi publik sudah tahu dan dengan mudah mengira bahwa dia sudah menjadi corong dari calon tertentu.

Publik akan dengan amat gampang menilai bahwa TT sudah terlibat dalam politik partisan dan menjadi tokoh titipan dari kepentingan tertentu.

Apakah sampai di situ saja? Tidak juga! Keanehan dan kontroversi dari TT  terus berlanjut.

Terakhir, dia membuat terobosan “aneh”. TT memfasilitasi pertemuan elemen sipil dan PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM) yang telah dipercayai sebagai perusahaan yang mengelola Pantai Pede.

Entah ingin menjadikan dirinya sebagai tokoh “sintesis” di tengah perjuangan hebat rakyat untuk menolak privatisasi Pantai Pede, TT pun mengambil terobosan untuk memfasilitasi dialog antara rakyat (elemen sipil) dengan PT SIM.

Pertanyaan mendasar untuk dijawab berkaitan dengan hal ini adalah: apa maksud TT mempertemukan elemen sipil dan PT SIM? Kepentingan siapakah yang nantinya akan menang: kepentingan rakyat ataukah kepentingan pengusaha dan pemodal?

Untuk saya, hal seperti ini amat aneh. Seharusnya, dialog dan pertemuan seperti ini dilakukan jauh-jauh hari sebelum adanya kebijakan seperti sekarang ini yaitu memberikan wewenang kepada PT SIM untuk mengelola pantai kebanggaan rakyat Mabar tersebut.

Bagaimana jika hasil pertemuan itu adalah rakyat menolak privatisasi Pantai Pede, apakah hal itu akan berlaku?

Saya curiga, bahwa dialog yang dirancang dan diinisiasi oleh TT akan melahirkan “kompromi” yang terkesan baru, tetapi esensinya tetap sama yaitu memberikan wewenang pengelolaan Pantai Pede kepada PT SIM.

Saya berani bertaruh bahwa pertemuan itu tidak akan membatalkan niat Pemerintah Privinsi NTT memberikan kepercayaan kepada pemodal untuk mengelola Pantai Pede.

Sementara, rakyat hanya minta satu hal: Pantai Pede harus tetap menjadi ruang bersama, tempat mengekspresikan diri secara kolektif, tempat ekpsresi kreasi dan menjadi ruang untuk mempersatukan rakyat Mabar. Pantai Pede harus dikembalikan kepada rakyat. Itu saja!

Saya meyakini bahwa pertemuan itu sama sekali tidak bertujuan untuk mengakomodir suara dan desakan publik yang menginginkan deprivatisasi Pantai Pede.

Lagi, saya curiga (mudah-mudahan tidak benar!) bahwa ada deal-deal tertentu antara TT (sebagai representasi penguasa NTT) dan PT SIM. Mereka akan mendesain pertemuan itu sedemikian rupa, sehingga seolah-olah demokratis dan dialogis, padahal yang terjadi adalah pemaksaaan kehendak kepada rakyat untuk menyetujui privatisasi Pantai Pede dan dibiarkan untuk dikelola oleh pemodal.

Dengan demikian, secara otomatis, dialog itu pasti akan memenangkan kepentingan pengusaha dan penguasa dan pasti menyingkirkan kepentingan rakyat.

Tentu saja ada argumentasi dan logika pembangunan yang akan diusung sebagai alasan pembenaran untuk menyerahkan Pantai Pede kepada pemodal.

Tetapi, logika itu dipelintir sedemikian elok hanya untuk melegitimasi kepentingan elitis dan pasti menyingkirkan kepentingan rakyat. Karenanya, apa yang dilakukan TT adalah bentuk tindakan “represif” yang didesain dan dilakukan secara elok.

Sampai di sini, harus dikatakan bahwa kredibilitas TT sebagai penjabat bupati memang pantas diragukan.

Kini, TT sedang mengidap penyakit amnesia ekistensi. Dia lupa esensi eksistensinya sebagai penjabat bupati. Dia lupa diri. Dia yang diharapkan bisa menstabilkan situasi politik dan mengkondisikan rakyat Mabar untuk mengafirmasi diri sebagai rakyat demokratis, malah terjebak dalam kepentingan politik parsial.

Dia diinstrumentalisasi oleh kepentingan tertentu. Kita tidak bisa berharap banyak dari seorang TT.

TT harusnya membuat terobosan yang mementingkan demokratisasi lokal dan tata pemerintahan yang baik, dengan wacana pembangunan yang mengedepankan partisipasi rakyat loka dan masyarakat sipil (Harriss, Stokke and Törnquist, 2005).

Tetapi sayangnya, TT lebih berperan sebagai “alat” dari partai dan kepentingan elitis tertentu, lantas mengabaikan desakan rakyat Mabar. Ia yang adalah pemimpin lokal, dalam praksisnya mengabaikan rakyat lokal itu sendiri.

Karena itu, rakyat Mabar harus berani melawan TT dan menegaskan kedaulatan mereka, dengan tetap menjadi oposisi TT dan siapa saja yang menghendaki Pantai Pede diserahkan kepada pemodal.

Semua elemen sipil Mabar dan siapa saja yang memiliki kepedulian terhadap kedaulatan rakyat Mabar, harus bersatu padu melawan hegemoni dan bentuk lain dari politik otoritarianisme.

Pantai Pede adalah pantai kita bersama, bukan pantainya pengusaha.

Penulis adalah akademisi dan pemerhati sosial-politik dari STIPAS St. Sirilus Ruteng

spot_img
spot_img

Artikel Terkini