Tidak Mendukung Bandit!

2196

Oleh: IRVAN KURNIAWAN

Menjelang Pilkada serentak pada Desember mendatang, ruang publik kembali gaduh dengan tebaran janji dan isu politik yang makin memanas.

Kegaduhan ini bukan baru pertama kali terjadi dalam ruang demokrasi local, melainkan siklus musiman dimana awalnya selalu ramai menawarkan harapan, perubahan dan kesejahteraan namun berakhir sedih (sad ending) saat rakyat kembali sadar akan daya tipu dan tipu daya politik.

Sejarah demokrasi  di negeri ini khususnya di level lokal telah merekam dengan jujur drama pengkhianatan dalam panggung demokrasi. Kekalahan rakyat adalah drama yang selalu berulang dari tiap episode demokrasi.

Dan awal episode itu sedang kita saksikan dalam kancah pertarungan politik yang terjadi di Manggarai dan Manggarai Barat saat ini.

Bagi banyak kalangan, mungkin perhelatan Pilkada di dua kabupaten ini adalah berkat yang bisa mendatangkan keuntungan, tapi bagi saya ada rasa miris bahkan risih ketika di balik tirai gemerlapan panggung politik gelak tawa para elit begitu centang membahana bahkan menggelegar menyaksikan keberhasilan mereka dalam menghipnotis rakyat dengan janji-janji.

Mereka mampu menyulap panggung politik yang penuh dengan katamakan dan keserakahan menjadi elegi untuk sebuah kehidupan yang lebih hidup.

Panggung politik yang penuh dengan kelicikan dan tipu muslihat serempak menjadi panggung pamer kebajikan dan akhlak. Rakyat sebagai target utama dari rekayasa ini seakan diberi daya dan energi untuk keluar dari kemelaratan, kemiskinan, kebodohan, nista dan papa.

Demokrasi memang bukan tujuan tetapi proses yang berkelanjutan menuju kebaikan bersama, tetapi demokratisasi yang menjadi diskursus publik akhir-akhir ini justru bergerak melenceng dari substansinya.

Demokrasi meminjam Olson justru selalu menempatkan mayoritas (rakyat) dalam kekalahan, sementara minoritas aktif (elit politik dan pemodal) mendapat keuntungan dari sumber daya politik maupun publik.

Di sini, kita dapat mengerti, mengapa aktor politik kita begitu sakau dengan kekuasaan politik. Seperti seorang pengidap narkoba yang berani merampok demi setetes kenikmatan, begitu pula realitas politik yang disuguhkan akhir-akhir ini. Manusia tidak lagi berharga di depan semarak kekuasaan dan uang.

Dimensi humanisme seketika lenyap berhadapan dengan aneka gemerlapan kekayaan. Jeritan tangis dan ketidakberdayaan rakyat tidak lagi menjadi kegalauan elit politik.

Bagi mereka, tangisan dan kemelaratan adalah induk semang untuk menyebarkan virus-virus janji yang akan mucul setiap kali perhelatan demokrasi.

Pertarungan politik akhirnya menjadi ladang pembantaian manusia terhadap manusia serta alam sekitarnya. Organisasi politik yang seharusnya menyelenggarakan pemerintahan untuk membuat rakyat sejahtera menjadi ladang perburuan kekuasaan yang didominasi kobaran nafsu untuk menikmati kekuasaan.

Mirisnya lagi ketika kaum intelektual dan dan kaum ‘idealis’ mulai bergenit-genit dengan kekuasaan demi mendapat remah-remah yang jatuh dari meja penguasa.

Kematian Rasa Sosial

Persaingan merupakan hal yang tidak bisa ditampik dalam banyak dimensi kehidupan. Kompetisi sudah mewarnai kehidupan bahkan sebelum manusia itu lahir.

Rivalitas itu dapat kita telusuri dari karya Charles Darwin, On the top Origin of Species. Intinya persaingan itu dimulai semenjak jutaan sperma harus bersaing ketat untuk menghasilkan satu pemenang tunggal memperebutkan sel telur yang nantinya berkembang menjadi embrio manusia. Oleh karena itu, rivalitas merupakan keniscayaan dalam ziarah peradaban manusia.

Jika dilihat dari sisi filosofis-antropologis, kalau dorongan untuk menjadi berkuasa melebihi dosis yang pantas, sisi kebinatangan manusia (baca: elit politik) melebihi sisi kemanusiaannya.

Itu berarti ranah politik  merupakan kumpulan bandit dengan sifat khas binatang. Manusia bukan lagi binatang yang berakal dan berperasaan melainkan sepenuhnya menjiwai sifat kebinatangan untuk ‘membantai’ sesama.

Di sinilah tercipta sebuah generasi politik tanpa rasa sosial, yang mengidap ketamakan dan berujung pada kematian  rasa sosial untuk merasakan situasi ketertindasan rakyat.

Barisan parade mati rasa itu pun mengalir deras seiring dengan irama  desentraliasasi di mana bukan lagi mempermudah akses kesejahteraan melainkan munculnya raja-raja kecil di daerah dengan segala keserakahaan mereka mempraktekan kejahatan laten korupsi.

Fenomena matinya rasa sosial ini merupakan suatu potret buruk realitas yang akhir-akhir ini menjadi wabah sosial dunia politik. Kegalauan para politisi sama sekali tidak nyambung dengan kegalauan masyarakat.

Kegalauan mereka adalah ketika survei menegaskan lawannya lebih kuat, kegalauan ketika jatah pembagian kue kekuasaan tidak merata, galau ketika terjadinya konflik internal partai, galau ketika mendengar berita bagian dari gerombolannya tertangkap basah korupsi, galau ketika pencitraan partainya merosot, dan sederet kegalau yang lebih bersifat pragmatis jika disandingkan dengan fungsi dan peran mereka melayani rakyat.

Inilah ironi yang sedang dilakoni elit politik saat ini.

Itikad Baik

Bisa dibayangkan bahwa kekuasaan ibarat sebuah pisau yang jika dipakai oleh ahli bedah dan juru masak pasti akan menghasilkan hal baik namun jika dipakai oleh perampok dan bandit pasti akan melahirkan kehancuran dan pembantaian sosial.

Selama ini, pisau kekuasaan itu dipakai oleh bandit-bandit politik dengan nafsu menjarah harta kekayaan negara. Hasilnya, kita pun tak mampu membendung laju kemerosotan akibat penyalahgunaan kekuasaan.

Di sinilah kita mengharapkan itikad baik aktor politik untuk menggunakan pisau kekuasaan demi kebaikan bersama. Selama itikad baik itu tidak muncul dari setiap periode pergantian kekuasaan maka selama itu pula pilkada selalu dipenuhi dengan enigmatic democracy (demokrasi yang tidak jelas dan dipenuhi teka-teki).

Pilkada di Manggarai dan Manggarai Barat  akan segera tiba. Pergantian kekuasaan itu pun sedang dalam kancah percaturan yang sengit. Di sini posisi rakyat harus kuat dan independen dalam menilai seorang kandidat.

Rakyat harus dapat membedakan mana bandit yang sedang dipoles citra dan mana seorang pahlawan yang mungkin saja sedang menantikan perubahan. Mana yang punya itikad baik untuk membangun dan mana yang nafsu serakahnya lebih dominan dari pada kepekaan sosial.

Jika kita masih saja berkutat pada buaian politik uang dan primordial, niscaya Pilkada kali ini akan melahirkan pemimpin mati rasa dan rakyat pun terus merasa mati akibat keserakahan mereka.

Penulis adalah Mahasiswa di Kupang, aktif dalam organisasi GMNI Cabang Kupang