Labuan Bajo, Floresa.co – Debat publik para kandidat Pilkada Mabar pada Rabu (23/9/2015) terkesan tak menarik, bisa disebut datar-datar saja.

Ini berbeda dengan acara deklarasi kampanye damai di Pantai Pede beberapa waktu lalu, yang bisa dibilang, cukup sengit.

Dalam debat yang digelar di Hotel Jayakarta, Labuan Bajo kemarin, masing-masing kandidat lebih banyak fokus menyampaikan visi dan misi masing-masing.

Ini berbeda dengan deklarasi kampanye damai, yang ibarat perang, masing-masing kandidat saling menyerang.

Di hadapan massa yang menyesaki tiap sudut Pantai Pede, pasangan Tobias Wanus dan Frans Sukmaniara (Paket Tobi-Frans), misalnya, terang-terangan mengecam ketiadaan rumah sakit di Kota Labuan Bajo.

Demikianpun dengan Mateus Hamsi dan Paul Serak Baut (Paket Mabar). Meskipun dengan gaya jenakanya, Mateus tegas mengatakan, “Urus Mabar tidak habis dengan senyum”. Hampir semua orang tertawa.

Apalagi pernyataan dari Maksimus Gasa. Ucapan dari mantan wakil bupati Mabar, yang berpasangan dengan Agustinus Ch Dula pada periode 2010-2015 tentu menimbulkan tafsir tersendiri.

Sebelum mencalonkan diri sebagai bupati, kabar keretakan hubungannya dengan Dula sudah mencuat.

Karena itu, sewaktu kampanye terbuka, pernyataannya tak berlebihan kalau dihubung-hubungkan dengan kepemimpinan Dula, yang kini maju bersama Maria Geong (Paket Gusti Maria)

Ia mengatakan, “Pemimpin harus tegas. Jangan lunggu lepe

Datar

Debat kemarin lebih banyak mengulang lagi apa yang sudah disampaikan di Pantai Pede.

Kekhasan masing-masing calon belum menonjol. Hampir semua membahas persoalan yang sama, antara lain pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pertanian, parawisata dan kebersihan kota.

Daripada menjelaskan bagaimana program-program itu menjadi nyata di kemudian hari, para kandidat lebih cenderung jatuh pada mengkritik atau menjelaskan kekurangan dari pemerintahan sebelumnya.

Kalau pun sudah mulai menjelaskan langkah-langkah konkret tersebut, namun hanya mendapat porsi yang lebih kecil.

Waktu sangat membatasi, yakni 3 menit.  Bahkan, saking sedikitnya waktu, beberapa kali para calon wakil bupati tak kebagian waktu berbicara.

Apalagi, dalam segmen saling bertanya antarkandidat, tak ada kesempatan untuk saling mengugat apabila jawaban yang diberikan tak sesuai dengan pertanyaan. Kelihatan sekadar informatif karena bersifat tanya-jawab saja.

Sempat terjadi, dalam suatu giliran, Dula hampir saja menginterupsi. Namun ia segera mengurungkannya ketika moderator berbicara.

Konteksnya, Paket Gusti-Maria memberikan pertanyaan kepada Paket Firdaus (Ferdy Pantas-Yohanes Hapan).

Maria menanyakan bagaimana langkah konkret agar angkatan kerja dari kalangan tak terpelajar yang sebagian besar adalah perempuan dapat dikurangi.

Paket Firdaus belum begitu eksplisit menjawabnya. Dula bereaksi. Namun, tegangan diskusi demikian tidak menemukan ruang dan di-follow up dalam debat publik putaran pertama ini karena terhalang oleh aturan waktu.

Kritik

Kurangnya greget debat publik pada putaran pertama sebetulnya ditengarai oleh beberapa faktor antara lain soal pemilihan tempat, peserta dari debat itu sendiri dan materi debat.

Dari 200 orang jumlah seluruh peserta yang hadir, sekitar 125 adalah keluarga dan tim sukses dari masing-masing kandidat. Sisanya adalah undangan.

Menurut Frans Sukmaniara, tim sukses tersebut sudah sangat loyal dengan pilihan politiknya masing-masing. Hampir pasti mereka tidak bisa mengubah pendirian politiknya.

Karena itu, baginya debat publik yang berlangsung di ballroom “Maria Magdalena” Hotel Jayakarta tersebut tidak begitu efektif.

Sekalipun disiarkan langsung lewat radio, ia sendiri tak begitu yakin bahwa gagasannya bisa mempengaruhi publik yang lebih luas.

Pengakuan serupa disampaikan oleh Yohanes Hapan. Katanya, debat dalam ruangan berkapasitas kecil tidak begitu signifikan pengaruhnya bagi publik luas.

Sukmaniara mengatakan, sebaiknya debat berikutn diselenggarakan di ruangan yang lebih luas. Dan, sebaiknya perwakilan dari desa-desa diundang lebih banyak lagi, daripada mendatangkan tim sukses masing-masing.

Sementara itu, sehari sebelumnya moderator, Hipol Mabar sudah meramalkan keadaan itu.

Ia mengatakan topik yang akan diperdebatkan sangat luas cakupannya, antara lain menyangkut kesejahteraan masyarakat, pembangunan dan kemiskinan, hubungan pusat dan daerah dan menjaga kedaulatan NKRI.

Penuh Canda

Debat putaran pertama menjadi lebih sedikit menarik hanya karena masing-masing kandidat pandai bercanda satu sama lain.

Hamsi-Baut paling sering menimbulkan gelak tawa. Ketika berkesempatan memberikan pertanyaan kepada Paket Maksi-Azis, ia celetuk, “Santai saja, pertanyaan saya gampang.” Suasana serius mencair seketika.

Gusti-Mari pun demikian. Meski semula tampak kaku, Gusti kemudian kelihatan percaya diri. Ia memulai dengan canda ketika bertanya kepada Tobias-Frans.

Katanya, “Tobi dan Frans panggil saya om. Berani-beraninya mereka melawan om.” Kontan Tobi dan Frans pun tertawa lepas.

Begitu pun ketika giliran Tobi bertanya kepada Hamsi.

Sapaan “Pak ketua” membuat Hamsi tertawa terbahak-bahak. Cepat pula ia menimpal, “Iya mantan anggota.” Keduanya pernah sama-sama menjabat sebagai anggota DPRD Mabar.

Terlepas dari itu semua, pertanyaan Dula cukup menyengat saat itu. Boleh saja masing-masing kandidat berkoar-koar, namun, menurut dia, dalam kenyataannya ketika menjadi pemimpin, bisa saja yang terjadi lain.

“Apakah perencanaan-perencaan itu akan menjadi movitasi ataukah menuai kekecewaan-kekecewaan? Kita boleh sangat bernafsu tetapi pelaksanaannya lain” kata Dula.

Ia berbicara demikain bukan tanpa sebab. “Saya berbicara dari pengalaman saya sendiri sebagai pemimpin pada periode 2010-2015,” jelasnya.

Sementara itu, Paket Firdaus menampilkan karakter khasnya.

Baik pada kampanye terbuka maupun debat putaran pertama, Firdaus masih kelihatan sangat sistematis dalam menyampaikan visi, misi, dan program-program kerja. (Gregorius Afioma/ARL/Floresa)