Pilkada dan Basa-basi Debat Kandidat

Dengan nada tegas, penulis mempertanyakan apa pentingnya debat kandidat menjelang Pilkada.

1550
Hancel Goru Dolu

Oleh: HANCEL GORU DOLU

Pilkada sedang menjadi trending topic dimana-mana di seluruh Indonesia. Pilkada serentak, di tengah plus-minus yang melatarinya, telah membangkitkan euforia publik.

Pilkada menjadi arena pertarungan antarelite yang selalu saja sukses memobilisasi emosi dan tindakan warga negara. Paket-paket yang maju bertarung telah turut menyeret histeria massa ke dalam dikotomi kubu-kubu.

Dikotomi antarkubu itu, alih-alih karena faktor kedekatan ideologis atau pertarungan gagasan, malah sesungguhnya ditanamkan melalui prosesi-prosesi seremonial.

Negara, yang diwakili lembaga seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) ataupun Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), sangat berperan menciptkan formalisme basa-basi berkala ini.

Kegiatan-kegiatan seperti kampanye dan debat publik misalnya, telah menunjukkan pada kita semua bahwa elit-elit tersebut sebenarnya berjarak dari rakyat yang akan memilih mereka.

Kegiatan seperti prosesi kampanye dan debat publik adalah pertanda bahwa elit-elit tersebut tak dikenal rakyat, berikut rekam jejaknya.

Ataupun jika telah terkenal, forum semacam itu adalah media untuk sekedar cari perhatian rakyat.

KPUD lalu bertindak sebagai penyedia panggung instan, tempat para kandidat mempromosikan diri, sekaligus memohon untuk dipilih. Histeria massa diwadahi dalam bunyi yel-yel, rombongan kampanye, sentimen politik identitas, hingga daur ulang sejarah dan romantisme kultural.

Debat publik lalu hanya menyisakan dua hal: arena para elit bermain drama penuh basa basi atau tempat para khalayak memaknai debat sebagai arena sabung ayam. Menanti jagoan lawan keok lalu bersorak. Tukar-menukar ejekan hingga saling mencaci-maki.

Dalam banyak kasus, hubungan perkawanan atau kekerabatan bahkan putus oleh karena banalitas politik yang seperti itu.

Pada situasi ini, entah disadari ataupun tidak, sesungguhnya massa sedang “dipaksa” untuk mesti memilih satu di antara berbagai paket yang bertarung.

Rakyat dikondisikan untuk menghadapi kenyataan, antara memilih yang terbaik dari yang baik atau bahkan memilih yang buruk dari yang terburuk.

Seruan-seruan jangan golput mulai berkumandang. Sasaran pada swing voters ataupun silent majority makin masif. Ilusi-ilusi menjamur secara sistematis. Seolah-olah rakyat tak punya pilihan lain, selain yang telah disodorkan, mirip sales yang menjajakan barang dagangan.

Rakyat diklasifikasikan dalam segmen-segmen layaknya konsumen. Dan memang, dalam makna yang sebenarnya, rangkaian kampanye maupun arena debat kandidat adalah tempat berjualan dan tukar tambah janji-janji.

Itu medium para elit memoles citra, arena mendulang simpati melalui demagogi dan tebaran slogan-slogan serta hipokrisi.

Prosesi-prosesi (maaf) tak penting seperti itu sesungguhnya jauh dari semangat efisiensi penyelenggaraan pemilu. Dan itu berlangsung dari dekade ke dekade. Era demi era.

Padahal, pemimpin yang sejati tak membutuhkan panggung instan tempat berdemagog seperti itu. Mereka harus menciptakan “panggung” sendiri.

Panggung itu adalah keberpihakan dan konsistensi perjuangan bersama massa rakyat, terutama sekali mereka yang miskin dan marjinal tertindas. Ini panggung pedagogis, yang membebaskan.

Itu dilakukan dengan mendatangi pondok-pondok, rumah-rumah, kampung-kampung dan semua pelosok wilayah, menyibak semua tipu daya rezim yang semena-mena.

Mendengarkan suara-suara dari kaum tak bersuara. Belajar bersama massa. Lalu, mengubah kemauan massa menjadi tindakan massa.

Hal demikian dimulai jauh-jauh hari sebelum masa perhelatan Pilkada dimulai, melalui organisasi rakyat, pergerakan rakyat, hingga media publikasi rakyat.

Di sanalah, segala ide tentang perubahan dibahas dan dimaterialkan.

Sehingga, ketika menghadapi arena forum debat, mestinya para kandidat secara tegas menolaknya. Karena itu adalah forum yang berjarak dengan massa.

Juga, para intelektual yang sadar dan maju, mestinya, tak ikut-ikutan menaikkan popularitas diri sendiri lewat panggung-panggung instan seperti itu, semisal menjadi MC atau moderator.

Apalagi, kalau dalam menjalankannya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan normatif atau sekedar seruan-seruan khotbah ritmis dan plastis.

Pada akhirnya, harus ada yang berani memulai, menjelaskan pada publik bahwa debat kandidat bukanlah indikator determinan keberhasilan pelaksanaan demokrasi dan gambaran kemampuan seseorang dalam memimpin.

Itu tidak lebih dari sekedar basa-basi elit yang telah menjadi tradisi. Pun warga negara tak boleh habis terbagi ke kubu-kubu yang bertarung dalam Pilkada.

Ini bukan tentang apatisme, juga bukan tentang netralitas. Tetapi, sebagai pengingat bahwa selalu ada jarak antara harapan dan para pembuatnya.

Dan, agar selalu ada yang berdiri di luar lingkaran penuh basa-basi, di tiap pegelaran Pilkada.

Penulis adalah mahasiswa asal Bajawa, sedang kuliah di Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Alumnus Seminari St Yohanes Berchmans Todabelu Mataloko ini menduduki posisi sebagai Sekjen BEM Universitas Wijaya Kusuma pada 2013-2014.