BerandaPILIHAN EDITORSkandal Pulau Padar, Kemana...

Skandal Pulau Padar, Kemana Arah Kompas?

Floresa.co – Di tengah keprihatinan akan kepunahan komodo di Pulau Padar, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar)-Flores, karut marut pengelolahan Taman Nasional Komodo (TNK), dan protes masyarakat terhadap privatisasi pesisir dan pulau-pulau, Harian Kompas menurunkan berita tentang keindahan Pulau Padar, salah satu habitat komodo pada edisi Rabu (16/09/2015).

Dengan judul “Pesona Tiga Danau di Laut Flores”, media nasional itu mendeskripsikan panorama Pulau Padar dengan mendetail di kawasan darat maupun bawah laut.

Antara lain, misalnya melukiskan tentang tempat foto pre-wedding dan keindahan tiga spot menyelam bawah laut, yang kemudian dibanding-bandingkan dengan keseluruhan spot menyelam dan snorkeling di TNK yang jumlahnya 42 titik.

Terkait dengan keindahan itu, Kompas mengutip pendapat Kepala Balai Taman Nasional Komodo, Helmi, yang mengatakan, meskipun indah dan sudah menarik banyak wisatawan, Pulau Padar belum digarap secara khusus seperti Pulau Komodo dan Pulau Rinca.

Pemberitaan itu dan angle yang dipilih Kompas memicu pertanyaan-pertanyaan kritis tentang politik redaksional Kompas terkait persoalan-persoalan mendasar di TNK dan sekitarnya.

Mengapa Kompas lebih memilih angle panorama ketimbang permasalahan penting yang sedang menjadi perhatian publik terkait Pulau Padar? Mengapa Kompas tidak mengangkat protes yang masif disuarakan dari berbagai elemen masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT) atas privatisasi pesisir dan pulau-pulau demi kepentingan bisnis turisme? Mengapa Kompas terkesan mengabaikan begitu saja suara-suara pro-konservasi di dalam departemen kehutanan BTNK yang menolak privatisasi karena mengancam keberlangsung hidup Komodo?  Untuk media sebesar Kompas, apakah ini suatu kenaifan atau sebuah kesengajaan?

Apalagi, perjalanan reportase ini difasilitasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang telah mengeluarkan surat izin privatisasi atas nama konservasi dan turisme di pulau tersebut; izin yang kemudian memicu kontroversi.

Bisnis versus Konservasi

Upaya privatisasi Pulau Padar sudah terjadi. Atas nama turisme dan konservasi, kini pengelolahan Pulau Padar di jantung TNK sudah berada di tangan swasta, yakni PT Komodo Widlife Ecotourism (KWE) melalui SK MENHUT/796/MENHUT-II/2014 tertanggal 29 September 2014. Disinyalir milik jaringan politisi dan pengusaha nasional, perusahaan ini akan menguasai 426.07 ha di titik pusat kawasan TNK.

Izin usahanya adalah penyediaan fasilitas dan sarana serta pelayanan yang diperlukan dalam kegiatan parawisata alam (IUPSWA)

Artinya, perusahaan ini diperbolehkan membangun usaha sarana wisata, sarana akomodasi, usaha transportasi, usaha sarana wisata pertualangan, dan usaha sarana olahraga minat khusus.

Namun, surat izin dan seluruh rencana privatiasi itu menuai protes masyarakat karena mengancam konservasi dan memperparah pencaplokan sumber daya publik yang sedang marak di tengah pertumbuhan pariwisata di Mabar.

Selain itu, ada juga penolakan dari sejumlah pejabat senior di TNK sendiri. Pasalnya, privatisasi Pulau Padar akan mengancam keberlangsungan hidup komodo.

Perlu diketahui, spesies komodo di pulau itu masih dalam tahap pemulihan. Komodo di pulau itu pernah punah karena aktivitas manusia yakni berburu rusa. Namun kabar menggembirakan terjadi pada tahun 2000-an, ketika komodo ditemukan lagi.

Karena dalam proses pemulihan jumlah spesies, diperlukan suatu lingkungan yang masih lebih alami, tanpa diganggu oleh aktivitas manusia, apalagi segala bentuk kegiatan bisnis yang siap dijalani oleh KWE. Sebagai taman nasional, konservasi seharusnya menjadi prioritas, dan bukan bisnis pariwisata.

Jadi tujuan konservasi yang digembar-gemborkan melalui swastanisasi pengelolahan Pulau Padar oleh KWE bukan hanya salah sasaran tetapi mencerminkan suatu konspirasi dan manipulasi. Sebab, bukan konservasi lagi yang terlihat, tetapi mengancam keberlangsungan perkembangan komodo.

Salah Sasaran

Belajar dari pola-pola privatisasi TNK di Pulau Komodo dan Pulau Rinca dengan dalih mengentaskan kemiskinan, privatisasi Pulau Padar sangat perlu dikritisi. Pasalnya, sejauh ini tidak terbukti upaya privatisasi mampu menjamin konservasi yang berkelanjutan dan meningkatkan perekonomian masyarakat lokal.

Sebaliknya, yang terlihat justru karut-marut pengelolahan, pengabaian konservasi, peminggiran masyarakat lokal secara sistematis dan kondisi kemiskinan yang semakin memburuk.

Sejak tahun 2005, pengelolahan TNK diserahkan kepada PT Putri Naga Komodo (PNK), yang pemegang sahamnya PT. Jaytasha Putrindo Utama dan Lembaga Swasta Bisnis  Konservasi di Amerika Serikat, The Nature Conservancy (TNC) dalam kontrak kerja  selama 25 tahun.

Namun, pada 2012 PNK menghilang dari Mabar tanpa berita resmi dan pertanggungjawaban publik.

Privatisasi juga tidak terbukti membawa efek positif bagi masyarakat setempat. Sampai tahun 2012, terdapat 24 perusahaan investasi di Mabar. Rinciannya, penanaman Modal Asing sebanyak 18 perusahaan dengan nilai investasi Rp 340,2 miliar, sedangkan Penanaman Modal Dalam Negeri sebanyak 6 perusahaan dengan nilai investasi sebesar Rp 22,5 miliar.

Jumlah itu kemungkinan terus bertambah selama tiga tahun terakhir, terutama setelah Sail Komodo pada 2013.

Maraknya bisnis parawisata tersebut tidak terbukti mengentaskan kemiskinan. Sementara korporasi menguasai lahan dan mengeruk untung dari bisnis parawisata, masyarakat Mabar ramai-ramai menjual tanah, angka pengangguran masih tinggi dan problem buruh migran makin pelik.

Mirisnya lagi, tidak hanya masih miskin, masyarakat seputar TNK disingkirkan secara sistematis melalui aturan zonasi. Ketentuan pada zona Perlindungan Bahari (daerah dari garis pantai sampai 500 m ke arah luar dari garis isodepth 20 m sekeliling batas karang dan pulau), misalnya, dilarang melakukan kegiatan pengambilan hasil laut, kecuali kegiatan wisata alam terbatas.

Anehnya, ternyata di sini lokasi bagi bisnis parawisata seperti trekking, wisata pantai, diving, dan snorkeling. Sementara kapal nelayan tidak boleh beroperasi di wilayah ini, kapal-kapal wisata berseliweran di kawasan ini. Nelayan tidak boleh mengambil ikan di situ, namun perusahaan-perusahaan diving dan snorkeling dapat dengan leluasa melakukan aktivitas di daerah itu.

Bahkan, masyarakat lokal seringkali dituding merusak dan mengancam ekosistem komodo.

Dari pertimbangan-pertimbangan itu, tak heran jika elemen masyarakat sipil, LSM, tokoh adat, tokoh agama, aktivis, dan komunitas seni di NTT menolak dan mengecam upaya privatisasi dan pencaplokan sumber daya publik di Mabar selama ini.

Lantas, mengapa kontroversi-kontrovesi tersebut luput dari perhatian Kompas? Bukankah kalau diprivatisasi, Pulau Padar akan mengalami nasib serupa?

Kompas dan Yayasan Komodo Kita (YKK)

Di tengah kerumitan persoalan itu dan menanggapi respons masyarakat untuk penataan konservasi dan partisipasi masyarakat lokal di TNK, di mana posisi dan ke mana arah Kompas?

Menurut penulis buku Kuasa, Pembangunan dan Pemiskinan Sistemik (2013), Cypri Jehan Paju Dale, berhadapan dengan realitas pencaplokan sumber daya (resources grabbing) dan marginalisasi masyarakat setempat, banyak media arus-utama tidak saja kehilangan sikap kritis, tetapi turut serta memberi kekuatan legitimasi dengan cara membelokkan perhatian publik dari persoalan substansial seperti keadilan sosial dan menggiring opini publik untuk menerima begitu saja realitas pencaplokan sumber daya atas nama pembangunan.

“Itu yang disebut kuasa diskursif, yaitu kuasa hegemonik yang bekerja lewat wacana yang meredam sikap kritis dan perlawanan masyarakat dan dan menciptakan sikap tunduk-patuh pada kehendak penguasa,” katanya.

Tetapi keterlibatan Kompas di komodo barangkali lebih dari itu. Lewat Yayasan Komodo Kita (YKK), Wakil Pemimpin Umum Kompas, Richard Bagun, terlibat bersama sekelompok pebisnis dan politisi yang aktif beraktivitas di komodo dan Labuan Bajo sejak 2012 lalu.

Bersama Richard Bagun, duduk sebagai dewan pembina di yayasan tersebut antara lain Yusuf Kalla, Arifin Panigoro, Peter Sondakh. Sedangkan di dewan Pengawas, ada nama Sofyan Wanandi, Sulistiyanto, Suryadi Sasmita, Budiarto Tanojohardjo dan Don Bosco Salamun (Pemred BeritaSatuTV).

Menariknya, sebagian nama-nama itu adalah penguasa properti dan investor di bidang tambang, sawit dan pariwisata. Salah satunya, Sofyan Wanandi yang memiliki hotel Luwansa di Labuan Bajo.

Visi dan misinya adalah mendorong turisme dan  mengurangi kemiskinan di NTT, terutama Mabar. Sejak 2012, yayasan ini terlibat dalam promosi komodo sebagai salah satu Keajaiban Dunia yang berpuncak pada Sail Komodo di tahun 2013 yang menelan APBN sebesar 3,7 triliyun.

Kini, bersamaan dengan gencarnya privatisasi pulau-pulau dan pesisir, termasuk privatisasi Pulau Padar, aktivitas yayasan ini pudar. Kantornya lenyap dari Labuan Bajo. Janji konservasi dan pengentasan kemiskinan tinggal cerita di tengah maraknya investasi.

Di tengah realitas pencaplokan sumber daya dan pencaplokan proses dan manfaat pembangunan pariwisata seperti itu, berbagai elemen masyarakat lokal melakukan perlawanan dan mendorong perubahan kebijakan. Bersama penolakan privatiasasi Pulau Padar, masyarakat bergerak untuk mempertahankan Pantai Pede yang kuasa pengelolaannya jatuh ke tangah PT Sarana Investama Manggabar, milik Setya Novanto, Ketua DPR RI.

Masyarakat setempat menyebut gerakan itu sebagai perlawanan terhadap konspirasi elit politik dan elit ekonomi, yaitu penguasa-pengusaha dari jaringan yang sama yang bersatu untuk menguasai proses dan manfaat konservasi dan pariwisata di Mabar demi kepentingan ekspansi kapital (Max Regus dan Cypri Dale, 2015).

Apakah Kompas, dengan caranya sendiri, sedang mengarah ke keperpihakan dan keterlibatan pada konspirasi seperti itu?

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga