Oleh: INOSENTIUS MANSUR

Salah satu keputusan penting dari Sinode III Keuskupan Ruteng adalah menolak privatisasi Pantai Pede, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Terhadap sikap yang tegas ini, ada banyak pertanyaan dialamatkan kepada Gereja Keuskupan Ruteng. Saya sendiri seringikali menerima SMS, cibiran dan pertanyaan-pertanyaan yang mempertanyakan sikap Gereja berkaitan dengan hal ini.

Resume dari  SMS, cibiran dan pertanyaan itu adalah mengapa Gereja Keuskupan Ruteng begitu sibuk mencampuri urusan yang bukan domainnya? Mengapa Gereja tidak mendukung saja kebijakan pemerintah Provinsi NTT untuk menyerahkan pengelolaan Pantai Pede kepada kaum bermodal?

Ya, ternyata ada banyak orang yang mempertanyakan motivasi Gereja Keuskupan Ruteng dalam penolakan privatisasi itu. Mereka tidak sepaham dengan salah satu poin penting dari Sinode III Keuskupan Ruteng tersebut.

Saya tidak sedang memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Yang saya tuangkan dalam tulisan ini sebuah tawaran jawaban yang mudah-mudahan bisa mempertajam diskursus tentang sikap Gereja Keuskupan Ruteng terkait persoalan Pantai Pede.

Tesis dasar saya dalam tulisan ini adalah, menolak privatisasi Pantai Pede adalah imperatif kategoris (perintah mutlak) bagi Gereja. Ada dua argumentasi.

Pertama, apa yang dilakukan oleh Gereja Keuskupan Ruteng selama ini antara lain menolak kehadiran industri tambang dan yang paling anyar adalah menolak privatisasi Pantai Pede merupakan cara mengambil bagian dalam tugas Yesus sendiri. Dalam banyak hal, Yesus sendiri seringkali melontarkan kritikan terhadap berbagai deviasi dalam ruang sosial Yahudi-Palestina.

Dia tidak takut berkonfrontasi dengan orang-orang yang merasa memiliki pengaruh, tetapi justru menjadi aktor antagonis dalam masyarakat. Yesus malah lebih massif mengkritik setiap demoralisasi agama dan ketimpangan sosial yang disebabkan oleh para pemimpin politik dan agama Yahudi. Demi membela kebenaran, Ia tidak takut kehilangan popularitas dan nyawa.

Alhasil, Yesus didiskreditkan secara sosial dan terancam kehilangan nyawa. Tetapi Yesus tidak takut! Ia terus berkiprah di tengah ruang sosial masyarakat Yahudi dan secara perlahan menjalankan politik “bela rasa” yang berujung pada praksis liberatif.

Mengacu kepada sikap Yesus ini, saya memastikan bahwa keterlibatan Gereja Keuskupan Ruteng dalam gerakan sosial terutama menolak privatisasi Pantai Pede merupakan keberlanjutan dari apa yang telah dilakukan Yesus.

Gereja Keuskupan Ruteng merupakan unsur makro dalam ruang sosial masyarakat NTT terutama lagi masyarakat Mabar. Gereja Keuskupan Ruteng, terlalu besar untuk tidak terlibat dalam gerakan menolak segala bentuk marginalisasi terhadap rakyat.

Konsili Vatikan dalam Gaudium Et Spes, dengan tegas mengatakan bahwa: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga”.

Seruan konsili suci ini, lahir dari keprihatinan atas berbagai bentuk degradasi publik yang diakibatkan oleh banyak faktor dan salah satunya adalah kebijakan pemerintah yang kontra-publik. Seruan ini juga merupakan bentuk harapan yang bersifat antisipatif agar Gereja tidak boleh membiarkan rakyat didepak dari medan eksistensi mereka.

Gereja tidak bisa netral, melainkan harus membela orang-orang yang terpinggirkan dari pembangunan. Gereja memang tidak memiliki solusi teknis, tetapi Gereja memiliki tanggung jawab moral untuk menentang segala bentuk penindasan dan manipulasi. Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium menginginkan Gereja sebagai sebuah rumah bersama, Gereja yang “bergerak keluar”,  yang “pintu-pintunya terbuka” (Bdk. EG No. 46).

Pesan Paus ini, terasa kontekstual untuk zaman yang kian modern ini. Gaya berpastoral Gereja, tidak lagi berpusat apalagi berhenti di altar saja, melainkan harus masuk ke dalam ranah sosial, dalam semua lini kehidupan. Gereja dengan pintu-pintu terbuka adalah Gereja yang membuka pintu hati dan membuka mata terhadap berbagai problem publik dan tidak boleh diam melihat derita sosial.

Merujuk pada penjelasan ini, perhatian Gereja Keuskupan Ruteng yang termanifestasi dalam sikap menolak privatisasi Pantai Pede adalah bentuk tanggung jawab sosial. Gereja Keuskupan Ruteng, tidak mungkin berpangku tangan menyaksikan pencaplokan ruang publik oleh penguasa dan pengusaha.

Gereja Keuskupan Ruteng, tidak boleh netral, membiarkan Pantai Pede dikuasai oleh orang-orang bermodal lantas mengeliminasi rakyat lokal dari medan eksitensi mereka yang tak bisa dipisahkan dari Pantai Pede.

Gereja Keuskupan Ruteng menolak hasrat pragmatis dan tindakan semena-mena dari para pemodal yang bersekongkol dengan para penguasa lokal NTT untuk mengambil alih Pantai Pede dan mengusir rakyat lokal dari pantai itu.

Kedua, kebijakan privatisasi Pantai Pede bertolak belakang dengan konsep pembangunan yang menjadikan rakyat sebagai subjek pembangunan. Memang benar bahwa demi peningkatan pendapatan Provinsi, maka segala aset Provinsi termasuk dalam bidang pariwisata seperti Pantai Pede harus dikelola secara baik lewat berbagai cara. Salah satunya adalah menyerahkan pengelolaannya kepada investor. Tentu saja basis argumentasi yang digunakan adalah demi kesejahteraan rakyat.

Tetapi, menurut saya, keputusan seperti ini belum tentu menguntungkan rakyat. Kita tidak bisa menjamin bahwa investor akan memperhatikan kesejahteraan rakyat. Toh sekarang sudah mulai terbukti, kehadiran investor malah mempersempit ruang gerak rakyat serta menyulitkan mereka untuk menjadikan Pantai Pede sebagai tempat mengaktualisasi diri sebagai manusia rekreatif.

Selain itu, rencana dan keputusan berkaitan dengan pengelolaan Pantai Pede hanya melibatkan golongan elite dan (tentu saja) mengartikulasikan kehendak elite pula. Ini menarik, karena kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan rakyat justru mengabaikan harapan rakyat.

Pemimpin NTT yang dulu dipilih rakyat kini menjadi oposisi dari rakyat. Ia melawan rakyatnya sendiri. Di sini, demokrasi berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk pemimpin.

Jangan heran jika ada kecurigaan bahwa keputusan itu menguntungkan “orang-orang besar”. Jangan-jangan, golongan elite sudah mendapat “angpao” dari kebijakan itu, sehingga Pemprov NTT ngotot mempertahankannya dan tidak mau mendengarkan protes publik. Alih-alih mengeluarkan kebijakan demi peningkatan kesejahteraan rakyat, Pemprov NTT justru berpihak kepada pemilik modal.

Kecurigaan ini memang tidak selamanya benar. Tetapi kenyataannya adalah Pemprov NTT telah menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understandng, MoU) dengan investor. Tidak main-main, MoU berlangsung selaman 25 tahun. Dengan alasan bahwa pantai itu merupakan milik Pemprov NTT, Pemprov NTT pun seakan-akan memiliki hak mutlak dan kebebasan penuh untuk menyerahkan kepada siapa pantai itu dikelola, tanpa memperhitungkan konteks sosial.

Pemprov lupa bahwa masyarakat yang berada di sekitar Pantai itu membutuhkan Pantai Pede untuk mengafirmasi diri mereka sebagai makhluk yang membutuhkan ruang publik untuk melepas penat untuk melepas kejenuhan. Apalah gunanya pembangunan jika ditolak oleh rakyat?

Jika rakyat tetap menolak dan Pemprov NTT tetap ngotot, maka bukan tidak mungkin hal itu akan melahirkan distorsi sosial yang mengarah kepada anarkisme.

Kedua hal ini, menurut saya sudah cukup menjadi alasan bagi Gereja Keuskupan Ruteng untuk menolak privatisasi Pantai Pede. Gereja sama sekali tidak memiliki kepentingan lain, selain hanya memperhitungkan kepentingan rakyat. Sebab bagi Gereja, pembangunan itu harus membahagiakan dan mensejahterakan seluruh umat Allah.

Jika rakyat tidak merasa bahagia karena pantai kebanggaan mereka dirampas, maka Gereja harus membela mereka. Jika rakyat terancam tidak sejahtera karena disingkirkan oleh para pemodal “asing”, maka Gereja wajib berdiri pada posisi mereka.

Gereja tidak membenci pembangunan, pun tidak membenci para pemodal apalagi pemerintah. Gereja pasti mendukung semua upaya yang bertujuan mensejahterarakan rakyat.

Tetapi, yang diinginkan Gereja (dalam hal ini Gereja Keuskupan Ruteng) adalah kehadiran mereka (investor) mesti mendukung eksistensi dan ekspresi diri rakyat lokal. Gereja mendukung upaya liberalisasi rakyat melalui pendekatan pembangunan yang mengedepankan aspek humanis dan bukan sebaliknya.

Gereja pantas berkeberatan dan menolak setiap bentuk elitisasi ruang publik, termasuk Pantai Pede, sebab Gereja tahu, pada akhirnya rakyat yang juga adalah umat Allah akan pelan-pelan tergusur.

Penulis adalah imam Keuskupan Ruteng dan Dosen di STIPAS St. Sirilus Ruteng