Misi Seminari Kisol dan Dunia Komunikasi

Oleh: DON BOSCO SELAMUN

Rasanya tak ada jawaban jitu untuk merespons  topik  ini. Karena itu saya berpijak saja pada pengalaman dan pengamatan pribadi selama enam setengah tahun (1973-1979) belajar di Seminari Pius XII Kisol.  Selanjutnya, mungkin, bisa dilihat tali-temalinya dengan level pencapaian profesional saya – atau para alumni Sanpio lainnya – sebagai jurnalis saat ini.

Pengalaman dan pengamatan ini tentu sangat terbatas. Bisa jadi juga bias. Hanya serpihan-serpihan kecil yang tercecer. Tulisan kolega alumni, yang juga bergelut di media, pasti  memperkaya perspektif untuk memahami mengapa, mungkin tanpa kita duga-duga sebelumnya, Sanpio ternyata mampu melahirkan banyak jurnalis. Tulisan-tulisan itu mungkin bisa menambah jumlah potongan kebenaran dan fakta yang, walau tercecer, kalau simpul tali-temalinya dirangkai, kita mungkin sampai pada satu atau lebih kesimpulan menuju topik ini.

Kisol, walaupun belum ada data yang sangat valid, memang telah melahirkan banyak wartawan, penulis, produser televisi, radio, media online, dan berbagai jenis media baru lainnya. Mereka tersebar di berbagai media dengan tiras dan jangkauan siaran nasional maupun lokal. Sebagian bekerja di media-media konvensional, media mainstream; sebagian lagi di media-media baru (new media).  Belakangan ini, mereka bekerja pada berbagai jenis media itu sekaligus. Di era digital seperti saat ini berbagai jenis media memang kian dan harus konvergen.

Level professional para alumni di media itu  juga beragam. Mulai dari wartawan pemula hingga senior;  dari redaktur muda,sampai redaktur senior. Untuk media elektronik ,  mereka menduduki sejumlah posisi. Dari produser muda hingga produser senior. Dan seterusnya. Tidak kalah menarik, sebagian di antaranya berada pada level kepemimpinan media di tingkat menengah hingga level tertinggi sekelas Pemimpin Redaksi/Editor in Chief; Wakil Pemimpin Redaksi. Bahkan menduduki posisi managerial seperti Pemimpin Umum/Wakil Pemimpin Umum  dan atau Direktur Pemberitaan pada media-media nasional terkemuka. Sebutlah sekelas Harian Kompas, Media Indonesia, Suara Pembaruan. Atau untuk televisi sekelas SCTV, Metro TV dan atau Berita Satu News Channel. Untuk media online, sekelas Viva Group, merdeka.com, dan beberapa media online besar lainnya.

Pertanyaannya, mengapa Sanpio bisa melahirkan banyak jurnalis? Ini bukan pertanyaan istimewa.  Paralel saja dengan, misalnya,  mengapa Sanpio bisa menelorkan guru, dosen dan cendekiawan yang mumpuni?  Mengapa Seminari ini mencetak para imam, teolog dan biarawan handal? Mengapa dia bisa menghasilkan sejumlah pemimpin awam dan politisi yang berpengaruh pada berbagai level?  Dan seterusnya dan seterusnya. Ini sekadar stimulan untuk memperkaya refleksi kita menapaki 60 Tahun usia almamater tercinta.

Paradoks Disiplin

Kisol yang saya alami di tahun 70-an (1973-1979), adalah sebuah tempat persemaian yang mengembangkan dua sisi kehidupan—baca proses belajar mengajar– yang paradoks.  Paradoks ini eksis berdampingan. Di satu sisi, ada disiplin fisik yang ketat. Harus diikuti.  Mulai dari jam 00:00 hingga  jarum jam kembali ke angka 00:00 lagi. Sementara di sisi yang lain, ini paradoksnya, tumbuh subur suasana kebebasan berpikir.  Di dalam maupun di luar ruang-ruang kelas.

Dalam soal disiplin, ya apa-apa semua diatur. Semua di bawah perintah dering lonceng. Semua berada di bawah komando jadwal yang sudah disusun. Mulai bangun tidur, cuci muka, mandi, berdoa, belajar, masuk kelas, olahraga, kerja, makan, rekreasi, silentium, jam pesiar,  sampai kembali ke tempat tidur, dan bangun tidur keesokannya.  Sebuah siklus rutin yang membosankan. Saking rutinnya, maka ketika sesekali berada di luar alur dispilin itu menjadi terasa ganjil, aneh, dan– kadang-kadang—kok terasa kok “liar” juga.

Sisi lain, seperti sudah saya nyatakan sebelumnya, Sanpio membuka ruang kebebasan berpikir, berwacana dan berkreasi nyaris tanpa batas. Yang ini, sky is the limit. Tentu saja tingkat kebebasan berpikir itu tidak terlepas dari tingkat usia, tingkat kelas, maupun tahapan pendidikan yang sedang ditempuh. Kesadaran saya tentang hal ini, mungkin sebagian di antara rekan alumni juga, memang datang belakangan, jauh setelah meninggalkan lembah Kisol, 36 tahun yang lalu.

Kemampuan untuk mengkomunikasikan pendapat, gagasan dan wacana, sering menjadi outlet dari hasil belajar sore hingga malam. Diskusi berlangsung di ruang-ruang kelas sebelum jam belajar dimulai. Hasil-hasil studi sering didiskusikan di antara sesama siswa terjalin dimana saja dan kapan saja sejauh tidak melanggar jam silentium. Bahkan kadang-kadang menjadi diskusi ringan dan menarik ketika jalan-jalan di  Watu Nggong maupun ke Wae Pake di hari Minggu siang. Pelajaran yang disajikan di kelas ketika pagi hingga siang hari, juga menjadi bahan diskusi, debat dan  bahkan pertengkaran sengit untuk beberapa siswa tertentu.

Sepengalaman saya, pada kurun belajar di Sanpio, para siswa tidak dilatih keterampilan khusus untuk menyampaikan pandangan dan pendapat secara efektif.  Tidak ada pelatihan public speaking.  Apalagi pelatihan khusus teknik menulis, entah menulis artikel opini, apa lagi teknik menulis berita. Tentu tidak lantas  berarti kita mengabaikan peran majalah dinding seperti TUNAS untuk SMP dan PUSPITA untuk SMA. Keduanya sangat sederhana, tetapi untuk  saat itu, keduanya menjadi medium yang ikut melatih dan merangsang para siswa menuangkan gagasan dalam bentuk  tulisan artikel. Bahan bakunya, pada umumnya merupakan bahan-bahan hasil bacaan di perpustakaan, pendalaman bacaan pelajaran di kelas, dan sumber-sumber lainnya.  Minat saya justru tumbuh lebih subur karena saya pernah memimpin kedua majalah dinding ini. Minat saya juga tumbuh karena, seperti sudah saya ungkap dalam tulisan 50 Tahun Seminari Kisol, pernah dipercaya untuk menyarikan berita-berita radio BBC maupun Radio Australia, untuk kemudian disajikan pada papan berita setiap minggunya. Saya beruntung, karena Pater Leo Perik, mempercayakan tugas itu kepada saya, setelah menjadi setengah invalid,  otot lutut saya sobek dalam sebuah latihan sepakbola ketika kelas IV, tahun 1976. Tugas kecil yang kemudian mengubah jalan hidup saya menjadi wartawan hingga mencapai level saat ini.

Tidak semua siswa seberuntung saya. Tetapi setiap orang, rupanya secara alamiah menemukan jalannya untuk menyampaikan pendapat,  mengungkapkan pandangan dan gagasan sehingga bisa ditangkap, diketahui, dan dipahami partner bicara, teman diskusi. Jangan heran, mereka yang semula agak gagap dan gugup, pemalu, dan hanya menguasai sedikit perbendaharaan kata-kata, tidaklah terlalu buruk dalam mengkomunikasikan pendapat dan perasaan di depan sekelompok teman dan pada akhirnya di depan banyak audiens. Apalagi, kelompok yang kita temui ya itu-itu saja setiap hari. Singkat kata, kemampuan berkomunikasi itu, bagi sebagian besar  siswa Sanpio, hanya soal waktu.

Substansinya Kebebasan Berpikir

Lantas bagaimana bisa kemudian banyak yang piawai menulis? Banyak yang bilang seorang yang pandai menyampaikan pikiran secara lisan, belum tentu sama pandainya mengekspresikan pikiran dan perasaan melalui tulisan. Begitu pula sebaliknya. Pintar ngomong tapi tidak fasih menulis. Atau sebaliknya, fasih menulis tapi tidak pintar bicara. Tetapi banyak juga orang yang mampu berkomunikasi secara lisan sama baiknya dengan berkomunikasi melalui tulisan. Proses belajar mengajar yang berlangsung di Kisol, menurut saya, pada umumnya  mampu menjembatani keduanya. Paling tidak proses itu meletakkan dasar untuk (sangat?) meminati dunia tulis-menulis, dan pada akhirnya meminati dunia jurnalistik. Paling tidak  sebagai soft skill, di luar keharusan untuk menguasai core competency yang dipersyaratkan sebagai calon imam pada level seminari menengah, tentunya.

Untuk saya pribadi, kekuatan proses belajar-mengajar yang terjadi di Seminari Kisol sesungguhnya terletak pada cara belajar siswa aktif (CBSA). Jauh hari kemudian saya pelajari soal CBSA ini ketika setahun studi di IKIP Malang sambil menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di Universitas Brawijaya. CBSA sangat populer pada paruh kedua dekade 80-an. Proses pembelajaran ini mengandaikan siswa bukan lagi sekadar obyek pasif yang bisa diisi (dicekoki) beragam ilmu oleh guru. Proses belajar mengajarnya dibalik: siswa menjadi centrum. Dan karenanya harus lebih aktif.  Guru menjadi fasilitator.  Dengan begitu, siswa ikut aktif berpikir, ikut bertanya, ikut menggali, ikut menemukan, ikut mempersoalkan, dan ikut mendiskusikan banyak hal. Ekstrimnya, membuang jauh-jauh model hafalan yang menjadikan siswa seperti mesin, dan guru tidak lagi menjadi pemilik dan pemonopoli ilmu pengetahuan.

Muara dari model pembelajaran semacam ini adalah siswa tidak hanya sampai pada kemampuan kognitif (pengetahuan) tertentu, tetapi juga ke tingkat kemampuan motorik  (ketrampilan) dan tingkat afektif (sikap) tertentu.

Benarkah? Baik juga untuk menengok selintas metode beberapa guru utama di Seminari Kisol mengajar pada periode 70-an itu. Tanpa mengabaikan beberapa nama yang tidak disebutkan di sini, rata-rata siswa seangkatan saya akan menunjuk beberapa guru ini selalu dikenang; betapapun mereka sudah jauh rentang waktunya meninggalkan lembah Kisol.  Beberapa guru terbaik di era 70-an pantas disebutkan di sini. Tiga guru sering disebut yaitu  Daniel Diwa, Pater Leo Perik SVD dan Pater Frans Mido SVD.  Ada juga Pater Eduardus Sangsun,  SVD, Pater Cherubim Pareira, SVD (keduanya sudah menjadi Uskup), Petrus Tembok, Willem Berybe, Yosep Mamik, dan lain-lain.

Karena keterbatasan ruang, saya ingin menyajikan catatan sangat ringkas untuk salah satu guru terbaik di Kisol: Daniel Diwa. Pak Dan, begitu biasanya dia disapa,  hanyalah seorang guru sejarah. Tapi rupanya, dia seorang guru sejarah jempolan. Mata pelajaran yang sangat membosankan itu menjadi hidup di tangan Pak Dan.

Mengapa? Tidak ada hafalan tanggal dan tahun peristiwa sejarah. Nama-nama tokoh sejarah cukup penting tetapi justru menjadi tokoh yang seolah-olah hidup ketika diberi konteks peran dan pengaruhnya.  Dan ini substansinya:  pelajaran sejarah fokus pada hubungan sebab-akibat. Sekedar menyebut beberapa contoh, misalnya, apa penyebab Perang Salib. Apa akibat-akibatnya? Apa penyebab munculnya Kultuur Stelsel  (Tanam Paksa) dan apa akibat-akibatnya? Mengapa muncul Politik Etis dan apa akibat-akibatnya? Mengapa kerajaan Hindu di Indonesia berakhir?  Apa akibat-akibatnya?

Pola seperti ini jelas merangsang siswa untuk berpikir aktif, mencari, menganalisa, dan menemukan  hubungan kausalitas dan bagaimana hukum kausalitas  bekerja. Dia melatih siswa untuk memahami logika sebab-akibat. Untuk beberapa hal, tidak penting benar apakah sebab-sebab yang disebutkan siswa itu faktual sebagai peristiwa sejarah atau bukan. Begitu pula akibat-akibatnya. Yang penting logis. Dan siswa mampu menjelaskan argumennya. Benar-benar sebuah medan pengembaraan berpikir tanpa batas rasanya.

Saking bebasnya,  kadang-kadang terasa lucu juga karena Pak Dan akan meminta setiap siswa menyebutkan akibat-akibat maupun sebab-sebab tadi.  Bayangkanlah, kelas saya terdiri dari 24 siswa. Artinya  untuk bab Tanam Paksa tadi, kami harus menemukan 12 faktor penyebab dan 12 akibat. Satu jawaban setiap siswa. Menggelikan juga karena mereka yang mendapat giliran awal punya kesempatan lebih mudah, masih banyak kemungkinan pilihan atas sebab maupun akibat itu.  Yang belakangan sering ketiban sial. Jawaban yang dia persiapkan sering sudah dicaplok teman terdahulu. Bahkan ketika kita sudah menyiapkan 3-4 jawaban sekalipun bisa kehabisan juga.

Pak Dan, juga mendiskusikan (bukan mengajarkan) tali temali sebuah peristiwa sejarah di satu tempat dan pengaruhnya di belahan bumi yang lain. Politik Etis di Hindia Belanda pada abad ke 18 misalnya,  punya hubungan yang sangat kuat dengan Revolusi Prancis, abad 17 yang menuntut kebebasan (liberte), persamaan (egalite) dan persaudaraan (fraternite). Salah satu hasilnya (dalam terminologi Pak Dan: akibat)  banyak tokoh Indonesia yang kemudian belajar di Belanda, seperti Mohammad Hatta misalnya. Para pejajar inilah yang kemudian menjadi cikal bakal memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mengingat kembali penjelasan Pak Dan, saya kadang-kadang menerawang, jauh sebelum orang bicara globalisasi, Pak Dan sudah mengungkap pengaruh lintas benua Revolusi Perancis tersebut, khususnya di sebuah lembah yang bernama Kisol yang relatif terpencil ketika itu.

Caranya mendiskusikan peristiwa sejarah ini menyadarkan para siswa bahwa dari perspektif kebebasan berpikir, sebuah kejadian sejarah tidaklah steril dan bisa tidak terbatas dampaknya. Dan dengan cara-cara seperti itulah, Daniel Diwa menghidupkan pelajaran sejarah yang  kerontang itu.  Sekali lagi, tidak ada hafal-menghafal. Barangkali Daniel Diwa mafhum, kebenaran dan penafsiran sejarah itu bukan milik penulisnya semata. Juga bukan hanya milik sang pemenang, penguasa.  Bisa juga menjadi milik para anak didiknya. Itulah legacy Pask Dan: mengembangkan kebebasasn berpikir dan kebebasan berpendapat untuk anak-anak didiknya.

Pater Leo Perik SVD adalah seorang Perfec yang sangat berwibawa dan ditakuti hampir semua siswa pada masanya. Tapi pendiri Seminari Pius XII ini termasuk sangat piawai mengajar Aljabar dan Ilmu Ukur. Juga seortang pendidik jempolan. Bagi Pater Leo, hasil akhir bukanlah bagian terpenting dari kedua mata pelajaran itu. Berbeda dengan guru-guru lainnya yang memberikan nilai angka berdasarkan benar-tidaknya jawaban akhir, Pater Leo justru meneliti proses berpikir anak-anak didik melalui cara siswa mengembangkan rumusan-rumusan Aljabar dan Ilmu Ukur yang telah diajarkannya.

Penjelasan-penjelasannya juga mengandaikan proses berpikir lebih penting dari hasil akhir. Pater Leo berusaha sekuat tenaga menjelaskan sebuah rumus berkali-kali sampai para siswa memahami mengapa hasil akhirnya X atau mengapa hasil akhirnya Y.  Menuju hasil Y, di mata Pater Leo, bisa menggunakan beberapa cara.  Sepanjang siswa mampu menggunakan metodologinya, tidak mutlak lagi hasil akhir. Hasil akhir  bisa salah, bisa keliru. Yang dia lihat justru proses berpikirnya. Jika ada siswa yang belum memahami penjabaran dari sebuah rumus Aljabar, maka Pater Leo akan menundanya untuk didalami lagi pada jadwal berikutnya. Mungkin itu sebabnya mengapa nilai-nilai pelajaran Pater Leo Perik bukan pada ekstrim atau 10 atau 0 sebagaimana lazimnya nilai untuk mata pelajaran Ilmu Eksakta.  Di dalam sebuah nomor soal Pater Leo bisa memberi nilai 10, 7, 5 dan seterusnya.

Dan hal yang tidak kalah menarik, Pater Leo termasuk pendidik yang murah menghadiahi siswa yang, mungkin tidak cerdas numerik, tetapi tekun berusaha memahami.

Apa poin penting dari cara Pater Leo mengajar? Pesan utamanya matematika bukan tujuan tetapi sebuah alat melatih berpikir runtut dan logis berbasis angka. Membandingkannya dengan Pak Dan mungkin begini. Pak Dan mengajarkan logika sebab-akibat melalui pelajaran sejarah, Pater Leo menghubungkan sebab-akibat melalui logika angka, logika matematis.

Pater Frans Mido memberi warna lain yang tidak kalah kuatnya membentuk kebebasan berpikir. Salah satu mata pelajaran yang paling menarik dari Pater Frans Mido adalah polemik tentang Angkatan-angkatan dalam sejarah Sastra Indonesia. Saya ingat benar betapa mengasyikannya membaaca diktat mata pelajaran Kesusasteraan yang dia tulis. Benarkah ada Angkatan 66? Kalau Benar apa ciri-cirinya? Dan apa yang membedakannya dari angkatan Pujangga Baru, Angkatan 45 dst? Penyajiannya yang menarik mengantar para siswa untuk tidak menerima begitu saja kebenaran sejarah sastra. Semua terbuka untuk diperdebatkan. Muaranya, kembali kepada kebebasan berpikir tadi.

Pater Frans Mido menjadi salah satu bagian penting karena mengajar mata pelajaran bahasa Indonesia yang buku ajarnya, tidak tanggung-tanggung ketika itu, KOMPOSISI, karya DR Gorrys Keraf. Mungkin inilah satu-satunya buku pelajaran Bahasa Indonesia yang secara langsung mengajarkan apa itu logika bahasa, silogisme, koherensi berpikir, struktur dan komposisi sebuah tulisan, dan lain-lainnya.

Tiga serangkai yang saya sebutkan tadi hanyalah human sample untuk menjelaskan kualitas pengabdian para pendidik di Sanpio. Bagi saya, semua tenaga pendidik, entah imam, biarawan maupun awam, dengan caranya masing-masing telah memberikan sumbangsih besar untuk memberi bekal awal merangsang para siswa sejak usia muda untuk tidak pernah berhenti berpikir dan tidak pernah berhenti bertanya. Dan,  pertanyaan,  seperti halnya sikap skeptis, merupakan awal dari pencarian kebenaran.

Mereka yang kini bekerja sebagai profesional di media manapun, sadar benar makna bekal awal itu.

Krisis Guru

Kisol di tahun 1970-an adalah Seminari dengan krisis jumlah tenaga pendidik. Sebagai Ketua OSIS kedua di SMA Seminari Kisol, tahun 1978/1979 (Ketua OSIS SMA pertama adalah Sdr Herman Sui), saya ikut merasakan pergolakan kekurangan guru ini. Di awal tahun 1979, sejumlah guru awam, di antaranya Martinus Ora dan Markus Durbin,  nyaris mogok mengajar karena masalah kesejahteraan. Beruntung, gejolak itu bisa diselesaikan.   Sebagai Ketua OSIS saya mendiskusikan soal ini ke Pater Edu Sangsun  yang ketika itu menjadi Perfek SMA.  Juga menghadap Pater Frans Mido yang ketika itu menjadi Direktur.   Krisis ini sebetulnya menjadi salah satu puncak dari kekurangan guru yang sudah laten sebelumnya.

Kekurangan guru itu antara lain berakibat banyaknya jam kosong tanpa guru. Jadwal harian yang semestinya diisi 6 mata pelajaran, hanya bisa diisi 3-4 mata pelajaran.

Begitu kurangnya tenaga guru di Kisol sampai-sampai seorang kolega eks seminari Mataloko yang baru tamat SMA direkrut sebagai salah satu tenaga pengajar pada tahun 1979.  Tahun 1976, Kisol merekrut seorang tamatan SMA dari Kupang untuk mengajar ilmu Kimia. Hanya masuk kelas sehari, lalu pergi.

Saya pun termasuk salah seorang yang ditawari oleh Pater Edu Sangsun untuk menjadi pengajar. Bedanya, saya ditawari beasiswa untuk kuliah asal mau kembali mengajar di Kisol. Saya boleh pilih belajar di Malang atau Yogyakarta. Mau belajar bahasa Ingris atau lainnya, terserah. Sayangnya, saya merasa tidak terpanggil untuk menjadi guru. Penolakan yang dikemudian hari mengubah jalan hidup.

Tapi kekurangan guru itu justru menjadi berkat tersembunyi bagi Seminari Kisol.  Apa itu? Sangat banyak kesempatan bagi siswa untuk belajar mandiri; entah belajar kelompok maupun belajar individu. Sejumlah mata pelajaran, termasuk Antropologi Budaya, misalnya, lebih banyak belajar mandiri dibanding tatap muka di kelas. Saya ingat, bagimana teman-teman “mengolah” mata pelajaran Antropologi Budaya berdasarkan buku acuan karangan Hans Daeng. Banyak teman yang menguasai isi buku itu karena membaca sendiri. Sampai-sampai seorang frater TOP yang kemudian mengampu mata pelajaran Antropologi, agak panas-dingin menghadapi teman-teman yang kritis. Bukan karena sang Frater tidak mampu tentu, tetapi karena teman-teman sudah membaca dan memahami isi buku itu duluan.

Kekurangan guru mungkin menjadi bagian keprihatinan Kisol di masa lalu. Tetapi pada saat yang bersamaan, kekurangan guru justru membuka ruang yang luas bagi para siswa di masa itu untuk belajar aktif, aktif dan lebih aktif lagi. Sebuah kenyataan yang tampak sejalan dengan cara para guru kita tadi—sebagaimana terwakili dalam diri Pak Daniel Diwa—menciptakan lingkungan cara belajar siswa aktif.  Dan siapa tahu, kelak di kemudian hari, sangat membantu para profesional media yang mensyaratkan belajar tanpa henti, setiap detik,  untuk menjadi komunikator handal demi kepentingan umat manusia. Terima kasih Sanpio, karena telah menyediakan rahimmu untuk menyemai kebebasan berpikir sehingga saya—dan kolega profesional media lainnya yang engkau besarkan di sini—bisa sampai “di sini” “saat ini”.

Penulis adalah Pemimpin Redaksi BeritaSatu TV, alumnus Seminari Pius XII Kisol 1973-1979. Tulisan ini sudah terbit dalam buku “Kisol Kenangan dan Harapan”,  terbitan Parrhesia Institute. Buku yang terbit pada September 2015 ini dibuat dalam rangka menyambut HUT ke-60 Seminari Kisol.

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini