Hadiri HUT Sebuah Paroki di Jakarta, Azizah Maumere Jadi Ikon Pluralisme

azizah
Bintang KDI 2015 Azizah Maumere menyanyikan lagu “Yesusku” (Foto: Floresa.co)

Jakarta, Floresa.co – Bintang Kontes Dangdut Indonesia (KDI) Azizah Maumere, yang berasal dari Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) hadir dalam perayaan Hari Ulang Tahun (HUT)  ke-38 Paroki Salib Suci Cilincing, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), Minggu (30/8/2015).

Gadis Muslim itu yang dianggap sebagai ikon bagi pluralisme beragama diundang panitia untuk menceritakan pengalamannya sebagai artis yang populer dalam ajang pencarian bakat KDI 2015, berkat dukungan masyarakat Flores yang mayoritas beragama Katolik.

“Salam pluralisme! Terima kasih sudah memperkenankan saya tampil di panggung yang terhormat ini. Berdiri di sini, saya merasakan getaran kerinduan akan Indonesia yang plural tapi toleran dan damai,” kata Azizah membuka sharingnya.

Menurut Zizah, begitu ia disapa, kita semua mempunyai tanggung jawab untuk merajut perbedaan. Pengalaman pribadinya, kata dia, menunjukkan bahwa perbedaan itu sebuah keindahaan.

“Rumah saya dekat dengan sekolah-sekolah Katolik, teman-teman bermain hampir semuanya beragama Katolik. Kami makan bersama, jajan bersama, merayakan Natal dan Idul Fitri bersama. Semuanya bersama-sama,” ujarnya.

Zizah mengakui, meski dia dan keluarganya hidup di antara mayoritas umat beragama Katolik, mereka tidak pernah diajak untuk melepaskan keyakinan masing-masing.

“Justru melalui pergaulan lintas agama ini, kami termotivasi untuk semakin menjadi Muslim yang baik,” katanya yang disambut tepuk tangan meriah hadirin.

Selepas sharing, Azizah menghibur hadirin dengan menyanyikan tiga lagu, antara lain Insya Allah dari Maher Zen, Yesusku dan sebuah lagu dangdut.

Pantauan Floresa.co, beberapa umat yang hadir menitikkan air mata ketika Azizah menyanyikan lagu Yesusku.

Menurut pendampingnya, Pastor Wilrid Valiance Pr, ketika tampil di panggung spektakuler KDI, Azizah mendapat dukungan luar biasa masyarakat Flores dari berbagai suku dan agama, baik para haji, ustad, Uskup Maumere Mgr Gerulfus Cherubim Parera, para pastor, suster dan umat Katolik.

“Dia menjadi perekat umat berbeda agama di Flores. Ke depan, saya mendorong pihak manajamen Azizah untuk terus membangun karakternya sebagai artis pluralisme,” kata imam asal Keuskupan Maumere ini.

Pelihara Toleransi

Kegiatan pada Minggu kemarin, dengan tema “Guyub Rukun Membangun Masyarakat Dalam Keberagaman” merupakan salah satu dari rangkaian perayaan HUT Paroki Salib Suci, yang terletak tak jauh dari Pelabuhan Tanjung Priuk ini.

Dialog ini dikemas dalam sebuah seminar dengan pembicara dosen STF Driyarkara Pastor Frans Magnis-Suseno, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DKI Jakarta Kyai Ahmad Syafi’i Mufid, dan Kasat Intel Polres Jakarta Utara I Gede Nyeneng.

Selain umat Paroki Salib Suci, turut hadir dalam acara ini seluruh unsur pimpinan pemerintah mulai tingkat kecamatan sampai RT/RW, tokoh masyarakat dan tokoh lintas agama di Kecamatan Koja, Jakarta Utara.

Kyai Ahmad Syafi’i menyatakan, konflik antarumat beragama terjadi karena “kita lupa bahwa kita semua adalah manusia”.

Karena itu, menurutnya, ada norma tertinggi yang harus dijunjung tinggi dalam keberagaman hidup bersama yaitu kemanusiaan.

“Norma ini yang memberi ruang bagi kita untuk saling bekerja sama, saling membantu sehingga tercipta guyub rukun dalam kehidupan bersama,” tandasanya.

Sementara itu, Pastor Frans Magnis menggarisbawahi peran Pancasila sebagai dasar negara sekaligus perekat segala perbedaan di bumi nusantara.

“Sangat mengagumkan, Soekarno menjadikan Pancasila sebagai dasar negara di negara yang paling majemuk di dunia ini,” ujar Pastor Magnis.

Ini mengagumkan, katanya, karena bisa saja Soekarno menjadikan Islam sebagai dasar negara karena lebih dari 80 persen warga negaranya memeluk Islam.

“Ini berarti, Pancasila sebetulnya merupakan tekad bersama untuk saling menerima sebagai warga negara dan manusia,” ungkapnya.

Ia melanjutkan, “lebih mengagumkan lagi, dalam UUD 1945, kita tidak bisa menemukan agama apa yang menjadi mayoritas di Indonesia.”

Atas dasar itu, menurutnya, umat beragama tidak perlu melepas sesuatu dari identitas keagamaannya untuk menjadi orang Indonesia.

Terkait toleransi, Pastor Magnis mengungkapkan, Nabi Muhamad sudah memberi contoh.

“Nabi memberi izin dan perlindungan kepada Biara Katarina di Pegunungan Sinai dan memberi kesempatan kepada utusan Kristen dari Yaman untuk Misa di Mesjid yang terletak di samping rumahnya,” tuturnya.

Pastor Magnis menambahkan, dalam kehidupan bersama, yang mayoritas seharusnya melindungi yang minoritas. “Tapi, yang minoritas juga perlu menjaga perasaan mayoritas. Jangan membuat tindakan yang memprovokasi,” tandasnya.

Yang paling penting, katanya, kita perlu saling berkomunikasi dan terbuka dalam pergaulan dengan umat beragama yang lain.

Mensyukuri Toleransi

Ketua Panitia HUT Paroki Salib Suci Bastian Tembaru mengatakan seminar ini merupakan ungkapan syukur umat paroki atas kerukunan dan penerimaan umat beragama lain seluruh karya pelayanan paroki selama ini.

“Kami merasa sudah menyatu dengan mereka selama ini. Hal itulah yang patut kita syukuri,” kata Bastian.

Melalui seminar itu kata dia, kerukunan kembali dipertegas dengan harapan ke depan, semua pihak tetap membina hubungan baik seperti yang sudah terjalin selama ini.

“Harapan saya, paroki-paroki di Flores terutama yang hidup di tengah-tengah umat beragama lain tetap mempertahankan kerukunan seperti yang diceritakan Azizah tadi,” pungkas pria asal Ruteng-Manggarai ini. (Armand Suparman/ARS/ARL/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini