Belajar dari Orang Kecil

rendah hatiFloresa.co – Beberapa hari lalu, saya mulai memahami, mengapa teman saya begitu hebat dalam berdebat, ucapannya sangat bernas, bijak dan pemikirannya begitu kreatif. Dia seorang aktivis.

Dia berkata, “Kalau Anda mau pamer kehebatan, pamerlah dengan orang-orang yang selevel dengan Anda dan yang lebih dari Anda. Tapi jangan coba-coba menasehati dan bergaya dengan orang-orang kecil dan para petani.”

Ucapan itu menyadarkan saya bahwa kebijaksanaan sebetulnya bukanlah pertama-pertama hasil dari kapasitas intelektual yang mumpuni. Tetapi kebijaksanaan selalu datang dari refleksi yang mendalam berhadapan dengan tantangan dalam hidup.

Para petani dan orang-orang yang hidupnya dalam kesusahan selalu berhadapan dengan realitas kehidupan yang pahit.

Pergulatan memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup, selalu menggiring orang pada pengalaman batas, seperti kecemasan, ketakutan, kemarahan, kesedihan dan lain sebagainya.

Saya pun teringat seorang ibu rumah tangga di suatu kampung di daerah Cibal. Beberapa tahun lalu, ia bercerita, dengan penghasilan sehari hanya Rp 20.000 per hari—upah yang diperoleh suaminya yang bekerja di kebun orang, ia berusaha bagaimana uang itu sebisa mungkin dimanfaatkan untuk kepentingan sebanyak mungkin orang.

Ia harus memikirkan, dari uang itu berapa yang dialokasikan untuk membeli gula dan kopi sebab sewaktu-waktu tamu bisa datang. Ia juga membeli keperluan rumah seperti garam, bawang dan gula.

Dan, pada saat yang bersamaan harus memikirkan bagaimana anak-anak mereka harus mendapat pendidikan.

Dengan upah yang naik-turun dan harga komoditi pertanian yang tak menentu, sebagian keluarga berada dalam ketegangan antara keputusasaan dan harapan.

Dalam kondisi-kondisi demikian, kebijaksanaan bisa tumbuh. Pergulatan dalam hidup membawa mereka pada situasi untuk berpikir tentang jalan keluar, sehingga bisa tetap bertahan menjalani kehidupan.

Dan kembali kepada cerita teman tadi, suatu waktu ia pernah pernah merasa terpukul. Ia pernah bercerita dengan semangatnya kepada orang-orang di suatu kampung. Segala ilmu yang dia perolah ia tumpahkan sekenanya.

Namun ketika tiba giliran para orang kampung berbicara, ia tersentak. Rasanya apa yang dia miliki dan ketahui, belum berarti apa-apa. Belum setajam dan sedalam refleksi mereka. Ia jadi malu pada dirinya sendiri.

Pengalaman demikian juga akhirnya membenarkan adagium lama bahwa keadilan datang dari orang-orang yang terpinggirkan. Suara mereka paling gamblang mengungkapkan ketidakadilan struktur dalam kehidupan sosial-politik. Mereka paling tahu apa yang mereka butuhkan.

Karena itu, menjelang pemilukada serentak pada 9 Desember mendatang, kita memang perlu bertanya, apakah visi dan misi para calon berangkat dari pergulatan mereka yang seringkali termarginalkan ataukah hanya datang dari kaum elite yang seringkali menikmati nikmatnya pembangunan selama ini.

Di kampung-kampung dan hampir di seluruh wilayah, masih banyak orang mengeluhkan soal listrik, air, rumah sakit, pemasaran komoditi pertanian, masalah pengangguran, upah yang minim, dan infrastruktur. Namun, apakah kita siap mendengarkan “nasihat” mereka?

Kita punya orang bijak yang perlu didengar, tetapi seringkali kita lebih banyak “menasehati” mereka. Jangan blunder! (Gregorius Afioma /ARL/Floresa)

spot_img
spot_img

Artikel Terkini