Menilik Kampanye Politik

Alfred Tuname
Alfred Tuname

Oleh: ALFRED TUNAME

Tahapan kampanye Pilkada kini sudah dimulai. Visi dan misi politik masing-masing kandidat diadu untuk mendapatkan simpati pemilih (rakyat). Semua itu dirancang secara taktis dan strategis.

Masing-masing kandidat (pasangan calon kepala daerah) dan tim sukses bergerilya masuk ke jantung simpati publik.

Seperti biasa, tahapan kampanye digunakan sebagai ajang memproklamasikan diri sebagai yang terbaik, sebagai calon pemimpin daerah yang pantas.

Tentu, pemimpin yang pantas adalah pemimpin yang punya kapabilitas dan kualitas pribadi yang baik. Selain itu, juga memiliki pengalaman memimpin, berbobot dari segi intelektual, integritas, karakter dan komitmen pada perubahan.

Menakar demokrasi lokal juga dapat dilihat dari cara dan langgam kampanye politik. Bahwa, kampanye bukanlah ajang proliferasi janji, tetapi ajakan untuk bersama mengubah nasip dengan “kontrak politik”.

Kontrak tentu merupakan retorik politik yang berisi komitmen. Dengan komitmen itu, setiap penyampaian materi kampanye tidak berhenti jenjang waktu kampanye.

Kontrak politik akan membuat setiap janji politik melekat dalam memori kolektif publik. Di sinilah “batu pertama” demokrasi dialogis dimulai.

Demokrasi dialogis meminta partisipasi. Keterlibatan publik dalam setiap proses kontestasi politik merupakan cara terbaik untuk menjahit setiap perbedaan sosial.

Setiap perbedaan sosial adalah kekayaan politik yang membutuhkan jawaban demi satu tujuan, yakni kebaikan bersama.

Oleh karena itu, kampanye politik bukanlah mobilisasi masa dalam arakan dan konvoi anarkis, melainkan menghimpun publik untuk sadar politik. Kesadaran politik itu dinilai dari keberanian dalam berargumentasi dan beraspirasi, sebelum menjatuhkan pilihan kepada calon pemimpin.

Kesadaran politik pemilih seringkali berangkat dari rasionalitas politik pemilih. Rasionalitas politik merupakan benteng keadaban politik untuk meredam ketebalan sentimental politik yang banjir saat kampanye politik.

Artinya, pilihan politik tidak didasarkan pada kedekatan primordial etnik dan klan, melainkan pada segenap bangunan political will untuk perubahan.

Manifestasinya ada pada bentang jabaran visi-misi pasangan calon kepada daerah. Semua itu membutuhkan peran dialektis publik untuk mengkaji dalam akal sehat.

Tidak bisa dipungkiri, persepsi politik publik kepada sang calon pemimpin berpengaruh pada tindakan memilih. Persepsi itulah yang sering dimainkan dalam kampanye politik.

Persepsi itu diramu dalam pembentukan image  politik dan skema narasi biografis kandidat yang apik dan menarik. Hal tersebut tentu sah-sah saja, tetapi itu perlu dilandaskan pada kebenaran dan keaslian. Manipulasi bisa menjadi boomerang sang calon kepala daerah itu sendiri.

Propaganda?

Kepala daerah merupakan jabatan politik yang strategis. Kekuasaannya yang melekat dalam jabatan itu membuatnya seakan menjadi “raja kecil” di daerah.

Sayangnya, jabatan kepala daerah tidak bisa diraih dengan mengunggah status genetik atau pun titah dinasti. Kepala daerah bukanlah warisan nenek moyang, melainkan harus diperjuangkan dengan cara yang demokratis.

Pilkada merupakan kontes demokrasi politik untuk menempati posisi sebagai pemimpin politik di daerah.

Oleh karena itu, dalam tahapan kampanye politik Pilkada, para kandidat harus benar-benar dan sungguh-sungguh menyampaikan informasi tentang dirinya dan program-program strategis kepada rakyat. Semua informasi dan program yang baik akan mendapat simpati rakyat.

Tentu, rakyat tidak pernah bersimpati pada informasi-informasi negatif dan program-program irasional dan tidak aktual yang disampaikan sang kandidat dan tim sukses. Selain itu, image politik sang kandidat an sich dipertaruhkan.

Derajat kedewasaan politik sang kandidat dapat dilihat dari cara dan isi pesan kampanye yang disampaikan kepada publik. Cara menyampaikan memang penting, tetapi yang terutama (ultimum) bagi rakyat adalah isi dari setiap retorika kampanye politik.

Rakyat bukanlah segerombolan manusia flamboyan yang senang dengan kesan dalam setiap cara atau pun gesture  dalam kampanye politik. Rakyat butuh calon pemimpin yang segera dan gesit siap menanggung keluh, dan menuntaskan persoalan rakyat.

Persoalan rakyat tidak akan pernah tuntas jika politik dimulai dengan cara-cara yang negatif dalam pilkada.

Cara-cara negatif yang menyudutkan kandidat lain (black campaign) akan menimbulkan dendam politik berikut saling sikut para pendukung, dan menyulut konflik.

Artinya, satu persoalan rakyat belum tuntas, persoalan baru pun muncul. Black campaign adalah tanda keadaban politik kita masih rendah.

Kampanye politik seharusnya menjadi tanda bahwa kita sudah beradab dalam berpolitik. Dari situ kita dapat melacak jejak-jejak demokrasi yang sudah dan sedang kita bangun.

Demokrasi yang terkonsolidasi kita memang belum pernah final, tetapi setidaknya kita berjalan cepat menuju demokrasi politik yang lebih baik dan beradab.

Demokrasi yang kita amini dalam sistem politik secara tepat dan cepat menanggulangi setiap ekses dalam praktik politik. Sebab setiap ketidakbecusan dan ketidakberesan yang muncul dalam Realpolitik, selalu terkoresi oleh akal sehat publik.

Dalam hal kampanye politik, sungut-sungut demokrasi masih cukup peka untuk menangkap dan mengoreksi setiap kejanggalan dan irasionlitas dalam setiap retorika dan propaganda politik.

A propaganda campaign must begin at the optimum moment”. Itulah prinsip propaganda Yoseph Gobels, seorang ahli proganda NAZI.

Tetapi, momen Pilkada bukanlah dimaksudkan sebagai optimalisasi janji sebagaimana rutinitas politik lima tahunan.

Kampanye politik bukanlah dimaksudkan sebagai propaganda politik untuk menancapkan ilusi politik pada benak masyarakat. Kampanye politik bukan pula dimaksudkan untuk memitoskan politisi atau kandidat sebagaimana narsisme politik politisi.

Kampanye politik dimaksudkan untuk mendekatkan pribadi sang kandidat pada rakyat sekaligus memberikan pemahaman kepada rakyat tentang semua rencana pembangunan.

Kampanye pun harus dialogis-komunikatif untuk melenyapkan skema propaganda. Sang kandidat harus mendengarkan aspirasi dan kritikan, bukan melemahkan nalar politik publik.

Selebihnya, biarkan rakyat yang memilih. Rakyat adalah subyek kekuasaan, maka rakyat berhak menentukan siapa pemimpinnya.

Penulis adalah pemerhati masalah sosial politik di NTT

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.