Bijak Menguasai Lidah

Edi Danggur
Edi Danggur

Oleh: EDI DANGGUR

Di media sosial, sering kita baca ada perdebatan antara sesama pendukung bakal calon bupati (bacabup) dan bakal calon wakil bupati (bacawabup) yang akan bertarung dalam pemilihan kepala daerah (pemilukada) akhir tahun ini di Manggarai Barai (Mabar). Perdebatan bermula dari ulah partai yang memberikan dukungan kepada lebih dari satu pasangan bacabup dan bacawabup.

Masing masing pendukung memperdebatkan cabup dan cawabupnya yang mengantongi Surat Keputusan (SK) sah dari partai pendukung. Perdebatan itu sudah berakhir kemarin (24/8) ketika KPU Mabar hanya menetapkan lima pasangan calon yang akan bertarung dalam pemilukada Mabar akhir tahun ini.

Patut disayangkan bahwa perdebatan mereka selalu mengarah ke argumentum ad hominem (argumentasi yang menyerang reputasi pribadi lawan debat), sesuatu yang seharusnya dihindari dalam etika debat di ruang publik. Di sinilah menjadi penting bersikap bijak menguasai lidah kita dalam berdebat.

Dalam perbincangan sehari hari, kalau ada lawan bicara kita yang kurang berhati-hati dalam bertutur, kita selalu mengingatkannya, “mulutmu adalah harimaumu”. Mulut kita sendiri bisa jadi sumber bencana: digugat atau dilaporkan ke polisi atas tuduhan mencemarkan nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, dan sebagainya. Atau paling tidak, reputasi kita jadi turun kalau kita tidak bisa menguasai lidah kita.

Kalau berbicara di ruang publik, termasuk media sosial, kita seharusnya jadikan itu sebagai ajang promosi kualitas diri kita. Maka kata-kata harus dipoles sedemikian rupa, agar pendengar terpesona dan simpati pendengar pun tersedot dengan sendirinya. Sebaliknya, pilihan kata yang kurang tepat, apalagi yang melukai hati pendengar, justru bisa jadi bumerang.

BACA Juga: Penambangan Dalam Kawasan Hutan: Kasus di Manggarai 

Adu argumen yang berkualitas di ruang publik seyogyanya mampu membawa pencerahan, membuat para pendengar berpikir, memproduksi sesuatu dari apa yang didengarnya. Lord Byron, seorang ahli pidato, mengatakan, bagi seorang politisi, kata-kata haruslah menjadi sesuatu, bagai setetes tinta yang jatuh seperti embun, di atas sebuah pemikiran, yang menghasilkan sesuatu, yang membuat ribuan, mungkin jutaan orang berpikir (Parsons, 2004:104). Tentu saja berpikir yang produktif.

Patricia J. Parsons sendiri berpandangan bahwa ketika kita berbicara di ruang publik, kita memiliki kekuatan untuk membuat jutaan orang berpikir mengenai hal hal tertentu, dengan cara yang spesifik. Kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kita menggunakan kekuatan tersebut tanpa merusak masyarakat atau reputasi kita sendiri (Parsons, 2004:104).

Nasehat Socrates

Ada sebuah cerita yang melegenda bagaimana filsuf Socrates mengajarkan para pengikutnya bersikap bijak menguasai lidah. Diceritakan, ada seorang pemuda yang ingin belajar bagaimana berpidato yang baik. Pemuda itu datang kepada Socrates. “Saya mau belajar pidato padamu, filsuf Socrates!”, ujar pemuda itu.

“Silakan!” kata Socrates. Dengan penuh semangat, anak muda itu mulai berpidato. Berdiri tegak, dengan mimik mulut komat-kamit, suara tinggi rendah, tangan nunjuk sana nunjuk sini, memperagakan simulasi berpidato di depan umum. Sesekali terlihat si pemuda mengeluarkan kata-kata tak beraturan, yang tidak patut dalam pandangan Socrates.

Maka sesekali Socrates memberikan arahan kepada si pemuda. Tapi si pemuda kocak itu, malahan menyindir Socrates dalam latihan pidatonya itu: “Jangan mengajarkan burung terbang. Jangan pula mengajarkan ikan berenang”.

Tidak sabar, Socrates berdiri dari tempat duduknya, dan langsung menutup mulut pemuda itu dengan tangannya. Kata Socrates: “Hai, anak muda. Aku mengajarkanmu berpidato. Tapi engkau harus membayar saya dua kali lipat”

“Dua kali lipat? Enak benar kau ini e Bapa Tua Socrates! Boleh dijelaskan, mengapa saya harus bayar kau dua kali lipat”, kata si pemuda keheranan.

Dengan tenang Socrates menjawab: “Alasannya, karena saya harus mengajarimu dua ilmu sekaligus, yaitu: Pertama, ilmu menahan lidah. Kedua, ilmu untuk menggunakan lidah dengan benar”.

Menahan dan Menggunakan Lidah

Dalam cerita kebijaksanaan China Kuno, lidah dipersepsikan mempunyai keunggulan untuk menghancurkan yang keras. Diceritakan bahwa ketika mengetahui bahwa gurunya, Chang Cong, sakit keras, Lao Tzu mengunjunginya. Terlihat jelas bahwa Chang Cong mendekati akhir hidupnya.

Sambil menundukkan dagunya dengan susah payah, Chang Cong mengatakan: “Lao Tzu, sekarang, lihat dan katakanlah apakah kamu dapat melihat lidahku?”. “Ya!” “Apakah kamu melihat gigiku?” “Tidak! Tak ada gigi yang tersisa”, jawab Lao Tzu.

“Kamu tahu kenapa?” tanya Chang Cong. Kata Lao Tzu setelah berpikir sejenak: “Aku rasa, lidah tetap ada karena lunak. Gigi rontok karena mereka keras. Benar atau tidak?”

“Ya, anakku”, angguk Chang Cong. “Itulah kebijaksanaan di dunia ini. Aku tidak punya apa-apa lagi untuk diajarkan kepadamu.”

BACA Juga:Islah Tidak Menghapus Unsur Tindak Pidana

Dari pertemuan bersejarah antara guru dan murid itulah kelak Lao Tzu mengajarkan suatu kebijaksanaan: “Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang selunak air. Namun tidak ada yang mengunggulinya dalam mengalahkan yang keras. Yang lunak mengalahkan yang keras, dan yang lembut mengalahkan yang kuat. Semua orang tahu itu tapi sedikit yang mempraktekannya” (Michael C. Tang, Kisah Kisah Kebijaksanaan China Klasik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006).

Kekuatan lidah begitu perkasa! Maka lidah harus digunakan sebijak mungkin. Bisa mendatangkan kebaikan. Bisa juga mendatangkan malapetaka. Maka lidah tidak boleh disalahgunakan. Jika mengikuti nasehat Socrates, menggunakan lidah dengan bijak meliputi dua hal penting.

Pertama, kita perlu belajar menahan lidah kita jika kita ingin selalu ada dalam kebenaran. Dalam konteks tertentu, diam itu perlu, apalagi diam dalam hening. Thomas Merton dalam bukunya Contemplative Prayer mengatakan: “Jika kamu mencintai kebenaran, jadilah pencinta keheningan”.

BACA Juga: Parpol Itu Dibenci, Sekaligus Dicari

Atau, Kahlil Gibran mengatakan: “Kamu berbicara ketika kamu tidak lagi merasa tenang dengan pikiranmu, dan ketika kamu meninggalkan keheningan hatimu, kamu hidup dalam kata-kata dan suara menjadi pelarian serta pengisi waktu” (Anthony de Mello SJ, Mencari Tuhan Dalam Segala, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013).

Bicara secukupnya jauh lebih baik. Sebaliknya, bicara terlalu banyak bisa memasukkan diri ke dalam ancaman bahaya. Lao Tzu mengatakan: “Jika Anda tahu kapan saatnya merasa cukup bicara, Anda tidak akan dipermalukan. Sebaliknya jika Anda tahu kapan saatnya berhenti berbicara, Anda tidak akan terancam bahaya”. Guru agama di sekolah minggu pun mengajarkan bahwa Tuhan memberikan kita dua telinga dan satu mulut agar kita bisa mendengar dua kali lebih banyak daripada berbicara.

BACA Juga: Bupati Rotok Bukan Robot

Kedua, menggunakan lidah dengan benar. Apa yang keluar dari mulut kita mempunyai dampak yang besar. Kata-kata itu bagai anak panah yang tajam. Sekali diucapkan, sulit ditarik kembali. Maka jangan sembarang melontarkan kata kata. Apalagi kalau kata kata itu patut diperkirakan bisa melukai lawan bicara kita.

Muk Kuang dalam Messages of Hope mengatakan: “They may forget what you have said, but they will never forget how you made them feel.” Mereka mungkin lupa apa yang pernah Anda katakan, tetapi mereka tidak akan pernah lupa bagaimana Anda membuat mereka merasakannya (Muk Kuang, 2011: 28).

Tak bisa mengontrol lidah, kurang introspeksi dalam hening dan mengobral kata kata yang dapat melukai perasan orang lain, bisa menyebabkan kita terpeleset, bahkan hidup kita bisa berantakan. Maka perlu menahan lidah dan menggunakan lidah dengan benar. Demi keseimbangan tatanan dalam kehidupan bersama. Semoga!

Penulis adalah Advokat dan Dosen Fakutas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini