Floresa.co – Biasanya, keluarga Ribka Tenis, (45), makan tiga kali sehari, dengan menu utama jagung, yang diolah secara tradisional.

Namun, sejak Februari lalu, mereka hanya makan dua kali, kadang hanya sekali, berupaya untuk hemat, setelah kehabisan stok jagung, akibat gagal panen.

“Kami sempat menanam jagung pada  Januari, namun karena hujan berhenti saat jagung mulai berbunga, maka semuanya mati,” kata ibu tiga anak saat wawancara di rumahnya di Nunubena, Desa Kiufatu, Kecamatan Kualin, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kini, keluarga Ribka, hanya mengharapkan hasil upah suaminya yang bekerja sebagai buruh tani.

“Suami saya biasa dapat Rp 20.000 sehari. Kami pakai itu untuk beli jagung,” katanya.

Saat ini, harga jagung di pasar sekitar Rp 2.500 per kg, di mana jagung satu kilo biasa untuk dua kali masak.

”Namun, pada Oktober mendatang, harganya akan naik mencapai 10 ribu per kg, karena persediaan yang kian terbatas,” jelas Ribka.

Keluarga Ribka merupakan salah satu dari ribuan keluarga di pedesaan NTT yang pada tahun ini rawan pangan akibat curah hujan yang kurang, hal yang menurut para aktivis merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim.

Bersama 12 ribu keluarga lain di Kecamatan Kualin dan Kecamatan Amanuban Selatan – dua kecamatan yang mengalami gagal panen paling parah -, mereka dipastikan akan susah bertahan hidup, setidaknya selama setahun ke depan, mengingat mereka hanya mengharapkan membeli makanan di pasar, sementara pendapatan hanya dari hasil kerja jadi buruh.

“Tidak ada hasil pertanian lain di sini. Paling kami punya kopra, tetapi tidak semua keluarga juga punya. Harganya juga murah hanya Rp 3.000 per kg,” kata Alexander Kmio, Kepala Desa Tonineke, Kecamatan Kualin.

“Kami pernah menanam ubi, namun banyak yang mati karena kurang air,” katanya.

Melanda banyak tempat

NTT merupakan salah satu dari 16 provinsi di Indonesia yang mengalami kekeringan paling parah tahun ini, demikian data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Sutopo Purbo Nugroho, Kepala Humas BNPB mengatakan, sekitar seratus sebelas ribu hektar lahan pertanian di Indonesia juga mengalami kekeringan.

Di Provinsi NTT, dari 22 kabupatem hanya dua yang saat ini belum mengalami kekeringan.

Ia menjelaskan, berdasarkan analisis Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), pada bulan Juli – November 2015 kondisi iklim di wilayah Indonesia terutama yang berada di bagian selatan khatulistiwa dipengaruhi badai El Nino yang membawa angin panas..

“Kondisi ini akan memberi efek pada tingkat intensitas dan frekuensi curah hujan yang akan semakin berkurang dan bahkan kemungkinan awal musim hujan 2015/2016 di beberapa wilayah akan mengalami kemunduran,” katanya.

“Di NTT, kondisi ini, akan makin mempersulit masyarakat, terutama karena memang air yang sangat kurang,” kata Herry Naif, Direktur Wahana Linkungan Hidup Indonesia Cabang NTT (Walhi NTT), LSM yang memberi perhatian pada masalah lingkungan.

Ia menyebut, inilah akibat perubahan iklim yang membuat musim hujan makin berkurang, hal yang berbeda dengan situasi beberapa dekade silam, di mana hujan masih turun teratur antara Oktober sampai April.

“Sekarang hujan terjadi antara November sampai Maret. Itu pun tidak stabil, kadang hanya dua bulan saja hujan turun,” katanya.

Padahal, kata dia, di NTT, para petani hanya mengharapkan air hujan untuk lahan mereka.

“Degradasi kuantitas dan kualitas hutan, juga kian memperparah hal ini, sehingga daerah peresapan air sangat minim,” katanya.

Berdasarkan data Pemerintah Provinsi NTT, hingga 2013, terdapat 1.8 juta ha atau 38,20% hutan dari luas total NTT 4.7 juta hektar.

Namun, kata Hery, hutan itu kualitasnya sudah turun, di mana pohon-pohon yang menyerap air, sudah sangat berkurang, karena habis ditebang dan sebagian karena izin tambang.

Menurut data Walhi, saat ini wilayah izin tambang yang terindikasi masuk ke wilayah hutan lindung dan hutan konservasi mencapai 71.483,13 ha.

Bahkan, daerah aliran sungai pun kini sudah menjadi area tambang, di mana terdapat 72 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang terdapat di sekitar DAS Benanain, DAS terbesar dan terpanjang di Timor Barat.

Selain itu, juga di DAS Noemuke, di mana terdapat 4 wilayah IUP. “Hal seperti ini berdampak langsung pada ketersediaan air.”

Keluarga Saulus Maus, 52, warga Desa Oebelo, Kecamatan Amanuban Selatan misalnya, mengaku untuk mendapat air minum, mereka harus menimba di sumur, yang jaraknya 2 km dari rumah.

“Sebenarnya, kami di sini mau gali sumur, namun airnya susah. Tidak semua tempat ada airnya,” katanya.

Padahal, kata dia, pada tahun 90-an mereka masih bisa dengan mudah menemukan air.

Langkah keliru

Pemerintah sejauh ini, sudah melakukan sejumlah langkah antisipatif.

Pada Juli lalu, Presiden Joko Widodo mengunjungi Kupang, ibukota NTT dan membawa bantuan beras yang dibagikan ke masing-masing keluarga 5 kg, ditambah satu botol minyak goreng.

Sementara Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengunjungi Kecamatan Amanuban Selatan dan membawa bantuan beras serta mencanangkan pembangunan 1000 sumur bor.

Saat ini, pihak pemerintah Kabupaten NTT juga sudah membahas langkah untuk mengatasi masalah ini.

“Kami sudah menggelar pertemuan dengan dinas pertanian dan sejumlah instansi terkait, membahas langkah-langkah strategis. Rencananya akan dibangun embung dan waduk di seluruh NTT,” kata Anton Belle, Ketua Komisi II DPRD NTT.

Mereka, katanya, sudah mengalokasian dana 22 miliar rupiah untuk itu. “Kita fokus untuk memastikan bahwa masyarakat tidak kekurangan air,” katanya.

Namun, langkah pemerintah, dinilai kalangan aktivis tidak tepat sasaran dan keliru.

Melky Nahar, Manager Kampanye Walhi NTT mengatakan, pemerintah tidak berpikir matang dalam mencari solusi.

“Mereka mau bangun waduk dan embung, namun persoalan besarnya adalah dari mana air yang akan dialirkan ke waduk-waduk itu nanti, kalau pada saat yang sama, hutan dibabat dan jadi areal tambang,” katanya.

Membangun waduk dan embung, tanpa merawat daerah tangkapan hujan, kata dia, adalah sia-sia.

Torry Kuswardono dari Perkumpulan PIKUL, LSM pemberdayaan masyarakat yang berbasis di Kupang juga mengatakan, pemerintah seharusnya mengkaji lebih dahulu, sehingga proyek yang dilakukan, tidak hanya membuang-membuang uang.

“Mesti ada studi terkait potensi air yang ada,” katanya. “Lalu juga membaca dengan cermat situasi iklim saat ini.”

Pemberdayaan

Apa yang dialami masyarakat di NTT, memang sulit, namun, sejauh ini, sejumlah pihak, termasuk Walhi NTT sedang melakukan berbagai upaya, untuk membantu masyarakat menghadapi tantangan kekeringan.

Melky mengatakan, persoalan ini memang membutuhkan petani yang adaptif, yang bisa menyesuaikan aktivitas mereka sesuai musim.

“Ini memang sulit dan butuh kerja keras, namun, ini saja cara yang pas agar mereka tidak kelaparan terus-menerus,” katanya.

Para petani, kata dia, seharusnya dibantu untuk bisa memetahkan kapan hujan datang, sehingga mereka bisa menyiapkan lahan, sebelum hujan turun.

Mereka sudah melakukan hal demikian dengan masyarakat di Besipae, Kecamatan Amanuban Selatan.

Walhi yang mendampingi masyarakat dengan dukungan dari Global Environment Facility (GEF), membantu mengorganisir masyarakat selama proses persiapan lahan hingga panen, yang membuat mereka terhindar dari gagal panen tahun ini.

“Hal lain, yang kami kerjakan adalah berupaya melakukan diversifikasi tanaman,” katanya. “Ini yang membuat mereka tidak hanya fokus pada jagung, tetapi juga pada jenis pangan lain.”

Imanuel Tampani, kordinator masyarakat adat Besipae mengatakan, mereka kini tahu apa yang mesti dikerjakan. “Bahwa menjadi petani juga butuh kerja keras,” katanya.

“Dan, hasilnya bisa kami rasakan sekarang. Kami tidak hanya makan jagung, tetapi juga singkong, sorgum dan berbagai jenis pangan lain,” jelasnya.

Di daerah lain di NTT, di Atambua, seorang imam fransiskan Pastor Lazarus Subagi OFM membangun ketahanan para petani dengan mengorganisir belasan petani untuk meningkatkan ketahanan pangan, dengan mengajak mereka bekerja keras di musim hujan.

“Kami menyewa lahan-lahan kosong milik masyarakat yang tidak terpakai. Saat hujan, kami mengolahnya, sehingga sampai sekarang, persediaan makanan kami masih cukup,” katanya.

Selain itu, ia juga mengorganisir 70 warga untuk memelihara ternak, demi menambah penghasilan.

Imam ini yang memiliki 70 babi di kandang di belakang biara tempat ia tinggal mengatakan, Gereja saat ini memang harus memberi perhatian pada para petani, terutama di daerah seperti NTT. Hal ini, kata juga, juga merupakan bagian dari mewujudkan apa yang diingatkan Paus Fransiskus dalam ensikklik terbarunya, Laudato Si.

“Dokumen itu juga bagi saya, sebuah teguran untuk kami para gembala, juga sebagai fransiskan untuk membina rasa cinta pada alam ini,” katanya.

Padahal, menurut Rm Subagi, “Gereja kita harus mampu meyakinkan umat bahwa Tuhan juga bisa ditemui di ladang.”

Warga di NTT memang merasakan perhatian minim dari hirarki dalam mendukung mereka di dunia pertanian.

“Di Belu, misalnya, saya sendiri, belum menemukan imam lain yang memberikan perhatian khusus kepada petani, selain dari Romo Subagi,” kata Gabriel Kolo, petani berusia 60-tahun yang bekerja dengan Romo Subagi.

Kolo mengatakan dari hasil sawah dan beternak, ia bisa membiayai pendidikan anak-anaknya, yang kini ada yang sudah jadi guru, wartawan, ada yang masih kuliah dan ada yang masih di SMA.

“Kami sebenarnya bisa hidup, asal didampingi,” katanya. “Karena kami dibantu, maka kami makan beras dari panen tahun lalu, sementara tahun ini, belum kami nikmati,” katanya.

Namun, yang mendapat pendampingan masih sangat sedikit.

Saulus Maus mengatakan, mereka dari dulu, sudah hidup susah. “Kami tidak tahu bagaimana hasilkan uang dengan cara lain. Selama ini, kami hidup seperti biasa saja,” katanya.

“Kami mau kerja, tetapi situasi alam membuat kami susah, dan tidak ada yang memberi kami contoh bagaimana agar bisa hidup lebih baik.”

(Artikel ini ditulis oleh Ryan Dagur, jurnalis UCAN. Versi aslinya bisa dibaca di website Ucanews.com dan Indonesia.ucanews.com)