Nasib Sepak Bola di Ruteng

Tampak depan Stadion Golo Dukal di Ruteng (Evan Lahur/Floresa)
Tampak depan Stadion Golo Dukal di Ruteng (Evan Lahur/Floresa)

Floresa.co-Fasilitas sepak bola di Ruteng, ibu kota kabupaten Manggarai kian memprihatinkan. Sepak bola yang dari dulu digandrungi banyak orang, pelan tapi pasti sudah semakin langka.

Pangkal soalnya sederhana. Lapangan sepak bola tidak ada. Dulunya, ada stadion Golo Dukal, lapangan Motang Rua, dan lapangan milik Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendid ikan (STKIP) St. Paulus Ruteng. Sekarang, semuanya sudah berubah.

Sejak beberapa tahun lalu, lapangan Motang Rua sudah tidak bisa diselenggarakan berbagai kompetisi. Tidak lagi menjadi lapangan sepak bola. Di salah satu sisinya, panggung besar dan tiang bendera dibangun secara permanen.

Stadion Golo Dukal kemudian menjadi andalan. Meski pun tak terawat dan krikil dimana-mana, stadion tersebut tetap bisa menjadi lapangan alternatif sekitar dua tahun lalu. Tiap sore masih dipadati oleh para pemain.

Kini nasib stadion Golo Dukal berubah seratus delapan puluh derajat. Beberapa cerita masyarakat mengatakan, di sana sudah menjadi arena balap motor. Sangat disayangkan, stadion “sebagus” itu yang telah menelan uang miliaran, kini beralih fungsi.

Tahun-tahun belakangan, lapangan di STKIP menjadi andalan. Tetapi, siapa pun tahu, lapangan STKIP bukan fasilitas umum. Bukan milik pemerintah. Tiap latihan saja, bisa dikenai biaya hingga Rp 300.000. Syukurlah, masih ada beberapa kompetisi masih bisa diselenggarakan di sana.

Hanya saja, dalam dua tahun terakhir, nyaris tak terdengar kompetisi lagi. Ada banyak cerita di baliknya. Ada yang bilang, tidak ada penyelenggara. Ada yang bilang, pemerintah memang tidak beri perhatian. Ada yang bilang, kompetisi seringkali berakhir ricuh. dsb.

Semua alasan bisa saja masuk akal. Akan tetapi, nasib rakyat dengan sepak bola kemudian seperti cinta bertepuk sebelah tangan. Sepak bola sangat digandrungi, namun tak ada ruang untuk menuangkankannya. Pelan-pelan, kita ditinggal pergi oleh sepak bola.

Untunglah, di tengah paceklik dunia sepak bola, ada futsal. Tak terlalu membutuhkan ruang yang luas, modifikasi sepak bola ini terlihat lebih praktis dan mudah. Di luar dua lapangan yang sudah ada, ke depannya, kemungkinan futsal semakin menjamur.

Di kota Ruteng, futsal sebetulnya punya arti lebih. Futsal adalah pil yang mengobati kerinduan sepak bola. Futsal adalah alternatif di tengah paceklik sepak bola.

Maka tak berlebihan kalau kehadiran futsal sudah tentu layak dibanjiri apresiasi. Apalagi belakangan, kelompok orang muda, berani mengadakan kompetisi futsal. Misalnya, Forum Futsal Muda Mudi Manggarai (F2M3) yang sedang menyelenggarakan turnamen futsal.

Meski demikian, futsal tetap saja berbeda dari sepak bola. Kerinduan terhadap sepak bola tak sepenuhnya dapat dipuaskan oleh futsal. Dalam banyak hal, keduanya berbeda.

Tambahan pula, futsal sudah tentu dikenai biaya yang tidak murah. Satu jam bisa mencapai Rp 100.000 sampai Rp 150.000. Olahraga sepak bola yang tadinya murah meriah bersiluman menjadi kegiatan ekonomis. Bagi yang berduit, semuanya akan terasa lebih mudah.

Sekarang bukan tak mungkin, persoalan ini menimbulkan perdebatan sana-sini. Semua pihak bisa saja dijerat kesalahan. Energi tentu saja terkuras kalau hanya mencari-cari siapa yang salah.

Di tengah keadaaan miris demikian kita mesti ingat adagium ini, mens sana in corpore sano; dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Di depan mata, tidak ada lagi gelanggang sepak bola, hanya ada gelanggang politik.Dapatkah gelanggang politik menyehatkan jiwa kita?

Mungkin saja ya, kalau pemimpin daerah akan memperhatikan dunia olahraga. (Gregorius Afioma)

spot_img

Artikel Terkini