Save Pede dan Tindakan Politis

Alfred Tuname
Alfred Tuname

Oleh: ALFRED TUNAME

Pantai Pede adalah satu persoalan. Save Pede adalah satu persoalan lain. Namun, semuanya berkiblat pada satu kepentingan yang sama, yaitu kepentingan publik Manggarai Barat (Mabar), NTT. Pantai Pede adalah soal locus yang dinyatakan sebagai milik publik. Perayakan publik termanifestasi dalam perjumpaan dan berpariwisata bersama. Di situ, masyarakat Mabar mengupas lepas kepenatan sembari menyapa alam dengan senyum di pinggir pantai.

Publik merayakan Pantai Pede sebab dari semua sumber daya pariwisata pantai di Mabar sudah dikapling untuk kepentingan privat. Sebagaimana diatur dalam regulasi, pantai seharusnya tidak bisa diprivatisasi. Seseorang tidak diizinkan untuk memiliki sebuah areal pantai secara pribadi.

Privatisasi pantai merupakan tindakan melawan hukum. Tetapi, hukum akan mudah dikangkangi bila penguasa dan penguaha berpadu dalam “bilik” kongkalikong. Hukum bermetamorfosa menjadi produk kekuasaan, sementara pengusaha membelai penguasa untuk sebuah produk hukum yang profitable.

Privatisasi pantai Pede merupakan produk kekuasaan dalam kendali “the invisibible hand”. Laju privatisasi pantai Pede tampak “legal” sehingga barisan kekuasaan baik provinsi maupun kabupaten bersuara unisono. Memang tampak tak aneh apabila barisan kekuasaan sesuara, sebab kepentingan mereka masing-masing sudah terakomodasi.

The invisible hand mengubah merias regulasi dan kepastian hukum demi kepastian investasi yang profitable.

The invisible hand tersebut adalah gurita kekuasaan bisnis Setya Novanto. Di bawah gurita kekuasaanya, Gubernur NTT Frans Leburaya dan Bupati Mabar Agustinus Dulla serta para elite politiknya harus tertunduk layu  melayani kepentingannya.

Kekuasaan yang melekat pada Gubernur NTT dan Bupati Mabar itu remuk dalam belitan jari-jari gurita kekuasaan Setya Novanto. Pembenaran-pembenaran pun dipublikasi secara massal untuk menjustifikasi aksi penyerobotan Pantai Pede demi kepentingan privat.

Aksi fulgar kekuasaan untuk memprivatisasi Pantai Pede mendapat perlawan publik Mabar. Privatisasi pantai Pede menyulut ketersinggungan dan kemarahan publik Manggarai. Kemarahan itu disebabkan oleh kavling-kavling sumber daya pariwisata di Mabar yang menggusur abis semua hak rakyat atas sumber daya pariwisata.

Lahan-lahan strategis, pantai-pantai menawan dan pulau-pulau eksotis sudah dilego untuk kepentingan investor-investor (asing). Neraca keadilan pun kian timpang manakala anak tanah Mabar tidak punya akses untuk menikmati setiap keindahan dan eksotisme yang ada di daerahnya.

Pembatasan dan pelarangan muncul setelah semua sumber daya pariswisata tersebut dikuasai oleh investor-investor tersebut. Sementara nikmat sektor pariwisata itu tidak didistribusi secara adil kepada masyarakat Mabar.

Ada persoalan akses terhadap air bersih, kemiskinan dan ekslusi masyarakat di Mabar. Semua itu merupakan ekses dari nikmatnya industri pariwisata. Masyarakat masih sangat susah mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.

Air besih lebih dialamatkan kepada hotel-hotel dan lokasi-lokasi strategis pariwisata. Sementara itu, akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi masih sangat susah.

Semua itu terjadi karena salah kelola dan mismanagement kebijakan public pemerintah daerah. Masih terjadi mismatch dalam kebijakan linkeging antara sektor tertinggal, sektor unggulan dan sektor potensial terhadap leading sector.

Atas kebijakan itulah, masyarakat (asli) sering kali terdepak. Celakanya, tidak ada political will dan niat baik pemerintah untuk memperbaiki kehidupan bersama yang adil. Moral hazard dan perilaku memperkaya diri sendiri para elitenya merupakan asuransi rusaknya cita-cita bersama dan ketidakadilan. Perubahan social, ekonomi dan politik di Mabar terjadi kearah yang lebih buruk dan “there is no point of return”.

Situasi bencana sosial, ekonomi dan politik muncul bukan lantaran adanya gerakan yang menjadi simbol perlawanan, melainkan justru karena ketiadaan simbol-simbol perlawan.

Gerakan-gerakan sosial seringkali muncul manakala derajat ketidakadilan meninggi. Gerakan itu merupakan symptom problem ketidakadilan. Oleh karena itu, gerakan sosial merupakan sebuah emancipatory project yang penting.

Gerakan Save Pede merupakan sebuah emancipatory project demi kebaikan bersama masyarakat Mabar.

Kini Save Pede menjadi simbol perlawanan publik Mabar. Gerakan Save Pede tidak mengambil posisi kontra terhadap rezim pemerintah, melainkan koreksi terhadap setiap patologi kebijakan pemerintah daerah Mabar.

Kebijakan privatiasai pantai Pede tentu merupakan yang patologis sebab lahir dari kongsi gelap kekuasaan politik dan ekonomi. Karenanya, gerakan Save Pede mengajak setiap insan pro keadilan untuk melawan setiap kebijakan dan praktik busuk pemerintah daerah.

Karena pemerintah daerah gagal menyediakan pantai pro publik di Mabar, maka gerakan Save Pede yang mengajak publik Mabar merupakan sebuah tindakan politis (political act). Tindakan politis merupakan sebuah gerakan bersama untuk sebuah perubahan dan kebaikan bersama.

Sebagai sebuah tindakan politis, gerakan Save Pede bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan publik berkaitan dengan pantai Pede. Pemerintah daerah sebagai decision-maker harus mendengar setiap aspirasi publik dan mengubah kebijakan sesuai dengan keinginan, aspirasi dan kepentingan masyarakat Mabar.

Gerakan Save Pede merupakan sebuah tindakan politis untuk mempengaruhi logic ekonomi politik para elite politik Mabar. Para elite politik Mabar adalah mereka yang juga memegang jabatan sebagai decision maker. Mereka bertanggung jawab terhadap setiap kebijakan publik, dalam hal ini privatisasi pantai Pede.

Manakala kebijakan tersebut tidak sesuai dengan aspirasi, harapan dan kepentingan masyarakat Mabar, maka para elite politik tersebut bukanlah firgur pemimpin pro rakyat. Pemimpin yang pro rakyat adalah pemimpin yang mengerti kepentingan dan kebutuhan rakyat.

Pemimpin yang muncul “dari rakyat dan oleh rakyat” harus juga “untuk rakyat”. Pemimpin seperti ini tidak pernah bersekutu dengan “gurita” bisnis yang hendak mencaplok segenap sumber daya milik rakyat.

Gerakan Save Pede sedang dan akan terus berlanjut manakala pemimpin dan para elite politik tidak mendengar aspirasi publik dan mengubah kebijakan publiknya demi kepentingan masyarakat banyak.

Gerakan Save Pede memaksa pemimpin untuk tegas dan berani melawan kemauan investor pencaplok; untuk tegas dan berani melepas genggaman “the invisible hand” yang rakus.

Akhirnya, (mungkin) gerakan Save Pede akan berakhir seandainya Pantai Pede sudah kembali (total) kepada genggaman publik Mabar.

Penulis adalah pemerhati masalah sosial politik di Manggarai Raya

spot_img

Artikel Terkini