Pantai Pede Penuh Sampah!

Komunitas orang muda di Labuan Bajo sedang memungut sampah di Pantai Pede (Foto: Kris Bheda Somerpes)
Komunitas orang muda di Labuan Bajo sedang memungut sampah di Pantai Pede (Foto: Kris Bheda Somerpes)

Floresa.co-Rasanya tak perlu dicari tahu lagi alasan mengapa masyarakat sangat getol mempertahankan Pede sebagai ruang publik.

Pada hari Minggu siang, 9 September 2015, hampir ada lima puluhan kendaraan roda empat parkir tak beraturan dalam kawasan pantai Pede. Jumlah kendaraan roda dua jauh lebih banyak. Lalu lalang tiap saat di atas tanah kering menyebabkan debu bertebaran.

Jumlah pengunjung pun tumpah ruah. Mereka mondar-mandir sepanjang lekukan pantai Pede. Beberapa berkumpul di bawah pohon asam dan bidara yang meranggas. Mereka tampak menatap kapal-kapal dan perahu di lautan dan menikmati terpaan angin laut yang seolah datang dari pulau-pulau kecil di ujung Barat pulau Flores itu.

Ketika matahari kian turun mendekati horizon barat, sekelompok anak muda datang, mengenakan pakaian olahraga dan sepatu futsal. Sebuah lapangan futsal berlantai tanah kering terletak di dekat gerbang masuk. Meskipun di tengah tebaran debu, mereka tampak menikmati olahraga tersebut.

Prospek Ekonomi Rakyat

Keramaian itu ternyata bukan suatu kebetulan. Darius, berusia 62 tahun, mengatakan selalu ada banyak pengunjung tiap hari minggu. Ia sendiri, kemudian, menangkap peluang bisnis. Sejak tahun 2000, ia mulai menjual tuak putih.

“Dulunya saya kerja di kapal. Tapi ternyata di sini lebih mudah dapat uang. Satu hari bisa mencapai 300 ribu keuntungannya.” Jelasnya.

Kesan serupa disampaikan Daming (52 tahun). Ia adalah penjual bakso keliling di Labuan Bajo sejak tahun 2004. Daming, dengan gerobak baksonya, tampak siaga sejak pagi di pantai Pede.

Menurutnya, Pede merupakan salah satu tempat andalannya dalam meraup untung. Karena itulah ia mampu membiayai dua anaknya hingga pendidikan tinggi. Namun, sebagai pedagang, ia bukan tanpa kecemasan ketika hadir di Pede. Pede sangat menjanjikan bagi para pebisnis kecil seperti dia.

“Penjualnya sekarang semakin banyak. Banyak pengunjung, banyak penjual. Ada persaingan.” Jelas pria asal Malang, Jawa Timur ini.

Sejauh pantauan Floresa.co, ada begitu banyak pedagang kaki lima berdatangan ke sana, di antaranya penjual es krim, minuman, bakso, dan penjual roti.

Tak Terurus

Ke depannya nasib satu-satunya ruang publik untuk masyarakat umum tersebut belum jelas, apakah para pengunjung dan penjual akan seleluasa sekarang ataukah tidak.

Pasalnya, dari pihak pemerintah, rencana penyerahan pengelolaan Pantai Pede kepada PT Sarana Investama Manggabar, milik Setya Novanto, sudah mendekati kepastian. Bupati Agustinus Ch. Dulla sudah memberikan sinyal kesepakatan. Padahal sebelumnya, Dulla juga tak setuju pantai Pede diserahkan kepada pihak swasta.

Akan tetapi, sejumlah elemen masyarakat terus menolak rencana tersebut. Komunitas Bolo Lobo, misalnya, sudah mengadakan berbagai aksi kreatif guna menghentikan pembangunan di pantai tersebut. Pantai itu layak dipertahankan sebagai ruang publik.

Sayangnya, sementara tarik-ulur soal pantai terus berjalan, keadaan pantai Pede terus diterlantarkan. Kini sampah berserakkan dimana-mana. Semak belukar tumbuh berkeliaran. Menurut beberapa pengunjung, keadaan pantai Pede memang kian memburuk.

Ketika terjadi gerimis, misalnya, beberapa orang berhamburan mencari perlindungan di bawah pohon. Dulunya, terdapat beberapa pondokan kecil tempat bernaung yang terbuat dari pohon jati. Menjelang Sail Komodo, semua pondokan tersebut dibongkar.

Namun, setelah event yang memakan biaya lebih dari 3,7 trilliun itu berakhir, tak satu pun pondokan-pondokan tersebut dibangun kembali.

Kondisi itu kemudian mengerucutkan persoalan, apakah keadaan itu sengaja didesain agar proses privatisasinya menemukan alasan yang kuat?

Pungut Sampah

Terlepas dari persoalan itu, Komunitas Bolo Lobo pada hari minggu menggelar acara pungut sampah bersama. Turut terlibat dalam kegiatan tersebut, antara lain pasukan pramuka, komunitas lontar galeri, komunitas kopi sastra, dan pelajar dari SMA Negeri 2 komodo.

Sampah di pantai Pede tentu punya arti ganda. Sampah yang begitu banyak, di satu sisi, menunjukkan bahwa memang tempat tersebut semakin ramai dikunjungi. Pede adalah ruang publik dimana semakin banyak orang mau berinteraksi satu sama lain.

Di sisi lain, keadaan tersebut memperlihatkan absennya pemerintah dalam mengelola dan mengawasi keadaan pantai tersebut. Keindahan pantai tersebut dibiarkan tak terurus sehingga masyarakat juga bertindak seenaknya mengotori pantai.

Menurut salah satu sumber, dulunya ada pegawai sampah yang bertugas di sana. Namun karena gajinya terlampau kecil yakni sekitar Rp 600 per bulan, mereka akhirnya enggan bekerja. Beban kerja terlampau berat. Wajah buram pantai Pede pun akhirnya memang cukup beralasan. Pemerintah lalai memperhatikannya.

Tak heran, dari seratusan anak muda yang terlibat dalam pengumpulan sampah, dalam waktu satu jam saja, mereka berhasil memenuhi hampir 50-an kresek hitam seukuran karung beras seratus kilogram. Sampah plastik air mineral Ruteng adalah yang terbanyak.

Dari kenyataan itu, wajar kalau kebutuhan akan penataan sudah menjadi harapan banyak orang. Beberapa pedagang mengeluhkan hal yang sama. Darius dan Daming mengaku, sampai sekarang penjual masuk begitu saja, tanpa dikenai retribusi apapun. Padahal mereka membayar dengan harapan pantai Pede bisa ditata dengan baik agar menarik semakin banyak pengunjung.

Keadaan itu tentu menyampaikan satu aspirasi, apakah pemerintah mau menata Pede agar menjadi ruang publik yang semakin membawa manfaat bagi semakin banyak orang? (Gregorius Afioma/Floresa).

 

 

spot_img

Artikel Terkini