Sensasi Perjalanan Menuju Air Terjun Tengku Lese

Baca Juga

Salah seorang pengunjung di Air Terjun Tengku Lese (Foto: Evan Lahur)
Salah seorang pengunjung di Air Terjun Tengku Lese (Foto: Evan Lahur)

Floresa.co – Air Terjun Tengku Lese tampak tak setenar objek wisata lain di Manggarai Raya.

Ia memang terletak di daerah yang belum bisa diakses kendaraan umum. Namun, sensasi air terjun ini, sebenarnya tak kalah dengan objek wisata lain, seperti Komodo dan Danau Sano Nggoang di Manggarai Barat, juga Liang Bua di Manggarai dan Rana Mese dan Gua Mari Cingcoleng di Manggarai Timur.

Meski menyimpan banyak ketakjuban, Air Terjun Tengku Lese, masih belum dilirik serius oleh Pemkab Manggarai.

Padahal, sejumlah wisatawan manca negara sudah datang ke tempat ini, yang terletak di dekat Kampung Tebo, Dusun Pasah, Desa Tengku Lese, Kecamatan Rahong Utara.

Evan Lahur, kontributor Floresa.co yang juga anggota KESA (Kelompok Studi Tentang Desa) menulis kisah perjanan ke air terjun ini. Mereka datang ke lokasi ini dengan teman-teman pada akhir Juli lalu.

Sebelum sampai ke Air Terjun Tengku Lese, banyak hal menarik yang mereka jumpai, hal yang memberi sensansi tersendiri.

Berikut laporan Evan:

Secara tak sengaja, kami mengetahui Air Terjun Tengku Lese dari salah satu penyiar Radio FM Lumen 2013 di Ruteng. Namanya, Ka Ocha.

Dalam salah satu perbincangan dengannya, kami bercerita tentang obyek wisata yang masih jarang dikunjungi oleh wisatawan manacanegera maupun lokal di wilayah Manggarai.

Muncullah saat itu nama air terjun ini. Lantas, kami pun langsung menyusun rencana untuk datang ke tempat itu.

Akhirnya, Kami yang tergabung dalam KESA, sebuah kelompok studi mahasiswa Yogyakarta, bersama beberapa teman; Varis Laput, Van Gaguk dan Melki Sedek sepakat mengadakan perjalanan ke Air Terjun Tengku Lese pada Jumat, 31 Juli 2015.

Awal Perjalanan

Waktu menunjukkan pukul 12.15 WITA saat kami mulai berkumpul di Lumen Gratia (LG), sebelah barat Gereja Katedral Ruteng.

Tak lama kemudian, perjalanan pun dimulai, dengan menelusuri jalan negara Ruteng – Labuan Bajo. Di SPBU Mena, kami memutuskan untuk mengisi bahan bakar mengingat perjalanan jauh yang akan ditempuh.

Setelah bahan bakar telah terisi kami melanjutkan perjalanan menelusuri jalanan Wae Garit yang terkenal curam.

Usai melewati Wae Garit kami pun mengambil jalan pintas di sebelah kanan cabang ke Novisiat SVD Sang Sabda Kuwu dengan tujuan ke asrama putra SMAK St. Klaus, untuk urusan kegiatan KESA pada keesokan harinya, Sabtu (1/8/2015).

Setelah urusan di St. Klaus selesai, rombongan kami mulai bergerak ke arah Wae Mbeleng, kemudian dilanjutkan ke Beokina.

Waktu menunjukkan pukul 14.35 saat kami tiba di Beokina. Bagi orang Manggarai, daerah Beokina ini tidak asing lagi karena di tempat ini terdapat makam pahlawan masyarakat Manggarai di zaman perang, Motang Rua.

Di situ, kami pun menyempatkan diri melihat secara langsung makam ini yang berada tepat di samping Gereja Katolik Paroki Beokina.

Makam bagian kiri merupakan makam dari Motang Rua (Foto: Evan Lahur)
Makam bagian kiri merupakan makam dari Motang Rua (Foto: Evan Lahur)

Menuju Tengku Lese

Perjalanan menuju air terjun pun dimulai. Dari Beokina kami melewati kampung Wangko (Rangung) menuju ke arah Kondong.

Dari kampung Kondong kami menemui perempatan Satar yang kemudian berbelok ke kanan menuju kampung Ndehes kemudian Purang.

Purang merupakan wilayah ibukota kecamatan Rahong Utara. Dari pusat kecamatan kami bergerak menuju Gereja Katolik Paroki Nanu yang bersebelahan dengan SMAN I Rahong Utara.

Di bagian timur Gereja Katolik Paroki Nanu terdapat sebuah pertigaan kecil menuju Tengku Lese. Di tempat ini, oto bemo (sebutan khas untuk angkutan kota/pedesaan di wilayah Manggarai) diparkir, setelahnya wisatawan berjalan kaki menuju Tengku Lese.

Kami pun menyusuri jalan yang sedikit mendaki dan berbatu-batu. Meski melewati kondisi jalan seperti itu, namun ada hal yang membuat kami merasa lega: pemandangan hamparan sawah yang menarik.

Hamparan sawah di sekitar jalan menuju Air Terjun Tengku Lese (Foto: Evan Lahur)
Hamparan sawah di sekitar jalan menuju Air Terjun Tengku Lese (Foto: Evan Lahur)

Setelah melewati hamparan sawah, kami memasuki Kampung Tebo. Kampung yang terdiri dari 79 kepala keluarga (KK) ini letaknya cukup terpencil, jika dibandingkan dengan kampung-kampung lain.

Namun kehadiran Tengku Lese sedikit memberi perbedaan bagi hiruk pikuk kehidupan warga di sana.

Jika sudah berada di wilayah perkampungan, jarak menuju obyek wisata sudah dekat.

Dari kampung ini, kami kemudian berhadapan dengan jalan berukuran kecil di antara aliran air dan hamparan sawah.

Selokan kecil ini yang digunakan sebagai jalan bagi pengunjung (Foto: Evan Lahur)
Selokan kecil ini yang digunakan sebagai jalan bagi pengunjung (Foto: Evan Lahur)

Setelah selesai melewati jalanan kecil ini, kami harus masuk ke dalam selokan air, satu-satunya jalan yang bisa dilalui. Beruntungnya bagian kanan selokan ini ialah hamparan sawah petani.

Tantangan belum berhenti, setelah berjalan di selokan, kami lantas harus melewati jembatan yang terbuat dari pipa.

Setelah melewati jembatan pipa ini, air terjun Tengku Lese sudah semakin dekat. Kami makin  penasaran untuk melihat Tengku Lese, karena dari jembatan ini, telinga kami sudah mendengar deruan air terjun.

Jembatan pipa yang mesti dilewati para pengunjung (Foto: Evan Lahur)
Jembatan pipa yang mesti dilewati para pengunjung (Foto: Evan Lahur)

Setelah berjalan sekitar 500 meter dari jembatan pipa, kami pun pada akhrinya sampai di lokasi.

Air terjun Tengku Lese ini berada di ketinggian 500 hingga 700 meter. Ada yang menarik dari air terjun ini. Air terjun ini sendiri memiliki tiga tingkat. Aliran airnya sangat deras membelah kolam berukuran kecil di bawahnya.

Bebatuan di hadapan air terjun ini memberi kesan eksotik bagi para pengunjungnya.

Tampak air terjun Tengku Lese (Foto: Evan Lahur)
Tampak air terjun Tengku Lese (Foto: Evan Lahur)

Selain itu juga kami disuguhi oleh pemandangan yang sangat menarik yakni tingkah lucu anak-anak yang dari awal perjalanan mengikuti kami menuju air terjun ini. Ada raut kebahagian natural di wajah mereka.

Tak ada rasa malu saat mereka mulai membuka baju dan melompat menuju kolam kecil dekat air terjun sekadar membersihkan badan.

Selain itu juga, dari hadapan air terjun ini pun kami dapat melihat dengan jelas hamparan sawah yang menawarkan kesan natural.

Menurut Karous Josi Pampo, keunikan dari air terjun ini dapat terlihat pada pagi hari.

“Pada pagi hari, ada pelangi yang tercipta dari percikan air terjun. Jika diabadikan dalam video, pelangi tersebut tak terlihat”, jelas Karolus.

Dalam perbincangan singkat bersama Kepala Dusun Pasa, Yuliana Danul, ia menjelaskan, air terjun Tengku Lese ini sangat membantu warga Pasa, karena air dari lokasi ini kemudian mengalir ke lahan sawah mereka.

“Kami setiap tahunnya dapat memanen padi sebanyak tiga kali, pada bulan Januari, April dan Agustus. Selain padi, beberapa tanaman sayur tumbuh subur,” kata Yuliana.

Yuliana menambahkan pula, air terjun Tengku Lese ini sering dikunjungi oleh para turis dari berbagai negara.

Rombongan KESA saat sedang berbincang-bincang bersasa ibu dusun ditemani kopi khas Manggarai (Foto: Evan Lahur)
Rombongan KESA saat sedang berbincang-bincang bersasa ibu dusun ditemani kopi khas Manggarai (Foto: Evan Lahur) 

“Mulai tahun lalu kami melakukan pembukuan untuk pengunjung dari luar. Ada beberapa turis mancanegara yang datang misalnya Inggris, Jerman, Spanyol, Belanda dan Prancis, USA dan Belgia. Umumnya mereka datang dihantar oleh agen travel yang telah mengetahui obyek wisata ini,” terang Yuliana.

“Harga tiket masuk sangat terjangkau. Bagi wisatawan asing Rp. 20.000, wisatawan lokal Rp. 5.000, dan bagi mahasiswa Rp. 2.000,”.

Sebelum rombongan KESA pulang, ia menitipkan pesan kepada kami.

“Saya berharap adik-adik dapat menyampaikan aspirasi kami yakni  agar infrastruktur jalan diperbaiki. Ini saja kekurangan kami di seputaran air terjun Tengku Lese. Mohon jalan di kampung kami ini diperbaiki”. (Evan Lahur/ARL/Floresa)

Terkini