Pilkada dan Ongkos Politik

Joan UduOleh: JOAN UDU

Selama berlangsungnya Pelkada – yang mulai sejak tahun 2005 – ada sejumlah hal yang patut menjadi sorotan. Salah satunya adalah soal mahalnya ongkos (politik) yang harus digelontorkan oleh pemerintah dan seorang calon kepala daerah.

Pemerintah harus menghabiskan uang dalam jumlah yang besar untuk membiayai penyelenggaraan Pilkada yang dialokasikan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Demikian pun halnya dengan para calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang maju dalam Pilkada. Mereka harus mengeluarkan banyak uang untuk pelbagai macam keperluan, antara lain untuk biaya kampanye dan biaya “sewa perahu,” sebutan untuk uang yang harus disetorkan kepada pengurus partai tertentu untuk mendapat dukungan.

Akan tetapi, perlu diingat bahwa biaya “sewa perahu” adalah biaya tidak sah dan inkonstitusional karena tidak diatur dalam Undang-Undang Pilkada, terlebih UU No. 32 Tahun 2004 yang membahas banyak “aturan main” terkait Pilkada dan Pemerintahan Daerah.

Pengurus partai politik yang berperan penting dalam penentuan biaya “sewa perahu” adalah Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) untuk tingkat provinsi) dan Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) untuk tingkat kabupaten/kota). Namun, dalam beberapa kasus, ketua umum partai politik di tingkat pusat juga berperan penting.

Biasanya ketua umum partai melakukan koordinasi dengan Ketua DPD dan DPC.

Maraknya “pungutan politik” liar yang dilakukan setiap partai politik antara lain disebabkan oleh kurang ketatnya pengaturan UU mengenai hal tersebut. UU No. 32 Tahun 2004 hanya memungkinkan penjatuhan sanksi yang bersifat sepihak karena sanksi hanya dijatuhkan kepada pihak yang memberi uang politik (Kaloh, 2008: 278).

Selain uang yang dikeluarkan untuk biaya yang tidak legal itu, besarnya pengeluaran dalam Pilkada adalah untuk keperluan dan biaya kampanye.

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa betapa seorang calon kepala daerah membutuhkan uang yang tidak sedikit untuk bisa masuk dalam bursa calon kepala daerah.

Terkait ongkos untuk “sewa perahu” ini, riset Amirudin dan Bisri (2006: 59-60) menunjukkan bahwa biaya yang paling sering digelontorkan kandidat kepala daerah di Indonesia minimal Rp 3 miliar.

Lantas, bertolak dari riset ini, kandidat kepala daerah mesti mencari banyak uang untuk membiayai Pilkada dan uang itu tidak kecil jumlahnya.

Fenomena ini, demikian Amirudin dan Bisri, biasa disebut sebagai kapitalisasi Pilkada.

Mantan Menteri Dalam Negeri eras Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Gamawan Fauzi, pernah menjelaskan besarnya biaya yang mesti dikeluarkan kandidat dan memberi isyarat yang jelas bahwa besarnya biaya itu mendorong kepala daerah untuk melakukan korupsi.

Kepada Kompas, 18 Januari 2011, Fauzi menuturkan bahwa ia pernah bertanya kepada sejumlah kepala daerah perihal besarnya ongkos politik yang harus mereka kucurkan.

Ia mengatakan, seorang Bupati mengaku bahwa ia harus mengeluarkan uang sampai Rp 60 miliar dan seorang Gubernur mengaku harus mengeluarkan Rp 100 miliar. Ini merupakan angka yang sangat fantastis.

Fenomena ini terkesan lucu dan irasional lantaran dalam kenyataannya, gaji gubernur hanya Rp 8,6 juta per bulan atau total Rp 516 juta selama lima tahun menjabat, ditambah pendapatan upah pungut sekitar Rp 34 juta hingga Rp 90 juta sebulan.

Itu pun masih belum cukup untuk mengganti ongkos politik yang sudah dikeluarkan. Taruhlah total gaji dan upah pungut rata-rata Rp 100 juta per bulan, total selama lima tahun paling cuma Rp 6 miliar.

Jika dikalkulasi berdasarkan perhitungan tersebut terlihat bahwa kepala daerah yang disebut Fauzi di atas jelas mengalami kerugian dan defisit besar.

Lantas, apakah ada kepala daerah yang mau menanggung kerugian sebesar itu? Apakah seorang calon kepala daerah tidak berpikir sampai pada titik itu sebelum maju dalam gelanggang kompetisi Pilkada?

Satu hal yang pasti bahwa seorang yang berani maju dalam ajang Pilkada tentu sudah mempertimbangkan segala untung-rugi yang akan ia rengkuh.

Dan, satu hal lain yang sudah menjadi pengetahuan umum bahwa tidak ada kepala daerah yang mau melarat hanya karena menjadi kepala daerah. Ia akan  berjuang sekuat tenaga untuk mengembalikan modal politik dan juga untuk mendapatkan reward dan keuntungan untuk menafkahi anak dan istrinya.

Ketika fokus pencariannya adalah pada pengembalian modal dan mencari keuntungan, maka apa pun caranya ia akan halalkan. Ia akan berusaha untuk mengumpulkan kembali dana yang telah dikeluarkan dengan mencari sumber-sumber penghasilan lain di luar pendapatan resminya.

Mudah diduga bahwa ia akan memanfaatkan posisi dan wewenangnya sebagai kepala daerah untuk mencari sebanyak mungkin uang.

Sebab, meskipun penghasilan resminya yang mencakup gaji dan tunjangan-tunjangan lain itu sudah cukup besar menurut ukuran penghasilan rata-rata orang Indonesia, penghasilan itu tetap tidak akan cukup untuk sekedar “impas” menutupi ongkos politik yang sudah dikeluarkan guna meraih jabatan kepala daerah.

Maka, tidaklah mengherankan manakala korupsi berjemaah, kolusi mengakar, dan nepotisme kian menguat. Di sini, kita dapat melihat dengan gamblang perihal korelasi simetris antara mahalnya ongkos politik jelang Pilkada dengan praktik korupsi yang acap dilakukan banyak kepala daerah.

Lalu, bagaimana dengan para kandidat kepala daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT)  yang maju dalam pesta Pilkada pada bulan Desember mendatang?

Ya, kita menanti cerita-cerita menarik dari meraka. Tetapi, satu hal yang menjadi keyakinan kita bersama bahwa ongkos politik para kandidat di NTT tentu tidak berbeda jauh dengan data dan riset yang sudah dielaborasi dalam tulisan ini.

Kita juga harus jujur bahwa sejauh ini kita tidak melihat pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) akan mampu membendung politik uang di NTT. Para calon kepala daerah yang tidak punya uang suka atau tidak suka akan tersingkir. Calon independen akan semakin kesulitan.

Dengan berat hati kita akan berhadapan dengan kekuasaan uang, meski sekali-kali kita dihibur dengan pidato kampanye yang kelihatannya populis atau pro-rakyat.

Dalam aras yang sama, kita juga digiring pada suatu anomali bahwa demokrasi de facto tidak lagi berasaskan kedaulatan rakyat, tetapi kedaulatan uang.

Maka, ada benarnya ketika seorang teman berkicau lewat status facebook-nya: “Dalam politik, yang kekal bukan lagi kedaulatan rakyat, melainkan kedaulatan uang”.

Tetapi, apakah kita ingin terus hidup dalam anomali seperti itu? Mari kita satukan tekad dan semangat untuk NTT yang lebih baik!

Penulis – yang meminati masalah sosial dan politik – adalah calon imam Ordo Fransiskan. Kini ia sedang studi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta.

spot_img

Artikel Terkini