Listrik dan Pilkada

Ilustrasi
Ilustrasi

Floresa.co – Ketika banyak tempat di belahan dunia ini makin ramai berbicara soal kecanggihan gadget, dan kompetisi teknologi dan informasi, sebagian besar tempat-tempat di Manggarai masih harus berurusan dengan soal listrik.

Keadaan demikian, misalnya, dialami masyarakat di tiga desa di kecamatan Reok, yakni Desa Salama, Desa Ruis, dan Desa Bajak.

Meski jaraknya hanya 2-9 km dari pusat kecamatan dan berada di pinggir jalan negara, nasib mereka sungguh ironis. Listrik belum masuk. Kecuali di dalam rumah yang umumnya diterangi lampu pelita, keadaan masih gelap gulita di malam hari di kampung-kampung itu.

Hal demikian bertambah miris ketika mengetahui nasib beberapa desa di Kecamatan Reok tak seburuk mereka.

Sebelum mekar jadi kecamatan baru, Desa Kajong yang berjarak puluhan kilometer dari Reo, misalnya, sudah mendapat pasokan listrik.

Berbagai pertanyaan pun bergulir. Mengapa tiga desa tersebut begitu dianaktirikan? Adakah yang salah dengan mereka? Apakah mereka terlalu miskin untuk mendapat pasokan listrik? Apakah yang miskin memang tidak perlu mendapat listrik?

Bertolak dari pertanyaan demikian, persoalan tidak berhenti di sana. Rakyat dari daerah tersebut mulai meragukan substansi segala jenis kegiatan politik.

Pasalnya, sudah silih berganti para wakil rakyat dan calon bupati pernah datang. Mereka datang dengan janji listrik.

Tak heran, rakyat jadi ramah dan sangat antusias. Di hari pemilihan, berbondong-bondong datang ke tempat pemilihan. Akan tetapi, semuanya nihil. Sampai sekarang, janji tinggal janji.

Kini mereka jadi sadar. Mereka tak harus ikut-ikutan euforia Pilkada kalau nyatanya semua berujung pada cerita kekalahan.

Di Desa Bajak, misalnya, sudah pernah menjadi lokasi tambang mangan. Sunga Wae Pesi juga menjadi sumber batu krikil untuk pembuatan jalan di Manggarai. Namun, semua itu seakan tak pernah diperhitungkan.

Keraguan terhadap Pilkada, karenanya bukan tanpa alasan. Di balik gegap gempita pesta demokrasi itu, selalu ada keraguan besar.

Ucapan yang meyakinkan dari para calon bupati dan wakil sudah layak direspon secara skeptis. Apakah kali ini Pilkada benar-benar membawa perubahan ataukah tidak sama sekali?

Bagi ketiga desa tersebut, tanpa adanya janji pasokan listrik, Pilkada hanya melanggengkan potret buram. Ironi pembangunan tetap terus terpelihara. Padahal mereka terus-menerus diajak untuk terlibat aktif dalam segala bentuk kegiatan politik.

Bagi mereka, terabainya hak-hak yang sudah sangat mendasar tersebut di era modern ini, sama seperti seseorang yang diajak berdiskusi politik tanpa makan terlebih dahulu. Berdiskusi dengan perut kosong.

Mereka masih bergulat dengan isu-isu mendasar pembangunan seperti listrik, jalan raya, air, dan jembatan ketika orang lain sudah berjalan seribu langkah di depan dengan aneka bentuk pemanfaatan teknologi dan menikmati pembangunan.

Kini tak ada cara lain. Mereka dan rakyat seluruhnya di Manggarai perlu kontrak politik yang jelas. Bukan lagi hanya memegang omongan belaka.

Lantas apakah para calon bupati dan wakil bupati di Manggarai siap dengan cara konkret seperti itu?

Tentu bukan hanya warga tiga desa itu yang tak mau lagi dibohongi untuk kesekian kali, juga untuk warga di tempat-tempat lain yang masih krisis perhatian. (Gregorius Afioma)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini