Politik Kutu Loncat di Mabar

Irvan KurniawanOleh: IRVAN KURNIAWAN

Hingar bingar Pilkada serentak yang terjadi di Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) akhir-akhir ini makin dinamis bahkan memanas. Panas karena memang suhu politiknya melejit drastis hingga nyaris tak terkendali.

Pasalnya, para kandidat yang bertarung tidak hanya bersaing merebut hati pemilih, tetapi yang tak kalah penting adalah merebut dukungan partai politik sebagai kendaraan politik mereka. Peristiwa perusakan kantor KPUD Manggarai Barat yang terjadi Selasa, 28/7/2015 dibaca sebagai bentuk luapan amarah kandidat dan masa pendukung yang tidak rela terkapar sebelum genderang perang ditabuh.

Media floresa.co, pada hari Rabu (29/7/2015) memberitakan dua pasangan bakal calon yakni Tobias Wanus-Frans Sukmaniara (Tobi-Frans) dan pasangan Fidelis Pranda-Benyamin Padju (Pranda-Padju), sama-sama membawa Surat Keputusan (SK) dukungan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai kendaraan politik.

Selain itu, pasangan Pranda-Padju juga membawa SK dukungan dari PKPI yang sebelumnya sudah diberikan kepada pasangan Agustinus Ch Dula-Maria Geong. Menariknya, dalam SK tersebut masing-masing tercantum tanda tangan Ketua DPP PKB Muhaimin Iskandar dan Plt Ketum PKPI, Isran Noor.

Terlepas dari mana yang asli dan palsu, kejadian seperti ini memang realitas lumrah dalam perpolitikan tanah air. Hampir pasti setiap perhelatan demokrasi adalah lahan basah bagi parpol untuk mendapatkan uang. Dari sini pula sinyal kuat politik transaksional (mahar politik) sedang dipertontonkan secara terbuka kepada publik oleh parpol tersebut. Pesanya jelas, siapa yang bayar lebih banyak, dia yang dapatkan tiketnya.

Dalam bahasa gaulnya, ‘tidak ada SK gratis untuk sebuah kekuasaan’. Kekuasaan (dalam konteks Mabar) adalah barang langkah yang tidak hanya dicapai melalui jalur lurus dan elegan, tetapi juga melalui jalan pintas yang berlekuk-lekuk sampai habis sisa tenaga. Siapa yang licik, gesit, punya banyak amunisi dipastikan menang dan yang tidak, akan terjungkal dari arena pertarungan.

Terlepas dari realitas di atas, tulisan ini sebenarnya sedang mengupas ambiguitas dukungan parpol yang inkonsistensial. Parpol kutu loncat. Yah, itulah sebutan yang layak bagi partai politik yang mahir memainkan mahar politik lewat secarik kertas yang bernama SK di saat injury time. Politik Kutu loncat ketika partai politik sengaja memberi dukungan ganda alias loncat kesana-kemari sambil melihat reaksi, siapa yang membayar banyak, di sanalah lompatannya mendarat.

Politik Mabar

Dinamika dukungan parpol yang akhir-akhir ini dipertontonkan di Mabar, kental dengan aroma pragmatis. Aroma pragmatis itu mencuat lewat dua unsur utama yakni uang dan figur. Dari sisi bakal calon, uang nampak dalam wajah perebutan tiket politik. Dalam sistem politik liberalis, parpol bertindak seperti kendaraan meskipun tidak mutlak (sebab bisa saja ada orang yang mau bertarung melalui jalur independen).

Fenomena merebut kendaraan politik inilah yang menjadi titik rentan kuasa uang dalam politik. Di sini politik transaksif bisa mendapat kepenuhan. Politik uang memang sulit dibuktikan mengingat kecanggihan pemainnya dalam menyembunyikan kedok, namun dampak politik uang mudah dirasakan oleh semua orang termasuk yang awam politik sekalipun.

Sebaliknya dari sisi parpol, Pilkada bisa menjadi mesin pencetak uang. Argumentasi yang mengatakan bahwa hajatan politik membutuhkan ongkos politik bisa menjadi alasan logis di sini. Lepas dari pertimbangan ongkos politik tadi, bagi saya, para elit politik lokal maupun nasional saat ini sebenarnya sedang dirasuki oleh hasrat menumpukan uang. Bahasa satirisnya rakus (uang).

Pada bagian lain pragmatisme figur mengemuka lewat perekrutan kader yang asal-asalan. Fenomena ini menampak dalam politik survei menjelang penentuan bakal calon. Bahwa beberapa nama disebut-sebut ikut serta dalam survei rasanya sulit ditolak. Tetapi satu yang pasti, untuk menentukan bakal calon definitif, tak satu pun partai yang secara terbuka mengumumkan proses, mekanisme, tahapan hingga penentuan bakal calon tersebut pada akhir survei. Semuanya serba tertutup.

Akibatnya, konstituen tidak bisa mengontrol hasil survei dan terutama mengontrol kerja kotor elit partai. Mekanisme survei baik sejauh dilakukan secara terbuka. Jika dilakukan secara tertutup, politik survei sebenarnya menafikan peran parpol dalam proses pengkaderan anggota. Lalu, apa yang bisa menjelaskan fenomena politik yang serba tertutup ini kalau bukan politik ‘kutu loncat’ dalam ruang politik trasanksional?

Politik Transaksional

Partai politik merupakan institusi perwakilan yang salah satu fungsi pokoknya adalah sebagai mesin pencetak kekuasaan. Jika dibaca secara negatif, kemampuan parpol dalam menjalankan fungsi-fungsinya menjadi alat uji bagi terbentuknya pemerintahan di sebuah medan kekuasaan. Secara positif, efektifitas parpol dalam menjalankan tugas pokoknya menjadi indikator pertumbuhan demokrasi dalam suatu negara.

Sebuah tradisi politik pasca reformasi 1998 dan masih menjadi pemandangan umum di ranah politik Indonesia sampai sekarang adalah munculnya koalisi politik beberapa partai. Koalisi politik terjadi manakala liberalisme politik memungkinkan banyak partai untuk bertarung dalam kontestasi politik. Dalam rumusan lain, koalisi merupakan salah satu konsekuensi logis dari ketiadaan pemenang mayoritas dalam kompetisi politik.

Soal besar kita selama ini, koalisi politik yang pernah dibentuk kerap tidak mampu menghadirkan pemerintahan yang efektif. Ketidakefektifan pemerintahan koalisi ini terjadi karena dua alasan. Pertama, koalisi dibangun tanpa komitmen yang jelas pada gagasan kebaikan umum. Kedua, koalisi dibangun hanya untuk kepentingan power sharing atau sekedar bagi-bagi kekuasaan.

Akibatnya, koalisi politik tidak pernah sampai pada level substantif; demokrasi mandeg di tangan pecundang politik. Bagi saya, inilah bahaya terbesar dari model koalisi ‘bongkar-pasang’ ini. Tarik ulur dukungan parpol pendukung sebenarnya sedang memberi sinyal bahwa fundasi dan motivasi berkuasa dari kandidat dan parpol pendukungnya tidak lebih dari nafsu serakah menjarah uang rakyat, baik legal maupun yang illegal demi mengembalikan modal selama pilkada berlangsung.

Untuk Kita

Fenomena ‘kutu loncat’ yang dipertontonkan oleh beberapa parpol di Mabar saat ini sebenarnya menunjukan secara gamblang maraknya politik transaksional. Dalam studi politik, inilah yang disebut dengan anomali politik. Anomali politik terjadi manakala partai politik terlampau cepat mengubah tidak saja dukungan politik tetapi juga pandangan politik; mirip bunglon yang kerap gonta ganti warna atau tupai (yang) loncat sana loncat sini. Sukar ditebak. Maka bisa dimengerti mengapa partai tertentu hari ini mendukung calon A dalam waktu singkat mengubah haluan dan mendukung calon lain.

Pada level ini, partai politik kita memang sedang mengalami disorientasi; yakni ketika parpol mendistorsikan fungsi aslinya. Fungsi parpol seperti sosialisasi, rekrutmen, kontrol politik, partisipasi politik dan agregasi kepentingan kemudian diubah menjadi hanya sekedar makelar politik semata. Sulit rasanya menemukan bakal calon pemimpin yang qualified untuk kabupaten ini kalau praktik politik ‘kutu loncat’ itu tidak diminimalisir.

Poin pentingnya, jangan memilih parpol yang berkarakter “kutu loncat” pada saat pemilu nanti. Di level Pilkada Mabar, tolok ukurnya jelas yakni memilih kader yang berkarakter, baik parpol maupun figurnya. Di hari penentuan nanti, pilihlah orang yang sekurang-kurangnya mempunyai integritas diri baik dalam hal pengetahuan (politik), sosial, moralitas dan komitmen.

Penulis adalah Aktivis GMNI Kupang

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini