Bercita-cita menjadi seorang arsitek,ternyata membawa Vhyo-begitu ia biasa disapa-pada pergulatan hidup yang tidak ringan. Kuliahnya tidak berjalan mulus sebagaimana diharapkan.  Kesulitan menantangnya. Akhirnya alumnus SMAK St. Fransiskus Saverius Ruteng ini putus asa. Ia sempat putus kuliah.

Untunglah, karena kebesaran hati orang tua membuat ia tidak patah semangat. Akan tetapi, kepada kedua orang tua, tanggung jawab ia ingin buktikan dari kegagalannya terdahulu. Dari situlah, ibarat cemeti yang menambah gairah, pengalaman pahit itu justru berjalan bersisian dengan semangat barunya saat ini.

Bagaimana Vhyo mengambil pelajaran dari pengalamannya? Berikut ia membagikan cerita kepada pembaca Floresa.co.


 

Saat pertama kali menjadi seorang mahasiswa Teknik Arsitektur di salah satu Universitas swasta di Jogjakarta, saya merasa sangat tidak percaya diri. Semangat yang awalnya sangat menggebu-gebu lenyap begitu saja ketika tahu bahwa teman-teman yang sekelas dengan saya semuanya lulusan SMK dan jurusannya gambar bangunan pula.Sedangkan saya hanya bermodalkan ijazah SMA yang dulu sering bolos sekolah. Saya merasa saingan saya sangatlah berat. Saya merasa takkan sanggup untuk menyaingi mereka semua.

Seminggu pertama saya mencoba untuk beradaptasi dengan lingkungan kampus. Saya sangat merasa asing dengan kampus itu, apalagi saat itu saya belum mengenal banyak teman.Di kelas pun saya merasa sangat bodoh saat diberikan tugas menggambar. Gambar-gambar saya pada saat itu jika di bandingkan dengan yang lainnya, dari angka satu sampai sepuluh, gambar saya berada di angka 2 sedangkan gambar teman-teman saya di angka 10. Setelah beberapa minggu perkuliahan berlangsung, saya sudah mulai putus asa dan mulai jarang berangkat kuliah. Hingga saat hasil perkuliahan semester pertama keluar, hasil yang saya peroleh lumayan baik bagi saya.

Setelah liburan semester pertama, semester baru pun siap untuk dimulai. Seorang teman kelas saya mendekati saya yang saat itu sedang duduk di depan kelas sambil menunggu dosen. Saat itu dia menanyakan soal hasil yang saya peroleh saat semester pertama. Dengan menundukkan kepala menahan malu saya memberitahukan kepadanya dengan nada yang tidak begitu jelas dengan harapan dia tak mendengarnya.

Saya merasa sangat kaget saat dia menjawab, “sama bro!”. Dengan sedikit rasa tidak percaya, saya lantas menanyakan hasil yang dia peroleh. Ternyata benar sama dengan saya. Saya coba menyemangatinya padahal saya sendiri sudah kurang semangat untuk melanjutkan kuliah saya. Untunglah saya terus berpikir bahwa “ini pilihan saya sendiri, jadi saya harus bertanggungjawab dengan pilihan saya”.

Setelah melewati tahun pertama kuliah, rasa percaya diri saya menguat, ingin menuntaskan kuliah hingga sarjana. Dengan usaha yang sangat keras saya berhasil memperbaiki hasil yang saya peroleh di semester awal dan mulai bisa menyaingi teman-teman saya yang lulusan SMK-SMK berkualitas di daerah jawa. Semua yang saya peroleh saat itu juga tak lepas dari bantuan beberapa teman saya yang terus mengajarkan saya tentang beberapa mata kuliah penting dalam jurusan Arsitektur.

996139_690628757658478_2621365244327701626_n
Vhyo dengan hasil karyanya

Saat memasuki semester 4 masalah yang tak terduga pun datang. Kala itu hidupku bagaikan bangunan high rise building yang sudah 50% jadi, tetapi kemudian runtuh dan hanya menyisakan puing-puing.

Saat itu saya dan beberapa teman kelompok saya bergegas menjumpai asisten dosen sebuah mata kuliah dengan SKS terbanyak yaitu 6 SKS. Kami menjumpainya hendak mendiskusikan tugas yang mengharuskan kami kurang tidur selama seminggu. Saat teman-teman saya mengkonsultasikan tugas mereka, begitu banyak kritikan tapi disertai dengan saran-saran yang cukup baik.

Ketika tiba giliran saya, dengan semangat 45 saya menghadap asisten dosen itu dan menyerahkan tugas-tugas saya. Akan tetapi, yang bikin saya jengkel adalah seenaknya dia mencorat-coret hasil kerja saya selama seminggu menggunakan drawing pen, apalagi  semuanya itu dia lakukan tanpa adanya saran dan pemberitahuan letak kesalahannya. Tak terima diperlakukan begitu, saya pun memberikan sebuah “kenangan” kecil di wajahnya, dan kenangan itu menyebabkan saya mendapat surat panggilan dari rektor.

Setelah beberapa kali mendapatkan surat panggilan dari rektor, saya pun menghadap dan mendapat teguran keras karena tidak menghiraukan surat panggilannya. Setelah menghadap rektor, saya merasa semua masalah itu sudah selesai dan tak ada lagi yang harus dipikirkan. Hari demi hari saya lalui, hingga tiba saat seorang dosen yang kenal baik dengan saya memberitahukan bahwa asisten dosen yang sudah mendapat kenangan dari saya itu adalah kerabat dekat sang rektor, dan menyarankan saya  untuk pindah kampus, sebelum nantinya dipersulit saat semester-semester akhir.

Saya mulai berpikir bagaimana jika hal itu  benar-benar terjadi nanti.  Saya akhirnya mengambil keputusan untuk menceritakan masalah yang saya alami kepada kedua orang tua saya. Saat pertama kali saya menceritakan masalah yang saya alami, kedua orang tua saya sangat kecewa dan hampir tiga bulan lamanya mereka enggan untuk berkomunikasi dengan saya.Beruntung!  Itulah kata yang tepat untuk saya. Karena tak lama kemudian, saya diberikan kesempatan oleh kedua orang tua saya untuk kembali memperjuangkan cita-cita yang sudah lama saya idam-idamkan. Saya ingin menjadi seorang arsitek. Akhirnya saya pindah ke Jakarta dengan tekad saya harus bisa mengembalikan kepercayaan orang tua yang sudah lenyap sekitar 90 persen kepada saya.

Di Jakarta, saya mendaftarkan di Universitas Persada Indonesia Y. A. I sebagai salah satu mahasiswa Program Studi Teknik Arsitektur.Seiring waktu berlalu, ada banyak hal yang saya  belajar dari kota Jakarta. Akan tetapi, masa lalu saya menjadi modal yang kuat agar semakin termotivasi kuliah di Jakarta. Juga karena pesan dari kedua orang tua, saya kini menjalani studi S1 saya dengan rasa lega dan bahagia, karena paling tidak kedua orang tua saya sudah kembali tersenyum bangga dengan hasil yang telah saya capai hingga saat ini.

Dari pengalaman kegagalan sebelumnya, saya mulai lebih bisa menerima apa pun dan bagaimanapun hasil yang saya dapatkan, kalau hasilnya bagus syukur, kalau kurang memuaskan berarti saya harus berusaha lebih keras lagi. Saya mendapat begitu banyak teman baru dengan berbagai karakter yang baru pula. Kegagalan yang sudah saya alami menjadi cambuk bagi saya dan saya tidak akan mengulanginya lagi. Semua itu sudah cukup membuatku merasa takut tidak bisa mencapai cita-cita saya menjadi seorang arsitek. Kerasnya kehidupan ibukota menjadi tantangan baru yang harus saya hadapi. Walau terkadang saya merasa lelah dengan kerasnya kehidupan Ibukota, tapi satu hal yang selalu berikan semangat baru bagi saya bahwa saya tak boleh mengulang kesalahan yang sama. “ Saya bisa menjadi seorang arsitek terbaik”; Itulah janji yang selalu saya tanamkan dalam hati dan pikiran saya.

Belajar dari pengalaman itu, menurut saya , jika kita tak berani mencoba sesuatu yang baru, kita takkan pernah mengerti apa yang harus kita lakukan. Rasa tidak percaya diri akan membuat kita takkan pernah mau belajar. Harus dicatat bahwa di dunia ini tak ada manusia yang bodoh, hanya saja terkadang kita tak pernah berani untuk mencoba sesuatu yang baru dan juga tidak yakin dengan kemampuan yang kita miliki.

Juga dari kegagalan yang pernah saya alami saya belajar bahwa sebelum melakukan suatu tindakan, kita harus bisa berpikir panjang sehingga kita bisa mengetahui resiko apa yang kita dapatkan.  Kita juga harus bisa bergaul dengan siapa saja dan dari kalangan mana saja, karena ilmu pengetahuan tidak hanya bisa kita dapatkan di kampus, sekolah maupun tempat-tempat formal lainnya, melainkan kita bisa belajar dimanapun dan kapanpun itu.

Satu hal juga yang selalu saya ingat, orang tua saya pernah berpesan bahwa kita boleh bergaul dengan pencuri asalkan kita jangan ikut jadi pencuri. Kita harus mengambil sisi positif dari semua hal yang menurut orang lain tak patut untuk di contoh. Karena menurut saya   “di balik kekurangan seseorang pasti ada kelebihan yang tak dimiliki orang lain”.