Untuk Kandidat Pilkada: Penelitian Penting, Bukan Sekedar Berkoar-koar

peelitian

Floresa.co – Andaikata para calon bupati dan wakil bupati di Manggarai dan Manggarai Barat memang memiliki niat tulus membangun daerah, penelitian terhadap pelbagai persoalan di tengah masyarakat sangatlah perlu dilakukan atau minimal sudah punya tim untuk melakukan hal itu secara komprehensif.

Karena sangat diharapkan, visi dan misi kemudian adalah hasil dari penelitian lapangan. Misalnya, kalau kemiskinan menjadi sorotan, perlu diselidiki, apakah kemiskinan itu disebabkan oleh kapabilitas orang miskin atau karena relasi antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Hanya dengan demikian, persoalan real di tengah masyarakat benar-benar terjawab.

Untuk itu, ada banyak konsekuensi yang harus ditanggung. Berpatok pada penelitian, latar belakang tingkat pendidikan dan pengalaman para calon tidak lagi menjadi begitu sentral. Dalam artian, kalau pun calon sudah mendapat gelar doktor dalam bidang tertentu tetapi kalau belum meneliti persoalan di tengah masyarakat Manggarai, calon tersebut layak disangsikan. Begitupun kalau calon sudah lama bekerja di lingkungan birokrasi, tetapi kalau hanya sibuk mengurusi administrasi tetapi tidak pernah meneliti di berbagai sektor, juga layak dipertanyakan kemampuannya.

Apalagi  kalau seorang calon mengandalkan hasil survei elektabilitas dan popularitas demi memenangkan Pilkada. Ia sangat-sangat layak diragukan. Karena kepentingan survei bukanlah untuk rakyat, tetapi untuk calon, sponsor, partai pengusung. Sebab bukan rahasia lagi, kerja survei dapat mempengaruhi psikologi publik. Seperti dalam psikologi ekonomi, orang bisa saja memilih kandidat yang dipilih dan difavoritkan paling banyak orang.

Lalu, seberapa pentingkah penelitian itu dalam menyikapi persoalan di tengah masyarakat?

Tidak Sekedar Percaya Common Sense

Ignas Kleden dalam buku Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan menjelaskan bahwa dalam menghadapi persoalan di tengah masyarakat sebaiknya kita tidak sekedar percaya pada common sense. Karakter persoalan masing-masing tempat sangat khas. Penelitian lantas sangat diharapkan.

Menurutnya, hal itu menegaskan bahwa sebuah fenomena sosial belum tentu ditengarai oleh faktor-faktor sosial yang sama. Ia mencontohkan soal kemajuan Eropa dan Jepang. Meskipun sama-sama tergolong negara maju, penyebabnya berbeda. Eropa maju karena konsep individualisme. Kompetisi masing-masing orang membawa kemajuan. Sedangkan Jepang menjadi maju karena kolektivisme. Kerja samalah yang membawa kemajuan.

Dalam kaitan dengan Manggarai, kita belajar supaya semakin berhati-hati dalam mendiagnosis persoalan. Fenomena kemiskinan, misalnya. Penyebab kemiskinan di Manggarai belum tentu sama dengan penyebab kemiskinan di Jakarta. Kalau pun sama, tentu ada variabel-variabl tertentu yang mesti diperhatikan sebagai kunci solusinya. Maka penelitian sangatlah berguna.

Tuntutan kerja pemimpin daerah lantas seperti seorang dokter. Ia perlu menanyai segala gejala sakit atau penyakit dari pasien sebelum menuliskan resep obat. Sebaliknya, tidak serampangan, sok tahu tanpa disertai pertimbangan yang jelas, tepat dan terukur.

Kalau tanpa penelitian seperti itu, masyarakat pemilih bisa terjebak dan tenggelam dalam kerumunan opini dan informasi. Mereka ditawari perubahan, disuapi informasi menarik, akan tetapi celakanya semua itu bisa saja hanya manipulasi belaka.Masyarakat lalu mempercayai informasi yang salah. Lingkaran setan persoalan pun akhirnya tak pernah terputuskan. Kelesuan berpolitik kemudian menjadi berurat akar. Politik dianggap tidak penting. Pilkada hanya semacam kegiatan mengisi waktu saja.

Tidak Tepat Sasaran

Dengan adanya penelitian, bukan saja persoalan di tengah masyarakat yang perlu diketahui, tetapi keinginan dan tujuan-tujuan dari kehidupan masyarakat itu sendiri perlu diserap dan dipertimbangkan. Hanya dengan demikian, makna politik akhirnya dikembalikan. Sebab politik pada dasarnya tidak diartikan sebagai pembangunan, tetapi pemberdayaan.

Mengapa demikian? Karena masyarakat bukanlah tong kosong yang seolah siap hanya siap diisikan oleh seabrek program dari para kandidat atau aktor pembangunan. Masyarakat bukan tanpa orientasi dan tujuan. Masyarakat bukan robot yang siap dikontrol.

Sebaliknya masyarakat punya tujuan dan dinamika sendiri. Potensi-potensi mengatur dan mengarahkan hidup (teleologis) sudah ada dalam masyarakat sendiri. Karena itu, penelitian perlu mendalami, apakah tujuan dalam diri masyarakat itu sendiri.

Selain untuk kepentingan masyarakat sendiri, ini penting agar agen perubahan tidak perlu mengulangi dosa-dosa masa lalu. Begitu banyak LSM, lembaga internasional, dan para misionaris kolonial yang alih-alih membawa perubahan dan pembangunan, justru mendatangkan mudarat di tengah masyarakat. Bukan kebaikan yang diperoleh, malahan menciptakan segudang persoalan. Itu karena logika politik tidak dipahami dengan baik.

Kenyataan demikian, diungkapkan James Ferguson dalam bukunya berjudul The Anti-Politics Machine: Development, Depoliticization and Bureaucratic Power in Lesotho. Ia menyebut aktor-aktor “pembangunan” itu, sebagai “mesin anti politik”. Karena mereka seringkali mengebiri persoalan politik sebagai persoalan teknis saja. Mereka sudah punya konsep sendiri dengan langkah yang sudah terukur dan sistematis ketika berhadapan dengan persoalan di tengah masyarakat.

Akibatnya, pada sisi lain, tujuan-tujuan dari masyarakat itu sendiri diabaikan. Mereka tersingkir dan hanya menjadi objek ekperimen dari mereka yang menyebut diri lebih “maju dan beradab” tadi. Pembanguan akhirnya tidak tepat sasaran karena absennya konsep pemberdayaan.

Membangun sebuah jembatan di sebuah desa, misalnya. Sebuah jembatan bagi lembaga bantuan internasional, barangkali bisa merangsang peningkatan kualitas hidup masyarakat di suatu tempat. Akan tetapi, begitu jembatan itu dibangun, tidak serta merta diikuti oleh peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat.  Apalagi setelah lepas tangan, jembatan akhirnya dibiarkan diselimuti oleh semak-belukar. Lantas ada apa? Adakah yang salah?

Mendikte seringkali menjadi pekerjaan orang pintar, tetapi bukan orang bijak. Memaksa apa yang menjadi gagasan dan konsep, tanpa tahu apa yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah kekeliruan yang sudah berulangkali terjadi. Politik tidaklah demikian. Politik adalah ketika seseorang berani memberdayakan masyarakat sampai mereka merasa membutuhkan jembatan, tidak dipaksa “memiliki” jembatan.

Artinya, cakrawala pemikiran masyarakat dibuka agar mereka sendiri tahu, apa dan bagaimana mereka perlu dibantu dan didorong sehingga mencapai tujuan-tujuannya sendiri.

Sekali lagi, dalam diri masyarakat sudah punya tujuan sendiri! Hanya perlu diberdayakan dan dicari-tahu melalui penelitian pada masa menjelang Pilkada ini agar pembangunan tidak menjadi salah sasaran dan asal-asalan.

Rekomendasi

Bertolak dari pertimbangan demikian, dalam pilkada mendatang, pentingnya penelitian sudah seharusnya memainkan peran penting. Para kandidat sebaiknya menggarap  ini secara serius.

Kalau pun belum, penelitian yang pernah dibuat bisa dijadikan referensi dalam merumuskan visi dan misi dan janji selama masa kampanye. Salah satunya, penelitian tentang Manggarai Raya yang pernah digarap oleh Cypri Jehan Paju Dale. Pemuda asal Cibal ini mempublikasikan hasil penelitiannya dalam buku Kuasa, Pembangunan, dan Pemiskinan Sistemik pada tahun 2013.

Dari segi waktu penelitian, hasil penelitian ini jauh dari tendensi demi kepentingan apapun dalam Pilkada yang baru akan terjadi pada tahun 2015 ini, kecuali mengurai persoalan di tengah masyarakat Manggarai Raya. Apalagi penulis bukan termasuk salah satu calon bupati.

Nah, dalam dua tahun penelitian di lapangan, lulusan Institute of social studies, Erasmus University ini berhasil menyoroti dan membakukan sejumlah persoalan di Manggarai Raya, antara lain kemiskinan struktural di dalam  dan sekitar kawasan Taman Nasional Komodo, paradoks pembangunan pertanian, pariwisata, dan pertambangan, masalah kopi, gula dan air,  tipu daya birokrasi dan proyek pembangunan, kasus Rumah Sakit Umum Daerah, dan ketertindasan kaum perempuan.

Persoalan air, salah satu contohnya. Ia menulis, bahwa privatisasi air menjadi persoalan paling krusial di Manggarai. Meski air bukanlah barang langka di Manggarai Raya karena banyaknya mata air, tetapi krisis air sudah mulai memberikan ancaman.

Di Ruteng, privatisasi air dimainkan oleh PT. Nampar Nos. Menurut catatannya, pada tahun 2011 perusahaan ini memperdagangkan 50, 860 liter air per hari dalam bentuk air gelas (920 ml), air botol (600 ml dan 1500 ml), air galon, serta sirup juice. Dari 50 orang buruh, gaji yang dipatok Rp 400.000 (karyawan yang baru masuk) sementara gaji manager tidak diketahui. Dipasaran rata-rata harganya Rp 2,000. Penghasilan bruto sehari adalah 101,720,000. Dalam sebulan 3,051,600,000 atau Rp 36,619,200,000 (36,6 milyard  rupiah).

Penyerahan pengelolaan air kepada pihak swasta semula memang tidak melanggar konstitusi.Undang-Undang Sumber Daya air mengijinkan praktik demikian melalui UU no. 7 tahun 2004. Akan tetapi, pada bulan Februari lalu, Undang-Undang tersebut dicabut oleh Mahkamah Konstitusi karena tidak selaras dengan pasal 33 UUD 1945 dan diberlakukannya kembali UU nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan.

Karena itu sudah seharusnya roda bisnis PT. Nampar Nos dihentikan. Apalagi, belakangan sempat diisukan bahwa krisis air yang mulai mengancam kota Ruteng beberapa bulan lalu, salah satu kemungkinannya adalah sedotan yang begitu besar dari PT tersebut sehingga mematikan sejumlah mata air.

Dari salah satu hasil penelitian tersebut, pertanyaannya adalah: Apakah ada calon yang berani berjanji mencabut privatisasi PT Nampar Nos?

Tawaran demikian tentu saja menarik. Dengan penghasilan 30-an milliar per tahun tersebut, investasi air sangat menjanjikan. Untuk investasi tersebut, paling-paling pemerintah hanya mengambil sekitar 3 persen dari anggaran kabupaten Manggarai pada yang berkisar 300-an milliar tiap tahun. Hasilnya, selain menambah pundi-pundi pendapatan daerah yang selalu rendah selama ini, usaha ini membuat masyarakat kota Ruteng dapat saja meminum air langsung dari krannya.

Poinnya adalah bahwa penelitian sangat penting karena para kandidat langsung berbicara tepat pada jantung persoalan. Tidak berkoar-koar sembarangan.

Tidak juga minimalis,misalnya hanya berhenti pada isu pertambangan. Tidak juga hanya mengandalkan isu-isu primordial seperti agama, suku, dan garis keturunan. (Gregorius Afioma)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini