Dukung Bangun Hotel di Pantai Pede, Ini Alasan Bupati Dula

1822
Bupati Agustinus Ch Dula (Foto: Ist)

Floresa.co – Polemik mengenai pembangunan hotel di Pantai Pede, Labuan Bajo, Manggarai Barat (Mabar), Flores-Nusa Tenggara Timur (NTT) masih terus berlangsung.

Perkembangan terbaru, selain membangun hotel, investor PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM) dikabarkan menawarkan 20 fasilitas umum di area tersebut yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.

Tampaknya, Bupati Mabar, Agustinus Ch Dula tidak keberatan dengan konsep baru pengelolaan Pantai Pede ini.

Dalam wawancara dengan Floresa.co pekan lalu, ia mengatakan akan menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB) kepada PT SIM.

Namun, ada permintaan yang diajukan Dula. Ia menyatakan tak setuju bila dibangun hotel berbintang di Pantai Pede.

“Saya untuk bangun hotel yang besar berbintang begitu, kurang setujulah. Sebaiknya kita omong jangan sebesar itulah (hotel bintang), karena kalau sudah seperti itu nanti kesannya bukan milik rakyat lagi. Ruang itu bukan ruang publik lagi, tapi itu sudah diprivatisasi,” tandas Dula.

“Tapi kalau hanya bangun hotel lantai satu, mengapa tidak? (Keberadaan hotel ini untuk menjaga lingkungan itu supaya bersih,” tambahnya.

Permintaan lain adalah pihak investor selain membangun hotel, juga membangun sarana publik, seperti kios untuk pemberdayaan masyarakat, tempat rekreasi, rumah adat dan fasilitas kesehatan.

Dan, yang tak kalah penting, kata Dula, pasir di Pantai Pede tetap milik masyarakat.

Dula mengatakan sudah pernah mendengar konsep pengelolaan pantai Pede dari pihak pemerintah provinsi NTT dan ia setuju dengan konsep yang ditwarkan itu.

“Apa mau Pede itu semak begitu terus? Sehingga menurut saya tidak ada masalah dengan gubernur sebenarnya, karena yang saya tidak mengerti itu, kenapa kita tidak pernah dengar (penjelasan pemprov),” ujarnya.

Dula mengaku menyayangkan kelompok yang kontra dengan rencana ini karena tidak pernah mendengarkan sosisialisasi dari pihak provinsi.

“Saya bilang kalau saya yang sudah dengar penjelasan, saya akan tanda tangan, karena saya tahu ada manafaatnya. Dan saya tidak akan pusing lagi cari loader, cari apa untuk bersih sampah, untuk bersih semak-semak ini. Dan itu semak-semak kalau tumbuh, itu maksiat pak di situ. Kalau semak-semak di situ, mau lihat ruang publik, laut di sana, tidak bisa lihat,” ujarnya.

“Lebih baik, silakan dia bangun hotel sederhana di situ, ya hotel yang masyarakat desa juga bisa atau turis, tapi dia bangun MCK, kemudian rumah adat, pelatarannya untuk atraksi budaya,” jelasnya.

Kalau hotel itu dibangun, kata Dula, maka pemerintah tidak lagi pusing-pusing membersihkan Pantai Pede.

Domain Gubernur

Dula kembali mengungkapkan bahwa persoalan Pantai Pede adalah kewenangan Gubernur NTT Frans Lebu Raya, karena aset tersebut milik pemerintah provinsi.

Karena itu, menurut Dula pengelolaan Pantai Pede pun menjadi kewenangan provinsi.

Pihak Pemda Mabar dan masyarakat, katanya, bisa mendiskusikan model pengelolaan yang baik agar tidak merugikan masyarkat.

Kalau masyarakat Mabar tidak setuju dengan konsep pengelolaan pantai tersebut, menurutnya, maka harus berhadapan langsung dengan gubernur.

“Bagi saya kalau gubernur tidak kasih, namanya dia kepala Provinsi NTT dan Mabar ada di NTT, ya tergantung dia. Kalau mau ya, kita pergi bersembah sujud, ‘Tolong Pak Gubernur.’ Kalau mau,”ujarnya.

Ia mengatakan penolakan atau tuntutan untuk menyerahkan aset Pantai Pede ke pemerintah kabupaten tidak bisa dilakukan dengan cara-cara demonstrasi karena dengan cara seperti itu justru membuat gubernur tetap mempertahankan kebijakannya.

Berubah-ubah

Pernyataan Dula pada pekan lalu tampak sebagai penegasan terhadap apa yang ia sampaikan usai rapat paripurna DPRD Mabar, 9 Desember 2014, ia mengatakan menyetujui permintaan Lebu Raya untuk membangun hotel di Pantai Pede.

Bahkan ia mengklaim, pembangunan hotel adalah penting bagi masyarakat Mabar.

“Tidak mungkin juga Labuan Bajo begitu terus saja. Saya punya mau juga supaya di Pantai Pede itu harus ada monumen apalah begitu. Bangunan apa yang sangat berarti yang membuat Labuan Bajo kaya sebagai akomodasi terhadap kepentingan pariwisata,” kata Dula.

Lalu, pada 16 Desember 2014, saat berdialog dengan perwakilan sejumlah komunitas orang muda di Labuan Bajo, ia mengatakan, tidak bisa melawan keputusan Lebu Raya.

“Omong tentang Pantai Pede, kalau diminta saya ikut berjuang melawan gubernur, saya minta maaf. Saya bupati. Kalau saya pensiunan bupati, mungkin,” ujarnya.

“Saya tidak mau mengatakan saya berjuang untuk Pantai Pede. Karena saya merasa apa ya, merasa sangat respek dengan gubernur”, demikian Dula.

Sulit untuk menolak opini yang berseliweran di masyarakat bahwa sikap plin-plan ini memiliki benang merah dengan negosiasi dan komunikasi politik yang belum final menjelang Pilkada.

Terkait sikap Dula yang tampak abu-abu, Pastor Marsel Agot SVD, imam senior yang menjadi salah satu penggerak perlawanan rakyat Mabar terhadap kebijakan Lebu Raya pernah mengatakan, dirinya tetap berharap Dula berdiri bersama rakyat Mabar.

Ia juga mengingatkan agar masalah ini jangan menjadi sekedar instrumen transaksi politik jelang Pilkada.

“Persoalan Pantai Pede tidak ada kaitannya dengan kepentingan Pilkada. Sekali lagi, kami tidak ada kepentingan dengan kandidat A, B dan C. Kami sudah tiga tahun perjuangkan hal ini,” katanya.

Ia mengatakan, Dula harus mengambil sikap jelas, menolak privatisasi. “Sebab kalau tidak, beliau akan melawan rakyatnya sendiri,” katanya mengingatkan. (Petrus D/ARL/Floresa)