[Cerpen] Anak Tuhan

Oleh: BONEFASIUS SAGI

Kupanggil namanya Jason. Tiga tahun umurnya. Sudah bisa memanggil namaku. “Mama Rina,” sebutnya.

Kosakata yang dilafalkannya memang terbatas, tapi dalam banyak hal sudah mengerti.

Anak yang sehat, badannya kuat, tak bisa diam; namanya juga anak-anak.

Waktu terasa berlalu begitu cepat sejak dia muncul pertama kali di muka bumi ini. Sebuah anugerah terindah dalam hidupku.

Dari rumah tetangga sebelah terdengar sayup-sayup lagu ‘Bocah Karbitan’-nya Iwan Fals. Kuikuti refren lagunya dengan lirih, “Gali gongli bocah karbitan, besar dari belaian ribuan bapak…” dan kuberhenti menyanyikannya.

Ah mengapa ada lagu itu?

Kupandang nanar ke luar jendela. Jalan kosong, sekosong pikiranku sekarang.

Cerah sekali sore itu, birunya langit tak ternoda awan kelam. Semuanya kosong, pikirku. Di mana-mana juga kosong, omong kosong.

Lagu ‘Bocah Karbitan’ dari tetangga sebelah mendadak berhenti, mati listrik rupanya. Bukan hal yang aneh.

Bocah karbitan, memenuhi kepalaku sekarang. Tidak, nasibnya tidaklah seburuk lirihan lagu kang Iwan. Ia tetap anak manusia, anugerah Tuhan dan – yang paling penting – ada ribuan bapak yang membelainya.

Membelai dengan cinta? Entahlah. Apa itu cinta? Entahlah. Tak perlulah berteori soal cinta, konsep cinta itu sendiri telah membatasi esensinya.

Anak lahir dari cinta? Entahlah juga.

Lamunanku terhenti seiring dengan berhentinya sebuah sepeda motor persis di jalan masuk kontrakanku. Kukenal dengan baik sepeda motor itu, pun pengendaranya, walaupun ia masih menggunakan helm dan perlengkapan keselamatan berkendaraan motor yang juga menjadi ciri khasnya.

Seperti biasa, tanpa melepaskan helm dan segala perlengkapan yang lain, dia langsung mendorong motor itu ke belakang. Tersembunyi di balik gudang yang tak terpakai.

Seperti biasa pula, aku biasa saja, tidak ada penyambutan antusias. Toh, dia sudah tahu sudut-sudut rumah kontrakan ini.

Biasanya, ia langsung menghampiri Jason, memeluk, mengangkat dan menciumnya. Dia merindukan Jason dan mungkin merindukan saya juga. Selalu begitu.

Dan, si Jason akan merasa senang sekali. Diangkat tinggi-tinggi oleh tangan yang kekar dan kuat itu, memberi kenyamanan pada si kecil. Dia tidak takut jatuh.

Dia percaya, cinta ayahnya jauh lebih kuat daripada gravitasi bumi. Setelah puas bermain dengan Jason, biasanya barulah ia ke kamar kecil.

Perjalanan jauh menggunakan motor seringkali menghilangkan sensitivitas kantung kemih yang penuh. Baru kemudian dia makan. Makanan biasa sudah kusiapkan di atas meja.

Kumenemani dia di meja makan. Jason seperti biasa tidak tinggal diam. Kadang bermain-main dengan mobil-mobilannya, kadang melipir di sampingku atau di samping ayahnya.

Momen di meja makan selalu seperti perjamuan akhir Tuhan Yesus dengan murid-muridNya bagiku. Tapi di sini, hanya kami berdua, dengan Jason yang belum paham.

Mengapa momen The Last Supper? Ah, mungkin terlalu bebas aku menafsirkannya. Tapi bagiku, perjamuan terakhir itu adalah sebuah pernyataan komitmen yang tiada duanya dan berulang-ulang diucapkan Pater Jimmy ketika saya mengikuti Ekaristi di gereja paroki atau lingkungan kami.

Momen itu, “Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: “Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku.” Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada murid-muridNya dan berkata: “Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.”

Alangkah dahsyatnya komitmen itu berlandaskan kasih paripurna.

“Apa yang kamu pikirkan?!”, saya dikagetkan dengan pertanyaan ayah Jason.

“Ah tidak, hanya ingat Jason, dia semakin pintar sekarang,” jawabku sekenanya, berbohong.

“Kamu berbohong,” desaknya.

“Kita semua sedang berbohong,” jawabku singkat.

Dan, sore menjelang malam itu menjadi sepi yang sesekali diselingi bunyi sendok beradu piring.

Kejadian seperti ini selalu istimewa, karena tidak sering terjadi. Ayah Jason hanya datang paling sering dua kali sebulan. Saya mengerti itu tapi sekaligus tidak mengerti. Paradoks kehidupan.

Kami banyak diam, sampai tengah malam. Setelah makan biasanya dia bermain-main lagi dengan Jason dan dalam diam seorang ibu dan istri saya menikmati setiap momen hubungan natural antara ayah dan anak.

Semakin malam Jason biasanya kelelahan, lalu tertidur. Dan kami beralih pada momen hubungan natural antara pria dan wanita dewasa. Semuanya natural berlangsung dalam diam.

Diam kadang bermakna lebih banyak daripada ribuan kata-kata.

Kemudian dia akan membersihkan badan sebentar, mengenakan kembali perlengkapan keselamatan berkendara motornya.

Sebelum mengenakan helm dia memberikan lipatan uang yang selalu ogah saya menghitungnya, lalu mencium keningku dan berkata, “Jaga Jason kita ya…”.

Hanya begitu.

Saya tidak pernah menanggapi kata-kata perpisahannya. Ikhlaskan dia pergi sebagaimana ikhlaskan pula kedatangannya kembali.

Setelah dia pergi, kurebahkan diriku di sofa ruangan tengah. Dari situ saya bisa melihat Jason yang tertidur pulas di kamarnya.

Saya selalu merasa terpesona dan kagum melihat wajah balita saat mereka tidur, apalagi Jason. Seandainya seseorang bertanya kepadaku, seperti apakah gambaran wajah malaikat menurutku, saya akan menjawabnya seperti wajah balita yang lagi tertidur pulas.

“Kau malaikat kecilku nak, anak Tuhan…sayang bapakmu seorang Romo”, kataku lirih menutup satu lagi malam hari.

(Cerpen ini didedikasikan untuk ibu (-ibu) yang telah melahirkan anak Tuhan, tapi ayah sang anak tak kunjung berkomitmen menjadi ayah dan suami)


Bonefasius Sagi lahir 5 Juli 1981. Ia menyelesaikan pendidikan menengah (SLTP/SMU) di Seminari Menengah Pius XII Kisol, Manggarai-Flores tahun 1999, lalu melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta dan selesai pada 2006. Sejak 2006 sampai sekarang bergabung dengan lembaga non-pemerintah Habitat for Humanity Indonesia (HFH Indonesia). Email: [email protected]

spot_img

Artikel Terkini