Suku Lamabelawa Kole Minta Pemerintah Hentikan Survei Lokasi Bandara Adonara

Floresa.co- Keturunan tertua Suku Lamabelawa Kole, Daniel Demon, meminta pemerintah untuk segera menghentikan kegiatan survei lokasi untuk pembangunan bandara Adonara di tanah milik suku mereka.

Pasalnya, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Pemerintah Kabupaten Flores Timur belum melakukan pembicaraan resmi terkait survei bandara tersebut dengan pihak Suku Lamabelawa Kole.

“Tanah ini masih sangat dibutuhkan oleh anak-cucu dari Suku Lamabelawa Kole, sehingga tidak bisa diambil begitu saja,” kata Daniel, sebagaimana dilansir Pos Kupang.com, Selasa (16/5/2015).

Menurut Daniel Tanah tersebut masih dibutuhkan untuk lahan pertanian, perkebunan, dan peternakan bagi anak-cucu keturunan Lamabelawa, dan sampai saat ini lebih kurang tanah seluas 50 hektare tersebut merupakan tanah milik suku, bukan tanah milik perorangan.

Karena itu, kata dia, tanah tersebut baru akan bisa dimanfaatkan pemerintah jika mendapat penyerahan secara sah dari suku, dan bukan orang-perorang.

Daniel menegaskan, jika ada pihak-pihak yang mengaku sebagai perwakilan dari Suku Lamabelawa Kole sehingga menyerahkan tanah tersebut, menurutnyaa hal tersebut tidak dapat dijadikan pemerintah sebagai dasar untuk melakukan survei. Pasalnya, penyerahan tersebut hanya mewakili orang perorang sebagai pribadi dan bukan suku.

“Saya tahu mereka (sejumlah anggota suku) melakukan pertemuan pada tanggal 27 Desember 2014 lalu, dan saya ada di kampong (Adonara). Tetapi mereka silih saya dan tidak memberitahu saya, dan juga sejumlah anggota suku. Jadi bagi saya pertemuan itu tidak sah penyerahan tanah suku kepada pemerintah,” tegasnya.

Menurut Demon, dirinya sudah membuat surat pemberitahuan kepada Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, terkait persoalan ini. Tembusannya disampaikan kepada Presiden RI, Ir. Joko Widodo agar pemerintah tidak boleh menjadi pemecah belah keluarga Lamabelawa Kole dengan pembangunan Bandara Adonara di tanah milik Suku Lamabelawa Kole di Meko, Wato wutun, Lewo Buto, Nuha Belen, dan Nuha Watopeni. (Armand Suparman/ARS/Floresa)

 

spot_img
spot_img

Artikel Terkini