Bola Panas Kisruh di DPRD Manggarai

Floresa.co – Kisruh di rumah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Manggarai menarik perhatian publik akhir-akhir ini.

Semua itu bermula dari laporan Marselinus Nagus Ahang, anggota DPRD dari Partai PKS. Ia menuduh Wakil Ketua DPRD Simprosa Rianasari Gandut atau Osy Gandut ikut bermain dalam proyek di sejumlah instansi. Osy lantas geram.

Ia pun mengajukan somasi terhadap Ahang dan mengancam akan melapor balik dengan tudingan pencemaran nama baik, jika Ahang tidak mencabut laporan dalam waktu satu kali 24 jam.

Namun, Ahang tak gentar. Ia memilih tidak mencabut laporan itu.

Perseteruan itu kian memanas. Sejauh ini tentu publik hanya bisa menduga-duga. Pasalnya, belum ada bukti yang memadai terkait laporan Ahang. Pihak kepolisian masih akan memanggil Ahang untuk melengkapi berkas laporannya.

Kini, Ahang dan Osy sama-sama memasang kuda-kuda.

Dalam ranah hukum, Osy memang butuh pembuktian dari Ahang, seberapa kuat bukti yang dibeberkan Ahang. Tentu konsekuensi berat siap membayangi Ahang. Jika ia tak punya bukti. Ia bakalan mendapat sanksi hukum lantaran sudah mencoreng nama Osy, anggota dewan dari Fraksi Golkar yang sudah menjabat beberapa periode tersebut.

Tetapi apakah Ahang melapor tanpa mempersiapkan bukti? Kalau pun ada bukti apakah sudah mencukupi? Kalau sudah mencukupi apakah ia bisa dibenarkan secara hukum?

Tentu sejumlah pertanyaan itu adalah sederet konsekuensi yang siap diterima Ahang ketika harus berhadapan dengan hukum.

Pasalnya, pengakuan Ahang, terlepas dari benar atau tidak, sudah menggulirkan bola panas. Baik di media sosial maupun di tengah masyarakat sudah berkembang diskusi-diskusi atas laporannya itu.

Beberapa pihak, misalnya, sudah berani mencari mata rantai lain dari kasus ini. Osy dianggap tidak mungkin bermain sendiri.

Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Manggarai menduga ada indikasi konspirasi antara legislatif dan eksekutif.

Ferdy Hasiman lebih jauh menegaskan, “Jadi ini berkaitan juga dengan mekanisme kontrol di Pemkab Manggarai. Tidak bisa tidak, ini punya kaitan dengan pola kepemimpinan Rotok dan Deno.”

Kalau sudah sampai di sini, tentu akibat pengakuan Ahang tak hanya menghebohkan rumah legislatif tetapi juga menggoyahkan panggung eksekutif.

Lantas apakah Ahang mampu menunjukkan alur cerita hingga menyerempet ke panggung eksekutif tersebut?

Itulah tantangan Ahang selanjutnya. Lagi-lagi kita masih menunggu. Yang jelas keberanian Ahang memang sudah mendapat kredit lebih dari masyarakat.

Lucius Karus, peneliti senior Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) mengapresiasi langkah Ahang dan menyebutnya sebagai bagian dari upaya mendorong transparansi dan akuntabilitas DPRD Manggarai.

Pasalnya, konspirasi dalam rumah legislatif tentu bakalan sulit terungkap kalau mengharapkan pihak luar yang membongkarnya. Apa yang dilakukan Ahang seolah membongkar kotak pandora yang tertutup rapat selama ini.

Hanya saja Ahang mesti mawas diri. Begitu pun masyarakat. Menyentuh area utama kekuasaan bukanlah pekerjaan mudah. Memiliki bukti yang cukup secara hukum tak serta merta menang dalam urusan hukum. Hukum yang benar di tangan penegak hukum yang potensi menyalahgunakannya rentan menjadi hukum yang tak memenuhi rasa keadilan.

Penegasan ini memang harus dibeberkan sejak awal. Pasalnya, integritas para penegak hukum sedang gencar-gencarnya dipertanyakan di Manggarai. Ada begitu banyak masalah hukum yang tidak memberikan rasa keadilan.

Sebelumnya, dugaan korupsi 21 miliar di Manggarai Timur (Matim) tiba-tiba tenggelam begitu saja dalam urusan polisi. Padahal temuan Badan Pengawas Keuangan (BPK) menunjukkan adanya indikasi kerugian negara.

Sangat wajar jika polisi yang menangani perkara ini juga dipertanyakan, berhubung kabar terkait adanya dugaan korupsi berhembus bersamaan dengan berita pemberian mobil Pajero Sport dari Pemkab Matim untuk Polres Manggarai.

Akan tetapi Ahang sudah terlanjur berani. Ia ibarat sudah berenang menghampiri garis tengah kolam sebelum sampai ke sisi seberang. Di tengah tantangannya, ia tinggal memilih, apakah terus berenang atau kembali ke tempat semula. Tetapi ia harus tahu, jarak untuk ke seberang, sama dengan jarak ia pulang kembali ke tempat semula.

Artinya, kalau Ahang sudah memulai secara hukum ia sudah seharusnya menuntaskannya. Bahaya yang mengancamnya seperti ketidakadilan hukum harus ia antisipasi. Ada banyak pihak yang siap mengawal asalkan ia terbuka baik kepada media,LSM, maupun masyarakat.

Akan tetapi, tekanan yang ia rasakan bukan tak mungkin bakal membuat ia memilih jalur alternatif menyelesaikan masalah ini. Ia, misalnya, dapat saja mengakhiri masalah ini melalui mekanisme internal lewat Badan Kehormatan (BK) atau mencabut kembali laporannya dari kepolisian.

Memilih penyelesaian masalah ini melalui BK tidaklah tepat. Bertolak dari UU MD3, BK hanya menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan kode etik. Sementara masalah yang dilaporkan Ahang berkaitan dengan mafia proyek, yang sudah termasuk ranah hukum.

Oleh karena itu, ucapan Kornelis Madur, Ketua DPRD Mangggarai bisa diperdebatkan sekaligus menimbulkan pertanyaan. Menurutnya, penyelesaian masalah ini seharusnya diselesaikan dalam lembaga pengadilan di instansi DPRD yaitu lewat BK.

Sementara di mata publik, Ahang sudah memantik ekspektasi untuk menyingkap tabir gelap dalam pemerintahan di Manggarai.  Ia bakalan di-“hukum” rakyat kalau hanya memberikan harapan palsu. Sekarang semua keputusan tergantung kepada Ahang. Apakah ia cukup berani atau tidak?

Di atas semua perkara itu, pesan yang mau dipetik dari kasus ini adalah bahwa perlu adanya reformasi mekanisme urusan proyek. Sudah saatnya mekanisme proyek harus lebih transparan melalui lelang secara terbuka. Proyek bukanlah urusan privat dalam lingkaran kekuasaan, bukan siapa yang punya akses dengan kekuasaan. Ini soal akuntabilitas, yang mensyaratkan adanya transparansi. (Gregorius Afioma)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini