Indah Jemidin: Belajar Merawat Budaya

Kolom ini, disediakan khusus oleh Floresa.co untuk tempat berbagi pengalaman, cerita-cerita bagi anak muda, putera-puteri asal NTT . Isinya tak seserius – kalau boleh dikatakan demikian – dengan tulisan-tulisan lain yang dipublikasi Floresa.co. Di sini, kami membagi tulisan-tulisan santai, yang ringan untuk dicerna. Jika Anda tertarik menulis di sini, silahkan kirim artikel ke [email protected].

Banyak orang yang tidak peduli pada warisan budaya lokal. Tetapi itu tidak berlaku untuk Indah Jemidin. Alumnus SMA Fransiskus Xaverius Ruteng ini sangat bangga selalu bisa tampil membawakan tarian daerah Manggarai selama ia kuliah di Jakarta.

Di sela-sela kesibukan kuliahnya di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Carolus, ia bersama temannya kerap berlatih menari.  Katanya, karena kecintaan pada warisan budayalah, sehingga ia begitu serius belajar menari. Ia berharap, orang lain pun akan diingatkan akan budayanya saat menyaksikan pesan yang mereka sampaikan lewat seni gerak.

Melalui kolom ini, gadis kelahiran Bima, 30 Desember 1994 ini akan bercerita tentang pengalamannya selama bergulat dengan dunia tari. Ia juga akan bercerita tentang gejolak perasaan yang melingkupinya. Simak tulisannya berikut ini:

Saya sangat senang dengan warisan budaya lokal. Tetapi tinggal di kota, warisan budaya lokal bisa dilupakan oleh siapa saja.

Salah satu yang saya senang adalah menari. Melalui tulisan ini, saya ingin sedikit berbagi cerita mengenai salah satu warisan budaya tradisional yang cukup menyita perhatian yakni tarian Manggarai.

Pada buku pelajaran Sekolah Dasar, kata menari berarti bertutur melalui seni gerak. Melalui tarian, orang dapat saja menyampaikan pesan. Terlebih jika yang dibicarakan adalah tarian daerah. Gaun yang dikenakan dan perhiasan antik yang diikutsertakan sudah menjadi simbol yang turut menyampaikan makna dari tarian tersebut. Inilah alasan yang membuat saya suka menggeluti dan gemar berlatih tarian daerah—terutama tarian daerah asal Manggarai.

Saya adalah salah satu mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu kesehatan di Jakarta. Di tengah kesibukan sebagai mahasiswi, saya bergabung dengan sebuah organisasi FKM3 yang telah lama dibentuk oleh para senior. Organisasi FKM3 terdiri dari orang-orang muda asal Manggarai. FKM3 ini yang kemudian memfasilitasi pembentukan sanggar tari daerah yang ingin diulas dalam tulisan ini.

Berada dalam organisasi ini, saya merasa tidak sendiri. Karena memang saya tidak sendiri. Ada beberapa teman yang sama-sama menimba ilmu kesehatan di STIK Sint Carolus Jakarta ikut bergabung dalam FKM3. Bersama kelima sahabat; Ellsa Hadia, Riani Ngambut, Ani Doma, Grace Putri, dan Inn Moen, kami mulai membentuk sanggar tari ini. Tujuan pembentukan sanggar ini pada awalnya guna memberi warna tersendiri pada FKM3. Harapannya, dengan demikian FKM3 menjadi lebih hidup dan dinamis. Hanya itu.

Awalnya, kami berenam kurang yakin dengan rancangan pembentukan sanggar tari ini. Waktu dan kesibukan kuliah menjadi tantangan yang perlu kami pikirkan serius. Meski berasal dari satu kampus yang sama, kami sebenarnya datang dari program studi yang berbeda. Selain itu, tempat latihan juga masuk dalam daftar masalah yang akan dihadapi ke depannya. Kekhawatiran itu tak berlangsung lama. Dukungan dan sikap positif dari orang sekitar dan bimbingan para senior muda berbakat, membuat sepak terjang sanggar tari ini tidak selalu dalam masa sulit. Entah kenapa, dalam proses selajutnya kami begitu mudah mengkoordinasi waktu dan tempat latihan dengan baik.

1432200542167
Indah bersama teman-teman menarinya

Bukan hanya itu, kami pun sedikit kesulitan untuk mendapatkan alat musik tarian tradisional seperti gendang, gong, dan atribut penari, seperti: kain songke, mbero (baju tari), dan bali-belo. Atas bantuan beberapa kerabat dekat, semua kesulitan ini bisa diatasi. Pada gilirannya, gaun tari dan atribut tersebut bisa didapati. Terkadang kekompakan dan kerja sama yang solid membuat perkara sulit menjadi mudah dan ringan.

Kekhawatiran berlanjut. Bukan mengenai aspek internal sanggar, tetapi lebih kepada konsumen atau para peminat tari tradisional. Apakah masih ada di Jakarta yang meminati tarian ini? Masih relakah setiap pribadi modern meluangkan waktu untuk sejenak menikmati dan memaknai sajian tari yang terbilang kuno ini? Tentu saja, ini melahirkan sikap pesimis.

Seni tari bagi segelintir orang adalah salah satu seni yang sulit untuk dikembangkan, apalagi jika berbicara tentang seni tari tradisional. Jangankan menyaksikan tarian tradisional, mendengar tentang tari tradisional saja mungkin merasa gerah. Kesannya jadul, kuno, dan tentu saja tidak memiliki daya pikat. Terbersit dalam benak, akan ada banyak hal sulit yang akan kami jumpai nanti. Terutama soal penolakan karena kecenderungan orang yang masih memandang sebelah mata.

Kecurigaan dan sikap pesimis kami segera dijinakkan. Pada 30 Desember 2012, tawaran pertama datang. Tawaran ini berasal dari keluarga seorang senior di kampus yang akan melangsungkan pernikahan. Senior kami ini berasal dari Manggarai. Kami menerima tawaran ini dengan senang hati. Kami tidak berlatih sendirian, karena kami dilatih oleh seorang senior berbakat yang bernama Kakak Elsa Sambang.

Pada saat itu, Kakak Elsa—begitu kami menyapanya, melatih tarian “TIBA MEKA” (tarian Terima Tamu). Tarian ini dipentaskan pada saat acara penyambutan tamu terhormat. Tarian ini harus mengandung unsur-unsur: keramahan, ketulusan hati, dan sopan santun masyarakat Manggarai saat menyambut tamu. Mengingat sedari dulu masyarakat Manggarai dikenal sangat ramah dan terbuka terhadap tamu atau para pendatang. Wujud keterbukaan itu terlihat dari beraneka ragam suku, ras, dan agama masyarakat yang hidup di Manggarai hingga saat ini.

Sentuhan awal latihan ini mengundang semangat. Rasa optimis dalam diri kami tiba-tiba muncul dan semakin membuat kami bersemangat setelahnya. Berangkat dari rasa optimis, kami pun berusaha tertib dalam mengatur waktu. Hari berganti, kami semakin fasih membawakan tarian tersebut, dan mampu mengolah tubuh hingga dapat mengekspresikan ragam tari tersebut. Hanya saja kami masih terkesan membawakan tarian ini dengan wajah yang tampak “menghitung ragam” dan kaku. Kami belum mampu tersenyum lepas dan menikmati ragam per ragam. Kesannya, kami menari di bawah aba-aba.

Dalam sesi latihan yang dibawakan seserius mungkin, kami lambat laun bisa membawakan tarian dengan senyuman tenang. Namun, beberapa kali terjadi; karena terlalu fokus untuk selalu tersenyum akhirnya ragam tari begitu mudah terlupakan. Kekonyolan-kekonyolan kecil ini kami nikmati sebagai bagian dari proses menuju kesempurnaan. Beberapa hari terakhir menjelang tampil, kami mulai terbiasa menyeimbangkan senyuman dan hitungan gerakan.

Tibalah hari penantian itu, dimana kami akan menampilkan tarian perdana di depan khalayak. Perasaan pun campur aduk. Muncul rasa gelisah, deg-degan, nervous, dan terutama demam panggung karena takut salah. Beruntung ketika itu, kami tampil cukup maksimal. Dan memang benar, di awal kami diberi pujian dengan tepuk tangan meriah dari hampir semua tamu undangan. Sambutan meriah ini sontak membuat kami semakin yakin tersenyum dan menampilkan yang terbaik.

Seusai perhelatan acara, kami masih mendengar komentar-komentar positif dari para tamu undangan yang hadir. Kami begitu yakin bahwa komentar spontan dan lepas pasti bersifat tulus. Ini merupakan modal awal kami untuk bergerak. Ternyata, cukup banyak orang yang masih menyimpan rindu untuk menyaksikan sajian tari tradisional. Apalagi untuk masyarakat Manggarai yang merantau dan tinggal jauh dari tanah leluhur. Menyaksikan tari tradisional seolah menghadirkan kembali memori “akar” yang telah sekian lama kusam bersama arus modernisasi.

Tampilan perdana inilah yang membuat sanggar kami cukup banyak dikenal. Secara berurutan banyak orang yang mulai menggunakan jasa sanggar tari ini untuk memeriahkan acara-acara. Acara yang pernah memakai jasa sanggar tari ini, diantaranya nikah, acara pembukaan futsal club, dan acara natalan bersama. Hal yang paling berkesan dan sulit dilupakan adalah para orang tua asal Manggarai yang sudah lama hidup di Jakarta memberikan apresiasi untuk kiprah sanggar tari ini.

Semakin lama kami menggeluti tari ini, tujuan dan motivasi kami semakin berkembang. Jika awalnya untuk memberi warna pada organisasi FKM3, saat ini tujuannya lebih luas dan dalam, yakni mau memperkenalkan seni tari Manggarai kepada semua orang.

Biasanya, saat orang menyebut Manggarai, yang langsung muncul dalam benak adalah Komodo, Wae Rebo, sawah jaring laba-laba, dll. Orang begitu mengabaikan salah satu aset budaya yang satu ini, tari tradisional Manggarai. Tentu saja jenis tari ini masih kalah pamor jika disandingkan dengan tarian caci yang tersohor itu. Lewat tarian-tarian yang kami bawakan, seperti tarian TIBA MEKA, RANGKUK ALU, dan TOTO MOLAS kami ingin mengajak masyarakat modern untuk kembali merawat “akar” budaya tradisional. Merawat, tentu saja dengan mengenali dan menemukan makna di balik lekuk gerak tubuh sang penari.

Di akhir tulisan ini, saya ingin berbagi kisah pahit yang juga mengharukan. Pada Februari 2015, kami diminta kembali untuk membawakan tarian pada acara Natal Bersama Keluarga Manggarai di Jakarta. Hanya ada empat personil saja yang bisa membawakan tari ini saat itu. Tarian ini dibawakan untuk menghantar persembahan pada perayaan ekaristi. Kami sangat yakin bahwa semua yang telah kami persiapkan, mulai dari musik hingga ragam-ragam baru yang ingin dipertunjukkan, sudah mantap. Pada awal tampilan, semuanya terasa biasa dan baik-baik saja. Entah mengapa, di pertengahan tarian, musik langsung ngambek (off). Para penari terpaksa melanjutkan tarian tanpa iringan musik. Secara tiba-tiba, serempak tepuk tangan yang berirama dan nyanyian datang dari semua hadirin guna mengiringi para penari. Kebetulan, lagu yang kami pakai cukup populer dan familiar di kalangan keluarga Manggarai. Luar biasa, sebuah apresiasi yang patut dibanggakan.

Menyaksikan ini, saya bersyukur; bahwa ternyata masih banyak masyarakat Manggarai-Jakarta yang mengapresiasi, mendukung, dan memperhatikan seni tari tradisional. Akhir kata, saya mewakili sanggar tari dan para penari lainnya, mengucapkan terima kasih kepada semua Ase—Ka’e Manggarai-Jakarta yang telah mendukung dan mengapresiasi sanggar tari ini. Saya ingin mengutip sebuah slogan: “bagaimanapun hijaunya daun dan cantiknya bunga yang bermekaran, mereka tak lekas sombong dan begitu mudah melupakan akar yang selalu memberi mereka makan”. Mari, kembali merawat “akar”.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini