Pastor Marsel Agot: Kami Tidak Akan Mundur dari Pantai Pede

Baca Juga

Floresa.co – Pastor Marsel Agot SVD, imam yang berbasis di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) memberi pesan penting bagi para pemimpin di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terkait rencana pembangunan hotel di Pantai Pede.

Imam berusia 65 tahun itu menyampaikan jawaban tegas saat ditanya terkait  apa yang akan ia lakukan bersama warga Mabar jika Gubernur Frans Lebu Raya tetap bersikeras memberikan pantai itu kepada PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM), milik Setya Novanto, Ketua DPR RI.

“Warga Mabar akan menduduki lokasi.  Kami tidak akan mundur dari Pantai Pede,” kata Pastor Marsel kepada Floresa.co, Jumat (22/5/2015).

Imam asal Kampung Wela, Kecamatan Kuwus ini memang sejak awal berjuang keras melawan upaya privatisasi Pantai Pede. Bersama sejumlah kaum muda dan organisasi masyarakat sipil mereka terus memprotes kebijakan Pemprov NTT itu.

Sejumlah langkah telah mereka rancang, menyikapi perkembangan terbaru kasus ini, setelah awal pekan ini beredar informasi  bahwa sudah ada persiapan untuk pembangunan hotel berbintang di Pantai Pede.

Para aktivis di Mabar, kini terus memperkuat jaringan, merapatkan barisan.

Ketika pada Rabu lalu beredar kabar ada arsitek hotel yang berada di Labuan Bajo, aktivis terus memantau lokasi.

Kris Bheda Somerpes dari Sunspirit for Justice and Peace mengatakan, arsitek yang dikabarkan menginap di Jayakarta Hotel, dilaporkan kembali lagi ke Jakarta, setelah mendengar informasi bahwa warga memperkuat gerakan untuk melakukan perlawanan.

Warga di Mabar memang tak sekedar menolak bangunan hotel di pantai itu.

Berlawanan dengan pola pikir pemerintah yang sempit, warga sudah pernah menggagas pola pemanfaatan Pantai Pede sebagai ruang terbuka.

Baca: Ini Cerita Tentang Serunya Perdebatan Saat Sosialisasi Pantai Pede

Mereka dalam waktu dekat juga akan melakukan ativitas di pantai itu dengan mendirikan panggung hiburan.

Kontras dengan Pemerintah

Apa yang dilakukan warga Mabar kontras dengan sikap yang diambil pemerintah.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat Pemerintah Provinsi NTT misalnya  memberi sinyal bahwa tidak ada langkah mundur dalam pembangunan hotel itu. Saat ini, mereka hanya menunggu Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

“Kalau akan membangun, sudah jelas, pasti. Karena sudah jelas ada MoU-nya. Bahwa sekarang itu masih terkendala karena izin membangunnya belum keluar ya betul, tapi bahwa akan membangun, tetap akan dibangun karena itu sudah optimalisasi aset, tidak bisa juga provinsi membiarkan aset terlantar begitu,” katanya kepada Floresa.co.

Sikap ngotot pihak provinsi dipicu adanya keyakinan bahwa Pantai Pede adalah aset provinsi, sebuah klaim yang masih problematis, karena para aktivis juga memiliki sejumlah argumen yang berseberangan dengan pihak provinsi.

Gubernur NTT Frans Lebu Raya sudah menyerahkan pengelolaan pantai itu kepada PT SIM, lewat sebuah MoU yang ditandatangani pada 2014 lalu dengan Nomor HK.530 tahun 2014 dan nomor 03/SIM/Dirut/V tanggal 23 Mei 2014.

Meski terus didesak untuk berani mempertahankan Pantai Pede dan menyatukan sikap dengan warga Mabar, namun pemimpin di daerah itu mengambil posisi mengecewakan.

Saat ini Bupati Agustinus Ch Dula dan Ketua DPRD Mateus Hamsi masih saja tidak memiliki posisi sikap yang jelas.

Sikap Dula berubah-ubah, di mana ia pernah menyatakan menolak privatisasi Pantai Pede, tapi kemudian mengatakan mengikuti gubernur. Terakhir, ia kembali menyataan menolak, setelah ada tekanan publik.

Baca: Ini Riwayat Sikap Dula yang Plin-plan dalam Polemik Pantai Pede

Sementara Hamsi, hingga kini masih linglung. Mirisnya, politisi Partai Golkar ini, yang pernah bertandang ke Kupang untuk membahas masalah Pantai Pede, kemudian membuka ke publik hal lain yang dibahas dalam pertemuan itu, yakni terkait Pilkada Mabar.

Ia membicarakan dengan Lebu Raya kemungkinan adanya dukungan dari PDI Perjuangan untuk dirinya yang akan maju pada Pilkada 9 Desember mendatang,

Ini tentu membuat upaya mempertahankan Pantai Pede dengan menaruh harap pada Gusti Dula dan Hamsi tampak sia-sia.

Baca: Polemik Pantai Pede: Panggung Sandiwara Politik Dula dan Hamsi

Upaya mereka memuluskan langkah menuju kursi panas calon bupati akan membuat mereka sangat hati-hati mengambil sikap.

Praktek Brutal Oligargi

Banyak pihak melihat, apa yang tampak dalam kasus Pantai Pede menampakkan dengan telanjang bahaya oligarki.

Dalam sebuah surat terbuka untuk Lebu Raya dan Novanto, Romo Max Regus Pr dan Cypri Jehan Paju Dale, dua akademisi asal Manggarai Raya menyebut,  pemaksaan kehendak kekuasaan seperti yang diperlihatkan Lebu Raya dan Novanto sudah dan sedang menunjukkan model bangunan politik lokal NTT dan Mabar seperti mesin yang tidak punya nurani politik.

Baca: Romo Max dan Cypri Dale: Kebrutalan Lebu Raya dan Novanto Harus Dihentikan

Yang kini terjadi, kata mereka adalah praktek paling brutal dari oligarki politik Indonesia: kekuasaan politik dan kepentingan ekonomi menjadi satu, dan merampas ruang hidup warga.

Dalam kasus Pantai Pede, yang tampak adalah konspirasi penguasa dan pengusaha; politisi, birokrat, dan pengusaha yang untuk atas nama investasi merampas ruang, akses, dan manfaat pembangunan dari masyarakat, serta mengabaikan hak dan kebutuhan mereka atas ruang publik pantai..

Mereka mengingatkan, akibat dari arogansi Lebu Raya dan Novanto sangatlah buruk.

Yang mereka tunjukkan adalah membangun Mabar, “menjadi industri pariwisata yang berkembang cepat dengan hotel dan resort, tetapi masyarakat semakin tergusur dan kehilangan ruang publik, dan tidak turut serta dalam merencanakan, menjalankan, dan menikmati hasil-hasil pembangunan itu”. (Ari D/ARL/Floresa)

Terkini