Batu Akik, Batu Penis dan Politisi

Oleh: JHONNY DOHUT OFM

Fenomen batu akik menarik didengar dan penting direfleksikan pada paroh pertama 2015. Refleksi menjadi menarik jika kita mencerap fenomen ini dalam kaitan dengan pentas politik negeri ini sejak 2014 lalu. Paling kurang ada beberapa peristiwa politik yang menjadi latar bagi mencuatnya fenomen batu.

Pertama, kita telah menyambut 2014 sebagai tahun politik. Tahun berlangsungnya suksesi pemilihan Presiden dan wakil Presiden yang menjadi langkah penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Saat itu, kekecewaan terhadap enembelas tahun pemerintahan pascareformasi mencuat ke permukaan. Presiden datang silih berganti tetapi kemiskinan, toleransi, korupsi, dan pelanggaran hak-hak asasi manusia terus menjadi persoalan untuk bangsa ini. Saat itu, ada harapan baru yang diletakkan pada presiden terpilih Joko Widodo. Dua ribu empat belas juga menjadi tahun ketika rakyat memilih wakilnya di DPR. Ada wajah baru hadir di lembaga terhormat yang pernah disindir Taman Kanak-kanak oleh mendiang Presiden Gus Dur. Harapan baru juga diletakkan pada pundak mereka.

Kedua, kisruh dua kubu di DPR RI terkait UU pilkada, juga konflik Ahok vs DPRD DKI Jakarta di paroh pertama 2015 sempat memudarkan harapan publik. Publik kembali digiring ke keprihatinan yang menyejarah: kepentingan tak pernah absen bermain dalam kancah pemerintahan kita. Pemerintahan tanpa kepentingan barangkali sebuah kemustahilan di negeri ini. Ketika kepentingan meraja, ada nilai-nilai luhur yang disingkirkan ke tepi. Tentu saja rakyat bukanlah pihak yang diperhitungkan dalam percaturan politik kepentingan. Girilan rakyat menjadi subjek penting telah lewat. Rakyat perlu menunggu musim pilkada atau pilpres berikutnya yang memberi posisi penting untuk mereka. Rakyat lagi-lagi kecewa.

Gugatan atas Nawacita yang dicanangkan Presiden Jokowi dan Jusuf Kala mulai bergaung. Di antaranya ketika hukuman mati atas terpidana Narkoba dijalankan di Nusa Kembangan: orang menggugat komitmen Jokowi–Jk pada upaya menegakkan hak-hak asasi manusia.Adakah penghargaan atas HAM dalam hukuman mati?

Mari Mendengar Batu Akik

Ketika politik mengecewakan, batu akik menyingkap harapan. Politisi bisa jadi makin dibenci. Sebaliknya orang makin cinta pada batu akik. Politisi dan batu akik boleh kita sandingkan di sini dengan keunikan masing-masing. Keduanya memiliki masa pendukung sekaligus cara memikat masa yang khas. Politisi berkoar membualkan janji-janji perubahan. Mereka menggalang dukungan dengan kecanggihan berorasi yang dipoles sedemikian rupa agar bisa menyakinkan masa. Pantas saja ada diskusi ketika Jokowi diusung jadi capres. Ada wacana apakah keterampilan berorasinya perlu dipermak atau tidak. Saat itu Jokowi dibiarkan begitu adanya. Keterampilan berorasinya dibiarkan tetap khas seorang Jokowi. Politisi tidak harus seorang orator. 

Batu akik tampil sebaliknya. Ia tidak menyiarkan suatu orasi apapun namun mampu menyihir ribuan rakyat negeri ini. Rakyat kita beramai-ramai memburu batu akik. Ada harapan baru yang ingin dicapai dengan memburu batu akik. Mimpi kesejahteraan diletakkan pada batu akik. Orang mulai lupa pada janji-janji manis para politisi dan birokrat yang kini sibuk dengan kepentingan mereka. Yang paling penting bagi rakyat adalah berapa harga batu akik dan dimana batu akik bisa ditemukan.

Batu akik sontak meramaikan bisnis assesories dari pusat hingga daerah-daerah. Orang mencoba peruntungan pada bisnis ini. Batu akik menjelma sosok yang dicari-cari. Berbeda dengan politisi, pada batu akik tidak ada janji muluk-muluk tetapi ada perubahan nyata. Kerja keras dan gigihnya pencarian niscaya dibutuhkan di pihak pemburu. Orang bahkan harus masuk hutan, menggali hingga petang demi sebongkah batu akik. Di sana orang bermandi keringat; tahu artinya kerja keras untuk memperoleh sesuatu. Ini suatu ejekan untuk sebagian politisi kita di ruang eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Uang dicapai tidak dengan kerja keras tetapi melalui korupsi dengan beragam modus operandinya. Bahkan mereka duduk dan mengantuk, rakyat memberinya uang, uang mengantuk.

Kegandrungan pada batu ini terjadi dalam konteks kekecewaan terhadap iklim politik negeri ini yang masih diaktori politisi-politisi karbitan. Seolah sebuah sindiran, daripada mendengar politisi dengan janji-janji palsunya, lebih baik kita mencari batu akik. Rakyat kita sedang mendengar dan percaya batu akik.

Batu Penis Liang Bua

Dalam konteks ini pula legenda Batu Penis (Penis Stone) di Liang Bua, Manggarai, Flores NTT, mencuat ke permukaan. Batu Penis dipercaya mampu menghadirkan keajaiban bagi pasangan yang kesulitan mendapat momongan. Ziarah batu penis menunjukkan tuahnya pada sejumlah pasangan yang segera mendapat momongan setelah berkunjung ke Batu Penis. Ada ritual kecil yang konon ampuh untuk mewujudkan harapan pasangan yang rindu punya momongan.

Mencuatnya legenda batu penis ini perlu ditangkap dalam konteks pilkada Manggarai dan Manggarai Barat serta beberapa kabupaten di NTT. Ini merupakan bentuk lain dari kegandrungan pada batu. Rakyat kita sedang mendengar dan percaya serta meletakkan harapan pada batu. Disebarluaskannya legenda batu penis ini oleh koran-koran lokal terjadi dalam konteks ramainya upaya para paket calon bupati menggalang dukungan politik.

Janji-janji perubahan pun disampaikan dalam konteks masyarakat yang sedang gandrung mencari batu. Tak dapat tidak, kita perlu belajar pada batu. Ada batu akik; juga batu penis. Batu tak menggalang masa pemburu dengan orasi hebat. Batu diam tanpa kata, tapi nyata memikat hati banyak orang. Batu memberi perubahan bagi mereka yang mencari dan menemukannya. Batu tak mengobral janji tetapi akan menjawab impian. Ribuan rakyat negeri ini turut meramaikan perburuan batu akik.

Belajar dari pemburu batu akik, yang dibutuhkan adalah kerja keras dan pencarian tak kenal lelah. Tentu saja ada yang kecewa di ujung pencariannya. Batu akik tak kunjung ditemukan. Momongan juga tak kunjung datang meskipun telah ziarah berkali-kali ke batu penis. Tetapi adakah yang lebih mengecewakan daripada janji politisi yang diucapkan dan tak pernah diwujudkan?

Hemat saya, politisi perlu bergaya batu akik tapi bukan kepala batu. Saatnya politisi mendengar dan mencontoh batu akik; menjawab harapan publik tanpa orasi dan janji muluk-muluk. Batu akik dan batu penis tak pernah berorasi meyakinkan para pemburunya. Para pemburunya tahu benar bahwa daya pikat batu akik bukanlah rayuan gombal. Batu penis pun tak pernah mendatangi pasangan suami istri dan menawarkan janji momongan. Kekuatan batu justru ada dalam diamnya yang berdampak.

Kegandrungan pada batu memberi pesan jelas: hati-hati mengumbar janji, karena rakyat kita sedang percaya batu. Batu akik dan batu penis sedang didengar ‘suaranya’ oleh rakyat negeri ini. Rakyat kita sedang muak dengan kata-kata, orasi dan janji-janji. Mereka memilih berpeluh mencari batu. Pencarian itu bukan omong kosong melainkan kerja keras.

Dengan agak sewenang-wenang mencabut dari konteksnya, kita boleh merenungkan ucapan Sukad untuk kekasihnya Alina dalam cerpen Seno Gumira Ajidarma Sepotong Senja untuk Pacarku, (Kompas 9/2/1992). Kita boleh mengganti subjek tertuju, Alina, dengan politisi atau calon bupati.

Politisi dan calon bupati…. “Sudah terlalu banyak kata di dunia…dan kata-kata, ternyata tidak mengubah apa-apa….Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagipula siapakah yang masih sudi mendengarnya?…Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi.”

Saatnya bertindak seperti Sukad yang memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Jika ini gagal, rakyat memiliki gerinda selektifnya sendiri yang akan menyingkirkan politisi batu non akik.

Penulis adalah calon imam Fransiskan, sedang menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Seminari Pius XII Kisol, Manggarai Timur – Flores.

spot_img

Artikel Terkini