Siaga Bahaya Narkoba di NTT

Floresa.co – Berita eksekusi terpidana mati kasus narkoba mewarnai pemberitaan media akhir-akhir ini. Respon publik pun beragam. Ada yang mendukung eksekusi tersebut. Namun banyak juga yang menentang. Dan, sebagian orang memilih acuh tak acuh.

Bagaimana posisi kita terkait eksekusi itu? Mendukung atau menolak?

Eksekusi mati memang persoalan pelik, yang melahirkan perdebatan panjang. Dalam konteks perdebatan di Indonesia, pemerintah yang bersikeras menganggap hukuman mati sangat layak untuk mereka yang terlibat kejahatan narkoba berhadap-hadapan dengan para aktivis HAM, serta tokoh agama, terutama Gereja Katolik, yang menganggap itu bukan pilihan bijak.

Ada beragam alasan yang jadi patokan mereka, terutama karena persoalan narkoba dinilai sangat kompleks, proses peradilan di Indonesia yang masih jauh dari standar fair trial sehingga terbuka kemungkinan mereka yang dieksekusi sebenarnya tidak bersalah, serta argumentasi soal hak hidup yang tidak bisa dicabut oleh siapapapun dan dalam keadaan apapun.

Terlepas dari perdebatan soal hukuman mati itu – apakah dibenarkan atau tidak – yang jelas, masalah narkoba tengah menjadi momok yang berpotensi menghancurkan masa depan bangsa kita.

Kini, ancaman narkoba juga mengintai masa depan anak-anak Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sebuah survei tahun ini yang digelar oleh BNN NTT dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) menunjukkan, terdapat 43 ribu warga NTT yang mengonsumsi narkoba.

Aloysius Dando, Kepala BNN NTT mengatakan, jumlah tersebut mengalami peningkatan yang cukup mencengangkan, karena survei dua tahun lalu (2013) menunjukkan jumlah pengguna narkoba di daerah ini sebanyak 30.000 orang.

Untuk konteks Manggarai Raya (Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur), peredaran dan penggunaan narkoba patut diwaspadai semua pihak, mengingat Labuan Bajo, ibukota Mabar, menjadi salah satu pintu gerbang masuknya narkoba ke NTT, selain Mota’ain di Kabupaten Belu, Maumere di Kabupaten Sikka, Tambolaka Kabupaten Sumba Barat Daya, dan Waingapu Kabupaten Sumba Timur.

Indikasi kerawanan Labuan Bajo misalnya sudah kian kelihatan ketika Direktorat Narkoba Polda NTT menangkap tiga pengedar narkoba di kota pariwisata ini pada awal tahun ini.

Tersangka yang ditangkap adalah Lilik Haryanto alias Anto, warga Blora, Jawa Tengah. Juga Cakalang, Hairil alias Hery, dan Abdul Haris alias Rijes, warga Sape, Bima. Dari tangan tersangka. polisi berhasil menyita 500 gram paket ganja kering yang siap edar.

Polisi terlebih dahulu menangkap Lilik Haryanto. Dari keterangan tersangka, polisi berhasil menangkap Hairil di atas kapal dan Cakalang di Pelabuhan Sape. Sementara itu,  Abdul Haris ditangkap di pintu masuk pelabuhan Bima. Setelah penangkapan, ketiganya ditahan di Mapolda NTT.

Meski tidak menutup kemungkinan, narkoba bisa dipasok dari Maumere, Sikka, tetapi Labuan Bajo sebagai pintu gerbang yang lebih dekat, tentu berpengaruh terhadap peredaran narkoba di Manggarai Raya, bahkan di Kabupaten Ngada dan Nagekeo.

Pada Oktober 2014, Satuan Narkoba Polda NTT membekuk Ruslani (35), pengedar narkoba jenis daun ganja di Pasar Inpres Borong, Kelurahan Rana Loba, Matim.

Kasubsi Narkoba Polda NTT, Kompol Albert Neno, menjelaskan, penangkapan Ruslani berawal ketika sopir travel Ruteng-Borong mengambil barang titipan di salah satu jasa pengiriman di Borong. Saat itu, sopir travel itu tidak mengetahui isinya.

Peristiwa penangkapan pengedar di narkoba di atas diharapkan menghentakkan semua elemen di Manggarai Raya untuk bersiaga. Siaga berarti keadaan siap sedia. Siaga narkoba berarti semua elemen berada dalam posisi siap sedia menghadapi ancaman narkoba, siap sedia mengantisipasi peredaran narkoba.

Kesiagaan ini tentu bukan hanya sebatas komitmen, tapi mesti terealisasi, misalnya kesiagaan para petugas (polisi/bea cukai) di titik-titik rawan seperti pelabuhan dan bandara.

Tentu saja, kesiagaan mesti dibarengi atau dilandasi oleh integritas pribadi para petugas. Sebab, meski para petugas ini hadir secara fisik di pelabuhan atau bandara, tetapi tendensi keterlibatan mereka dalam kejahatan ini juga besar.

Belajar dari pengalaman, pada pertengahan tahun 2012, berdasarkan hasil tes urine yang dilakukan tim dokter Polda NTT, sebanyak 34 anggota polisi di lingkungan Polda NTT teridentifikasi mengkonsumsi narkoba. Rinciannya, dari Polres Sikka sebanyak 14 orang, Polres Manggarai Barat sebanyak 12 orang dan Polres Kupang Kota 8 orang.

Penggunaan narkoba di kalangan polisi ini tentu memprihatinkan dan menjadi tantangan berat bagi pemberantasan narkoba di NTT.

Karena itu, kita tidak bisa hanya berharap kepada pihak kepolisian. Pemda-pemda perlu mengandeng semua sekolah, tokoh-tokoh agama, dan lembaga masyarakat sipil untuk bekerja sama dalam menyadarkan masyarakat, terutama kaum muda-remaja, pelajar, dan mahasiswa, akan bahaya narkoba. (Armand Suparman/ARL/Floresa)

spot_img
spot_img

Artikel Terkini