Santet dan Praktek Main Hakim Sendiri

Floresa.co – Seolah tak ada istilah kalah dan menang dalam persoalan santet. Yang ada hanyalah kisah miris baik untuk pihak yang menjadi korban dari pemakaian ilmu gaib tersebut, maupun orang yang disangka pelaku santet.

Memang bukan rahasia lagi, banyak orang yang dipercaya sudah menjadi korban dari praktek santet. Walaupun sulit dibuktikan secara empiris, dimana-mana entah di negara modern atau di negara berkembang, adanya praktik santet (pernah) diakui dan dipercaya oleh masyarakat.

Sebagai salah satu buktinya, di Indonesia santet sudah lama dikenal dengan istilah yang berbeda-beda. Di Jawa Barat, orang menyebut santét dengan istilah teluh ganggaong atau sogra. Di Bali, terkenal dengan desti, leak atau telih terangjana. Di Maluku dan Papua, orang-orang mengenal istilah Suanggi. Sedangkan di belahan Eropa, orang mengenal tukang sihir.

Mengingat penggunaan ilmu hitam kerap merugikan orang lain, reaksi terhadapnya bisa beragam. Tetapi yang patut dipersoalkan jika melihat reaksi yang ekstrem seperti tindakan main hakim sendiri dan penganiayaan.

Reaksi semacam itu persis terjadi di beberapa kampung di Manggarai Raya-Flores (Nusa Tenggara Timur (NTT) belakangan ini. Pelaku santet mendapat perlakuan kasar dari warga kampung.

Dua tahun lalu, di Kampung Ling, Desa Golo Cador, Kecamatan Wae Ri’i, Kecamatan Manggarai, pria bernama Fransiskus Galis beserta istrinya menjad sasaran amukan warga.

Ia diduga menjadi biang dari sejumlah petaka yang menimpa beberapa orang di kampung. Akibatnya, ia dipaksa memikul lesung keliling kampung dan kemudian minum air kecing campur tahi. Dan, itu dilakukan di hadapan warga kampung.

Kejadian serupa terjadi di Kampung Nggiring, Desa Nanga Kantor, Kecamatan Macang Pacar, Manggarai Barat (Mabar). Rumah Stefanus Darlin dan ayahnya yang diduga dukun santet dibakar massa. Ia  lantas melarikan diri ke Labuan Bajo, ibu kota Mabar.

Namun, tindakan destruktif itu tidak lantas menyelesaikan persoalan.  Beberapa warga yang terlibat dalam tindakan penghakiman massa lantas dijerat hukum. Ada tujuh  orang yang menjadi terdakwa dalam kasus penyiksaan terhadap Fransiskus Galis. Masing-masing dituntut penjara selama 10 bulan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Ruteng (Kejari) dalam sidang, Rabu (28/5/2014). Sementara ada enam orang yang dijadikan tersangka dalam kasus ini.

Dari situ, kelihatan jelas masalah santet memang pelik. Di satu sisi, masalah santet sudah dipercaya masyarakat  sangat nyata akibatnya dalam kehidupan sehari-hari. Sementara di sisi lain tak ada mekanisme hukum formal yang mengakomodasinya.

Selama ini pemecahan persoalan hanya sebatas pengamatan fenomena eksternal. Bahwasannya ada tindak kekerasan terhadap para pelaku santet, seperti pembakaran rumah dan penyiksaan fisik. Selanjutnya dalam koridor hukum, dengan mudah persoalan semacam itu dikategorikan sebagai tindak pidana.

Yang belum tersentuh adalah mengapa fenomena kematian atau penyakit mudah dikaitkan dengan praktik santet sehingga harus berujung pada tindak kekerasan?

Dari pertanyaan tersebut, ciri karakter rasionalitas manusia dapat menjadi salah satu penjelasan. Sebagai makhluk rasional, kerinduan mengetahui “sebab” dari “akibat” yang tampak merupakan suatu keniscayaan.  Manusia selalu punya kerinduan untuk bisa menjelaskan penyebaban fenomena yang ada.

Demikian pula yang terlihat dalam masalah santet. Peristiwa kematian dan penyakit sangat dicari penyebabnya. Sayangnya benang merah yang rasional tidak selalu bisa ditemukan. Keterbatasan pengetahuan, misalnya, membuat orang tidak dapat menjelaskan kematian x disebabkan oleh penyakit z. Karena di-“harus”-kan memberikan alasan, maka penjelasan yang bisa diterima secara sosial dijadikan kambing hitam. Santet menjadi bahan penjelasan.

Dalam kenyataan demikian, jika dirunut lagi, tentu keterbelakangan masyarakat adalah salah satu titik kunci persoalanya. Kurangnya pendidikan dan ketersediaan tenaga kesehatan membuat masyarakat dengan mudah mengaitkan semua fenomena kematian dan penyakit sebagai bagian dari santet.

Atas dasar itu, perhatian dari pemerintah memang sangat diharapkan. Di samping penyelesaian yang ditempuh melalui cara mediasi antara semua pihak yang bertikai, perlu juga digiatkan tingkat pendidikan dan “pencerahan” terkait dunia kesehatan kepada masyarakat. Jangan sampai pertikaian terjadi hanya karena ketidaktahuan alasan-alasan yang masuk akal tentang penyakit yang ada.

Tanggapan yang responsif demikian sangat krusial. Jika tidak, sungguh disayangkan, apa yang bakal dialami masyarakat, baik pelaku santet maupun masyarakat yang “mengaku” menjadi korban santet. Sebab pertikaian bisa pecah kapan pun.  Ada yang jadi korban penganiayaan dan ada yang dipenjara. Di sini, mereka sama-sama kalah.

Pemerintah dan lembaga-lembaga agama – yang dalam konteks masyarakat kita punya peran amat besar-  perlu memikirkan ke depan, apa yang bisa dilakukan demi menghindari praktek-praktek main hakim sendiri di tengah masyarakat.

Karena, sekali lagi, konlik terkait santet memproduksi dendam yang bakal memicu konflik lagi di masa depan. Ada pelajaran penting dari kasus di Kampung Ling dan Kampung Nggiring. Bahwa main hakim sendiri yang kemudian disertai tindakan-tindakan sadir bukan cara arif menyikapi santet.  (Gregorius Afioma/Floresa.co)

spot_img
spot_img

Artikel Terkini