Pendidikan Merek Indonesia

Oleh: JEFRIN HARYANTO

Tahun 1973, bertempat di kampus Universitas Indonesia, Rendra berteriak keras meratapi nasib pendidikan negeri Ini.

Aku melihat Indonesia Raya // Aku melihat delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan // Aku bertanya tapi pertanyaanku membenturi meja-meja  kekuasaan yang macet// dan papan tulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan”.

Tahun itu, memang pendidikan kita terlihat kehilangan sifat aslinya. Orang-orang bangga dengan pengetahuan yang diimpor dan lupa menjejakkan kaki pada Indonesia. Pendidikan yang kerap diseret atau melibatkan diri dalam intrik politik. Pendidikan yang ‘gagal’ mencetak generasi yang Pancasilais.

Pendidikan yang tercerabut dari ke-Indonesian-nya. Pendidikan yang  asing terhadap adat dan budaya nusantara dan pendidikan yang mulai disegel terali-terali bisnis. Pendidikan menjadi tidak karu-karuan, tanpa bentuk dan kehilangan arah.

Hari ini kita berada di era 42 tahun sejak Rendra meneriakkan “Sebatang Lisong” itu. Dan, lihatlah wajah pendidikan kita masih ‘persis’ seperti ketika itu. Wajah pendidikan kita dipoles dengan menggonta-ganti ‘bedak’ kurikulum, menyebarkan kebingungan nasional dan membuat pendidikan kita menjadi ajang ekpose kekuasaan.

Ganti kekuasaan ‘harus’ ganti kurikulum. Kurikulum menjadi produk rutin tiap era kekuasaan. Padahal jika kita menengok ke belakang,  republik tercinta ini digagas oleh anak-anak muda terdidik dan tercerahkan. Pendidikan telah membukakan mata dan kesadaran mereka untuk membangun sebuah negeri bhineka yang modern, sebuah negara yang berakar pada adat dan budaya bangsa nusantara, beralaskan semangat gotong royong, tetapi tetap mengedepankan dan menumbuhkembangkan prinsip kesejajaran dan kesatuan sebagai sebuah negara modern.

Pendidikan telah membukakan pintu wawasan, menyalakan cahaya pengetahuan, dan menguatkan pilar ketahanan moral. Persinggungan dengan pendidikanlah yang telah memungkinkan para perintis kemerdekaan mampu menelorkan gagasan besar yang melampaui zamannya. Artinya kita pernah punya sejarah dan rekam jejak pendidikan yang menakjubkan.

Jika mengingat semua itu, seharusnya pendidikan sudah berubah molek dan setara dengan pendidikan di Eropa dan Amerika. Kiblat pendidikan di Asia itu harusnya ke Indonesia. Diakhir era SBY, kegelisahan terhadap ‘pendidikan tanpa merek’ ini sebenarnya mulai menjadi diskursus.

Pendidikan karakter yang digagasnya patut dilihat sebagai upaya untuk memastikan output pendidikan kita mengusung karakter ke-Indonesian yang Pancasilais. Sayangnya gagasan ini menjadi tidak fokus  lagi ketika energinya habis untuk merumuskan kurikulum 2013. Kurikulum yang hari ini nasibnya pun menjadi terkatung-katung. Dan ‘dituduh” sebagai kurikulum yang perlu disempurnakan.

Jokowi dan Harapan Baru

Hardiknas tahun ini adalah Hardiknas pertama Presiden Jokowi sejak dilantik menjadi Presiden RI yang ke-7. Publik tentu menunggu. Menunggu sesuatu yang bisa menjadi harapan baru bagi pendidikan Indonesia. Setidaknya bagaimana rumusan perangkat operasional Revolusi Mental yang diusungnya diterjemahkan dalam pendidikan. Tema Hardiknas tahun ini adalah ‘Pendidikan dan Kebudayaan Sebagai Gerakan Pencerdasan dan Penumbuhan Generasi Berkarakter Pancasila’.

Tema ini setidaknya memberi sebuah harapan baru (New Hope) bagi cita-cita pendidikan dengan cita rasa Indonesia. Menarik ketika pendidikan dan kebudayaan dilihat dalam prespektif gerakan. Pendidikan dan kebudayaan tidak lagi dilihat sebagai sekedar program tetapi lebih kepada pelibatan kolektif. Pendidikan dan kebudayaan tidak lagi sekedar urusan guru-guru di dalam ruang kelas tetapi merambah semua pemangku kepentingan.

Pendidikan menjadi urusan semesta, semua terlibat untuk semua. Meski ada pembagian peran yang jelas antara guru, orang tua, pemerintah dan LSM/organisasi kemasyarakatan serta tokoh masyarakat. Pendidikan harus “dikeroyok” untuk mengakselerasi tujuan-tujuan mulia pendidikan.

Tema Hardiknas tahun inipun cukup tegas untuk mengembalikan arah pendidikan kita ke jalan tujuan pendidikan nasional yang telah dipatri oleh para pendiri bangsa ini, yakni pendidikan yang berkarater Pancasila.

Gerakan pencerdasan dan penumbuhan generasi berkarakter Pancasila adalah sebuah ikhtiar mengembalikan kesadaran tentang pentingnya karakter Pancasila dalam pendidikan kita. Sudah digariskan bahwa pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Pendidkan berkarakter Pancasila itulah yang disebut pendidikan Merek Indonesia.

Pesan lain yang saya tangkap adalah arah dan orientasi pembangunan Negeri Ini. Revolusi mental itu bisa menjadi sangat kompleks tetapi juga bisa menjadi sangat sederhana sebagai gerakan membangun manusia, membangun watak, membangun karakter dan membangun sumber daya manusia.

Jokowi yakin betul bahwa kekayaan sumber daya manusia terdidik adalah kekayaan yang tidak akan pernah habis. Sumber daya ini jauh melampui bahkan tidak tertandingi oleh sumber daya alam sekalipun. Artinya perhatian tidak lagi pada menghabiskan atau mengekplorasi serakus-rakusnya sumber daya alam tetapi bagaimana seroyal-royalnya membangun manusia terdidik dan berdaya saing super. Bangsa ini ke depanya harus dibangun oleh modal Sumber Daya Manusia yang berkualitas tinggi.

Ikthiar Jokowi ini perlu dikawal secara partispatif. Tentu tugas berat berikutnya adalah bagaimana meneruskan gagasan ini ke level operasional. Butuh energi yang tidak sedikit untuk itu, tetapi selama seluruh elemen dan setiap orang merasa bertanggung jawab pada masa depan generasi bangsa ini, tentu kegelisahan Rendra pada Sebatang Lisong-nya akan selesai.

Penulis adalah alumnus Pasca Sarjana Psikologi UGM. Saat ini PNS di Manggarai Timur dan Dosen Tidak Tetap pada STKIP St Paulus Ruteng.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini