Masih Ada Warga yang Mempersoalkan Lahan untuk Bandara di Matim

Wae Lengga, Floresa.co – Masih ada warga di Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mempersoalkan lahan 100 hektare di Tanjung Bendera untuk pembangunan bandar udara (bandara).

Pemda Matim dinilai melabrak prosedur adat dalam upaya pembebasan lahan tersebut.

Irenius Lagung, Ketua Paguyuban Motu Tujuh Bersaudara mengatakan, meski rencana pembangunan bandara tersebut sudah memasuki tahap pembebasan lahan, namun hingga saat ini pihak-pihak yang memiliki kewenangan atas lokasi tersebut belum duduk bersama untuk menyikapi rencana itu.

“Pemerintah daerah Manggarai Timur hanya mendekati beberapa sub-klan Motu Pumbu dan sengaja menyisihkan sub-klan Motu Kaju Leke, Motu Poso Watunggong, Motu Kaju Wolomboro dan beberapa cabang (panga) sub-klan Motu Pumbu dalam sejumlah tahapan pembangunan bandara tersebut,” tulisnya dalam siaran pers yang diterima Floresa.co, Kamis (30/4/2015).

Padahal, lanjut dia, tanah bakal bandara di Tanjung Bendera merupakan milik bersama suku Motu Woe Lima Rhua.

“Terkait kepemilikan bersama itu maka konsekuensinya keterlibatan tujuh sub-klan Motu dalam menyikapi pembangunan bandara sangat mutlak dan tidak bisa disepelekan begitu saja,” ujarnya.

Ia menjelaskan, sejak sosialisasi hasil survei kelayakan teknis tahun 2011 di Borong, sub-klan suku Motu Poso sudah mengingatkan pemerintah untuk mendekati semua pihak dalam hal ini ketujuh sub-klan Motu.

Ketujuh sub-klan itu adalah Motu Pumbu Waenggiri, Motu Kaju Leke, Motu Poso Watunggong dan Leke, Motu Pumbu Sambi Nggepo, Motu Pumbu Watunggong-Leke, Motu Pumbu Waelengga-Motu Donggo Sere, dan Motu Kaju Wolomboro.

Anehnya, kata dia, meskipun informasi terkait ketujuh sub-klan Motu itu sudah disampaikan dan diketahui Pemda Matim, tetapi nyaris tak ada respon yang memuaskan dari Pemda dalam proses pendekatan tersebut.

Bahkan dalam tahapan Diskusi Publik Pembangunan Bandara dan Sosialisasi Amdal, Pemda dalam hal ini Dinas Perhubungan dan Camat Kota Komba sama sekali tidak mengundang suku Motu Kaju Leke, Motu Poso Watunggong dan Motu Kaju Wolomboro, Motu Pumbu Leke dan Motu Donggo sere.

Karena itu sebagai bentuk protes, beberapa sub-klan Motu Kaju dan Motu Pumbu menyampaikan sikap resmi dan pernyataan dalam surat per Desember 2013 yang ditujukan kepada Pemda Matim.

Upaya tersebut, lanjut dia, rupanya tak mengubah pola pendekatan Pemda Matim.

Bahkan pada tanggal 23 April 2015, Dinas Perhubungan dan Camat Kota Komba menggelar pertemuan terkait pembebasan tanah bakal bandara. Pertemuan tersebut dinilai terlalu dini, sebab ketujuh sub-klan Motu belum duduk bersama membuat kesepakatan bersama.

Dalam pertemuan tersebut, jelasnya, Pemda Matim yang diwakili Dinas Perhubungan dan Camat Kota Komba memaksakan lahirnya keputusan dan kesepakatan penyerahan tanah dengan sejumlah klausul perjanjian yang tidak disetujui ketujuh sub-klan Motu, seperti klausul batas-batas tanah yang diserahkan, luas tanah dan tuntutan kompensasi atas tanah yang belum disepakati.

“Kendati belum ada kesepakatan final soal sejumlah poin itu, Kadis Perhubungan dan Camat Kota Komba memaksakan proses penyerahan tanah tersebut untuk jadi dalam sekejap tanpa memedulikan usulan utusan pihak Motu Kaju Leke, Motu Poso Watunggong dan Motu Kaju Wolomboro untuk menunda proses pembicaraan terkait penyerahan tanah tersebut,” ujarnya.

Fasilitator pertemuan, kata dia, secara terang-terangan mengabaikan perbedaan pendapat di antara sub-klan suku Motu sambil dengan sengaja hanya mengakomodir keinginan beberapa sub-klan Motu demi mendapat legitimasi terkait penyerahan tanah bakal bandara.

“Padahal terkait kebijakan tanah bakal bandara tersebut secara formal belum ada kesepakatan di antara ketujuh sub-klan Motu,”ujarnya.

Idealnya, kata dia, momentum kehadiran pembangunan bandara di atas Tanah Tu suku Motu merupakan kesempatan bagi kalangan suku Motu untuk merajut kebersamaan dan solidaritas sebagai sesama saudara.

Tetapi pada kenyataannya beberapa perbedaan pendapat terkait pembebasan lahan justeru melahirkan friksi-friksi kecil yang berpeluang membatalkan rencana pembangunan bandara tersebut.

“Pertemuan terkait pembebasan lahan dalam catatan kami bermuatan intimidasi dan konspiratif karena ada sikap diskriminatif dari fasilitator pertemuan dalam mengakomodir usul dan saran peserta rapat,” ujarnya.

Sebelumnya, pada Rabu kemarin, pihak Pemda Matim melalui Kabag Humas, Bonifasius Sai mengklaim, kesepakatan di tingkat masyarakat terkait penyerahan lahan itu sudah dilakukan. Rencanya, pernyerahan lahan itu oleh tetua adat akan dilangsung pekan depan.

“Mereka akan datang ke kantor bupati, sebagai simbol penyerahan secara resmi,” kata Boni saat dihubungi Floresa.co, Rabu (29/4/2015).

Ketika ditanya kapan rencana pembangunan bandara itu akan terealisasi, Boni tidak memastikan. Namun, kata dia, Pemkab Matim sudah melakukan sejumlah langkah persiapan, termasuk kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

Harian Kompas, Rabu, juga melansir berita terkait rencana pembangunan bandara ini. Bupati Matim, Yoseph Tote yang dikutip Kompas mengatakan, keberadaan bandara tersebut sangat dibutuhkan untuk mendukung pengembangan pariwisata Flores. (Petrus D/PTD/ARL/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini